Siapa pun bisa mensertifikasi halal produknya, tak terkecuali bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Banyak kemudahan yang bisa didapatkan, mulai dari pembiayaan, edukasi halal, hingga implementasi proses sertifikasi halal. Meski begitu, UMK masih banyak yang mengalami berbagai kendala. Sehingga proses sertifikasi halal pun terhambat.
Menurut Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Ir. Muti Arintawati, M.Si., ada enam problematika yang biasa dihadapi oleh UMK dalam sertifikasi halal. Hal ini disampaikan dalam webinar Membangun Kepercayaan Konsumen dengan Sertifikasi Halal sebagai Kesiapan Memasuki Pasar 4.0 yang diselenggarakan oleh Belanjaukm.com beberapa waktu lalu.
Masih rendahnya pemahaman tentang halal dan haram, sertifikasi halal, dan kebijakan/regulasi menjadi permasalahan yang sering ditemui di kalangan pelaku UMK. Karena itu, perlu adanya sosialisasi, pembinaan bahkan pendampingan sebelumnya. Hal ini bisa dilakukan oleh dinas terkait, Pusat Kajian Halal Perguruan Tinggi, Ormas Islam, dan sebagainya.
Selain dengan pembinaan, UMK bisa mengikuti pelatihan dan webinar yang diselenggarakan oleh LPPOM MUI. Informasi tersebut dapat diakses di media sosial @halalindonesia. Pelaku usaha juga dapat mengakses berbagai informasi terkait prosedur dan persyaratan sertifikasi halal di laman www.halalmui.org.
Pengetahuan dasar UMK terkait pentingnya memenuhi persyaratan Sistem Jaminan Halal (SJH) agar produk dapat dinyatakan halal dirasa masih kurang. Selain itu, konsistensi produksi dan kualitas UMK masih kurang sehingga implementasi SJH pun tidak dilakukan sepenuhnya.
Kebanyakan UMK juga kesulitan untuk mendapatkan informasi tentang kehalalan bahan yang digunakan karena membeli bahan dalam jumlah kecil sehingga rawan penipuan. Perlu kerjasama melalui asosiasi, koperasi, dan sebagainya.
“Dengan melalui asosiasi atau komunitas, pelaku usaha bisa membeli dalam jumlah besar kemudian digunakan oleh pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi. Sama halnya dengan penggiling daging juga memiliki titik kritis halal yang tinggi,” terang Muti.
Jika pelaku usaha menggunakan penggilingan umum akan sulit untuk memastikan daging apa saja yang sudah digiling, sehingga rentan tercemar. Sementara jika menggunakan penggilingan daging bersama, daging yang menggunakan penggilingan tersebut pun berasal dari asosiasi yang sama.
Terkait pembiayaan sertifikasi halal, masih banyak pelaku usaha UMK yang berkeberatan atashal tersebut. Namun, menurut Ketua UMKM Bidang Makanan dan Minuman Kota Bekasi Afif Ridwan pada kegiatan yang berbeda, saat ini sudah banyak fasilitas pembiayaan sertifikasi halal dari pemerintah pusat.
Hal ini disalurkan melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, BPOM, atau Kementerian Agama. Untuk skala provinsi atau kota, biasanya diselenggarakan oleh dinas-dinas. Bahkan, pelaku usaha juga akan menerima penyuluhan terkait proses sertifikasi halal.
“Namun, terkadang UMK itu minim informasi untuk mengakses fasilitas sertifikasi halal. Karena itu, penting bagi pelaku usaha untuk bersikap proaktif dalam mencari informasi. Salah satunya dengan bergabung dengan komunitas pelaku usaha,” ujarnya.
Yang juga menjadi hal penting, masih perlunya edukasi tentang penggunaan aplikasi sertifikasi halal online Cerol-SS2300 bagi pelaku usaha UMK. Komunitas atau asosiasi dapat mengundang narasumber untuk memberikan penjelasan atau pelatihan terkait hal tersebut. (YN)