Tujuh pemalsuan pangan (food fraud) yang marak terjadi di Indonesia, yaitu: Dilution, Substitution, Concealment, Mislabeling, Unapproved Enhancement, Counterfeiting, Grey Market Production/Theft/Diversion
Dewasa ini, perkembangan globalisasi serta meningkatnya permintaan terhadap produk pangan (supply and demand) memicu peningkatan kasus pemalsuan pangan. Umumnya, tidakan pemalsuan pangan dilakukan secara sengaja untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Berdasarkan paparan Direktur Pengawasan Peredaran Pangan Olahan, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI), Dra. Ratna Irawati, Apt., M.Kes, terdapat tujuh jenis pemalsuan pangan yang marak terjadi di Indonesia, diantaranya:
1. Dilution
Kegiatan mencampur bahan berkualitas tinggi dengan bahan berkualitas rendah.
Contoh: penambahan air pada susu segar atau madu dengan larutan gula.
2. Substitution
Kegiatan mengganti nutrisi, bahan, pangan atau bagian pangan dengan yang produk yang berkualitas lebih rendah.
Contoh: pencampuran daging babi dengan daging sapi.
3. Concealment
Kegiatan menyembunyikan bahan berkualitas rendah dari suatu pangan atau produk.
Contoh: penambahan pewarna pada daging ayam tiren agar terlihat segar.
4. Mislabeling
Klaim yang salah atau distorsi informasi terhadap label kemasan.
Contoh: minuman rasa buah diklaim menjadi sari buah atau klaim status halal.
5. Unapproved Enhancement
Proses penambahan bahan yang tidak diperbolehkan untuk meningkatkan kualitas produk.
Contoh: penambahan melamin pada susu bubuk atau penggunaan bahan tambahan pangan yang dilarang.
6. Counterfeiting
Kegiatan meniru nama merek, konsep kemasan, resep, serta metode pemrosesan. Ini merupakan bentuk pelanggaran hak kekayaan intelektual.
Contoh: makanan ringan yang dijual curah dengan merek terkenal.
7. Grey Market Production/Theft/Diversion
Penjualan kelebihan produk yang tidak dilaporkan.
Contoh: penjualan product reject, substandard, ilegal.
(Baca juga : Cara Mudah Konsumsi Produk Halal)
“Oknum yang melakukan ketujuh bentuk pemalsuan pangan tersebut tentu akan diberikan saknsi. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,” terang Ratna dalam webinar halal bertema “Food Fraud Prevention, dari Izin Edar hingga Label Halal” yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) bersama PT Pamerindo Indonesia pada 21 September 2021.
Beberapa pasal dalam undang-undang tersebut menjelaskan bahwa pelaku pemalsuan pangan akan diberikan sanksi administratif berupa denda; penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; gantirugi; dan/atau pencabutanizin.
Selain itu, pelaku juga bisa dikenakan sanksi pidana berupa penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak empat miliar rupiah. Namun khusus bagi pelaku counterfeiting, berdasarkan Pasal 256 Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun. (YN)