Oleh: Andriawan Subekti, S.Si, M.Si
Product & Process Development Officer
Minyak truffle (truffle oil) kini begitu populer dan sukses mendapatkan tempat istimewa di dunia kuliner. Keistimewaan tersebut tidak lain diperoleh karena aroma dan cita rasa khas yang diberikannya. Bagaimana titik kritisnya?
Minyak truffle (truffle oil) merupakan minyak yang dihasilkan dari rendaman irisan jamur truffle ke dalam minyak nabati, seperti minyak zaitun (olive oil). Aroma dan rasa dari jamur truffle akan terekstraksi oleh minyak tersebut sehingga itulah yang disebut sebagai minyak truffle. Jamurnya sendiri pada umumnya akan dipisahkan dari minyaknya setelah perendaman. Umumnya, minyak ini digunakan sebagai sentuhan terakhir (finishing touch) pada hidangan masakan.
Jamur truffle merupakan jamur dengan genus Tuber. Jenis jamur truffle ini terbilang cukup banyak. Zambonelli di tahun 2016 menunjukkan adanya 80 spesies jamur truffle. Meski jumlahnya banyak, hanya beberapa jenis truffle yang memiliki nilai komersial tinggi karena aroma dan citarasanya, seperti truffle putih (T. magnatum Pico) dan truffle hitam (T. melanosporum Vittad.) (Allen, 2021).
Mengacu pada laman www.tarturo.com, harga truffle hitam di tahun 2021 ini mencapai €1300 – €1700 (Rp20 juta – Rp28 juta) per kg, sementara truffle putih memiliki harga yang lebih fantastis, antara €4000 – €7000 (Rp65 juta – Rp114 juta) per kg. Beberapa jenis jamur truffle lain yang juga memiliki nilai komersial yang cukup tinggi adalah summer truffle (T. aestivum) dan burgundy truffle (T. uncinatum).
Chauhan (2021) menyebutkan bahwa jamur truffle banyak ditemukan di wilayah Mediterania. Jamur truffle hidup melalui simbiosis dengan akar pohon tertentu. Jamur ini umumnya tumbuh di bawah tanah sehingga membuatnya tidak mudah ditemukan. Pengumpulan jamur ini lazimnya memanfaatkan babi betina (sow) dan anjing terlatih yang mampu mengendus keberadaan jamur ini (Allen, 2021).
Penggunaan babi betina untuk berburu truffle sudah ditinggalkan saat ini. Anjing terlatih pun juga umumnya dikendalikan untuk memastikan hewan tersebut tidak merusak kehidupan jamur sehingga masih dapat tumbuh kembali. Selain perburuan, budidaya jamur truffle juga telah dikembangkan di beberapa negara untuk memenuhi kebutuhan pasar. Jamur truffle dapat dipanen setelah beberapa tahun. Budidaya jamur ini juga kadang masih memanfaatkan bantuan anjing terlatih pada masa panen.
Berdasarkan informasi dari Allen (2021), banyaknya perburuan jamur ini dan perubahan kondisi lingkungan menyebabkan keterbatasan terhadap ketersediaan jamur ini, sementara kebutuhan pasar masih tinggi. Oleh karena itu, pada masa kini tidak sedikit produk minyak truffle yang dibuat tanpa menggunakan jamur truffle.
Sebagian produsen menggunakan flavor tiruan (sintetik) yang diberikan pada bahan minyak tertentu, seperti minyak zaitun, untuk memberikan aroma dan cita rasa jamur truffle. Flavor sintetik umumnya dibuat dengan mencampurkan berbagai senyawa kimia, umumnya merupakan senyawa organik. Saat ini, sebanyak 300 senyawa organik telah diidentifikasi dari beragam jamur truffle sebagai penyusun aroma.
Berdasarkan informasi di atas, maka dapat diketahui bahwa titik kritis kehalalan minyak truffle alami berada pada proses pengumpulan jamur truffle dan proses pembuatannya, tentunya dengan memperhatikan bahan dan fasilitas produksinya. Jamur truffle harus dapat ditelusuri dan dipastikan tidak tersentuh oleh babi atau anjing dalam pengumpulannya. Jamur truffle yang tersentuh, misalnya digigit, oleh kedua hewan tersebut hukumnya mutanajis dan haram karena babi dan air liur anjing tergolong najis berat (mughallazah).
“Saya rasa sudah jelas bahwa minyak truffle tidak bisa disertifikasi halal dengan dasar kehati-hatian apabila jamur yang digunakan tidak dapat ditelusuri proses pengumpulannya. Ketentuan ini diputuskan berdasarkan kondisi, informasi dan kebiasaan yang berlaku saat ini. Jika suatu saat bisa dibuktikan ada cara pencarian jamur atau dibudidayakan tanpa melibatkan babi dan anjing maka tentunya keputusan ini bisa berubah” papar Direktur Eksekutif LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, MSi.
Mengacu pada standar sertifikasi halal HAS 23000:1, bahan dan fasilitas yang digunakan untuk memproduksi minyak truffle juga harus diperhatikan. Selain memperhatikan kekritisan jamur truffle, minyak yang digunakan untuk mengekstrak aroma dan cita rasa truffle juga harus berasal dari sumber yang halal dan diproses menggunakan bahan penolong yang jelas kehalalannya.
Sementara itu, minyak truffle yang dibuat menggunakan flavor sintetik, proses pengumpulan jamur tidak lagi menjadi hal yang harus diperhatikan. Namun, kehalalan flavor yang digunakan harus dibuktikan dengan sertifikat halal yang valid dan diakui oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Selain memastikan kehalalan bahan, fasilitas produksi harus dipastikan bebas dari bahan haram dan najis sehingga produk minyak truffle dapat dijamin kehalalannya. Sebagai konsumen, kita sebaiknya memilih produk yang sudah memperoleh ketetapan halal MUI agar merasa aman dan tenang dalam mengonsumsi minyak truffle. (*)
Referensi:
- Zambonelli A, Iotti M, Murat C. 2016. True truffle (Tuber spp.) in the world. Soil Bio. Vol 47.
- Allen K & Bennet JW. 2021. Tour of Truffles: Aromas, Aphrodisiacs, Adaptogens, and More. Mycobiology. Vol. 49:3, 201-212.
- Chauhan et al. 2021. Biochemical and Health Properties of Truffles. Defence Life Sci. J., Vol. 6:3, 251-258.
- HAS 23000:1 Persyaratan Sertifikasi Halal Industri Pengolahan Umum