Oleh: Ir. Hendra Utama, MM
Auditor Senior LPPOM MUI
Pemenuhan kriteria bahan dengan penyediaan dokumen pendukung memerlukan energi dan waktu. Dari sisi kepentingan bisnis, kedua faktor ini adalah anteseden (faktor penentu) momentum dalam merebut pasar dan hati konsumen muslim.
Semakin cepat dokumen tersedia, maka secara konsekuensi logis, proses sertifikasi halal akan lebih cepat selesai dan tentu perusahaan akan lebih cepat pula menyapa konsumen dengan produk berlogo halal.
Berdasarkan kerangka berpikir seperti itulah—efektif dalam pemenuhan kriteria dan efisien dalam upaya penyediaan dokumen—maka LPPOM MUI mengeluarkan daftar bahan titik kritis atau yang selama ini dikenal sebagai Halal Positive List of Materials.
Kegunaan daftar ini adalah pemberian standar bagi klien LPPOM MUI dalam penyederhanaan ketersediaan dokumen demi pemenuhan kriteria bahan halal. Proses penyusunannya melibatkan para pakar dan dunia industri. Argumentasi sebuah bahan masuk ke dalam daftar ini adalah berdasarkan kajian LPPOM MUI dengan mempertimbangkan sumber bahan yang digunakan pada skala produksi komersial.
Daftar bahan tidak kritis dikembangkan oleh LPPOM MUI dalam kerangka penyederhanaan proses sertifikasi halal dalam konteks pemenuhan dokumen pendukung bahan. Dari sisi proses pengambilan keputusan, mekanisme ini diciptakan untuk memudahkan LPPOM MUI untuk mengambil keputusan apakah perusahaan dinilai sudah memenuhi kriteria bahan halal. Artinya pemegang otoritas keputusan adalah LPPOM MUI.
Namun, dari sisi bisnis, perusahaan berhubungan dengan banyak pihak, tergantung kepentingannya. Dari sisi internal pun perusahaan akan membuat mekanisme yang akan memudahkan dirinya. Banyak perusahaan demi kemudahan tersebut akan memilih untuk membuat prosedur yang tidak rumit.
Soal penunjukan vendor atau pemasok, misalnya. Untuk perusahaan tertentu, apalagi jika jumlah pemasok yang dikelolanya sangat banyak, akan membuat kriteria yang sederhana. Tidak jarang dalam pemenuhan kriteria halal, penunjukan pemasok di samping mempertimbangkan aspek lain (perihal mutu dan harga misalnya), ketersediaan sertifikat halal adalah segalanya—apa pun bahannya.
Sehingga walaupun bahan tersebut sudah termasuk dalam daftar bahan tidak kritis LPPOM MUI, hal tersebut tidak menjadi pertimbangan. Apalagi dengan karakteristik daftar bahan tidak kritis yang juga dinamis. Tidak semua perusahaan mau mengambil risiko sehingga berpotensi membuat kesulitan nantinya.
Selain itu, daftar bahan tidak kritis LPPOM MUI utamanya hanya untuk kepentingan sertifikasi halal dengan LPPOM MUI, bukan dengan yang lain. Padahal perusahaan mempunyai kepentingan untuk mengembangkan pasarnya seluas mungkin, termasuk mengekspor produknya ke negara lain.
Kalau perusahaan tersebut mengekspor produknya ke negara lain, bisa jadi pembelinya juga disertifikasi oleh lembaga sertifikasi lain. Oleh karena itu, perusahaan ini juga berkepentingan untuk mendapatkan sertifikat halal, sekalipun produk tersebut masuk dalam daftar bahan tidak kritis LPPOM MUI.
Oleh karena itu untuk menjawab dua tantangan ini, perusahaan dengan tipikal seperti ini—yang produknya tidak kritis—mempunyai kepentingan untuk mendapatkan sertifikat halal. Hal ini berkaitan dengan hubungan bisnis yang berdasarkan mutual trust (kepercayaan kedua belah pihak). Ketika salah satu pihak tidak mempunyai kadar kepercayaan yang cukup, maka tentu transaksi bisnis tidak akan terjadi.
Dari sisi prosedur sertifikasi halal, setiap perusahaan yang akan mendaftarkan sertifikasi halal punya kewajiban untuk menerapkan 11 kriteria Sistem Jaminan Halal, tidak peduli apakah produk termasuk dalam daftar bahan tidak kritis atau bukan. Hanya saja untuk perusahaan dengan produk yang termasuk dalam daftar bahan tidak kritis, proses penilaian auditor akan pemenuhan kriteria akan jauh lebih sederhana, sepanjang semua bukti penerapan Sistem Jaminan Halal tersedia. (***)