Perjalanan industri halal di Indonesia telah melalui waktu yang cukup panjang lebih dari 31 tahun. Bermula dari merebaknya isu lemak babi pada 1988, kemudian dibentuklah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) pada 1989.
Ini adalah mandat dari Pemerintah/negara agar MUI berperan aktif dalam meredakan kasus tersebut. Sejak saat itu hingga kini, LPPOM MUI merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas dalam pemeriksaan dan sertifikasi halal.
Kehadiran LPPOM MUI ternyata memberi napas lega bagi masyarakat muslim Indonesia. Pasalnya, lembaga ini meneliti tidak hanya dari segi syariahnya berdasarkan standar MUI, melainkan juga dari segi sains.
(Baca juga : LPPOM MUI Siap Menjalankan Amanat UU JPH)
“Apakah suatu produk halal atau tidak? LPPOM MUI yang memeriksa. Bahkan bisa dibilang LPPOM MUI sangat kredibel karena memeriksa dua hal sekaligus, yakni kehalalan dan ke-thayyib-an suatu produk,” ujar Prof. Dr. Bacharun M.Ag., Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Indonesia Halal Watch (IHW) di Aone Hotel, Jakarta pada Rabu (19/2)
Baru-baru ini, perjalanan industri halal di Indonesia kembali diuji dengan lahirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang berkaitan dengan Jaminan Produk Halal. Menurut Bacharun, ini merupakan langkah mundur bagi perkembangan halal di Indonesia. Ia menegaskan bahwa perkara halal dan haram itu harus jelas, tidak boleh ada area yang abu-abu.
“Sekarang sudah ada lembaga yang kredibel, seharusnya Pemerintah mendukung. Dengan adanya LPPOM MUI, maka tidak ada lagi area yang abu-abu, semua jelas halal atau haram. Hanya MUI yang merintis perjuangan halal. Sudah 31 tahun, ini harus diapresiasi tidak boleh ditinggalkan begitu saja,” kata Bacharun.
(Baca juga : Sertifikasi Halal Online, Mudah dengan Aplikasi Cerol SS23000)
Ada pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja yang memberi wewenang kepada Ormas-Ormas Islam untuk membuat fatwa dan menguji laporan masyarakat tentang produk halal. Di MUI saja, tutur Bacharun, ada sekitar 60 Ormas yang berpegang pada madzhabnya masing-masing. Karena itu, RUU ini sangat berpotensi membenturkan Ormas yang satu dengan yang lain.
“Di MUI sendiri tidak pernah ada fatwa individual, semuanya fatwa jama’i, kolektif, sehingga tidak ada lagi perdebatan. Apabila RUU ini diteruskan, tentu akan membuat lebih gaduh dan kelak tidak akan ada kesepakatan fatwa. Saya rasa ini fatwa halal tetap harus ada di MUI,” ungkapnya. (YN, YS).