Dilansir dari www.mui.or.id, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meluruskan isu yang beredar di masyarakat bahwa label halal diambil alih Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag).
Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan label halal merupakan wilayah administrasi negara. Hal ini sudah berlaku sebelum dan setelah adanya Undang-undang Jaminan Produk Halal (JPH).
“Maka narasi sebagian orang yang menyatakan bahwa label halal berpindah dari MUI ke BPJPH, atau BPJPH mengambil alih label halal dari MUI ke BPJPH itu tidak benar. Didasarkan kepada riwayat kesejarahannya,” ujarnya di Gedung MUI, Jakarta Pusat, Jumat (18/3/2022).
Kiai Asrorun mengatakan, baik sebelum dan setelah Undang-undang JPH, MUI selama ini hanya melakukan tugas dan fungsi untuk menerbitkan sertifikasi halal melalui proses pemeriksaan, pemfatwaan, dan penerbitan sertifikasi halal atas mandat oleh negara kepada MUI.
Kiai Asrorun menuturkan, sebelum adanya Undang-undang JPH, kewenangannya berada di Departemen Kesehatan (Depkes) serta Badan POM. Hal ini didasarkan kepada label pangan yang menjadi domainnya Badan POM atas dasar Undang-undang Nomer 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
“Dimana label pangan salah satunya memuat keterangan halal dan berikutnya Badan POM membangun kesepahaman bahwa bentuk keterangan halal itu mengikuti MUI. Jadi Badan POM yang memberikan delegasi, seperti MoU Badan POM 2013,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Asrorun Niam menceritakan, sebelum Undang-undang Pangan, ketentuan label halal diatur dalam piagam kerja sama antara Depkes, Departemen Agama (Depag), dan MUI. Dalam MoU tersebut, kata dia, diatur bahwa pelaksanaan pencantuman label didasarkan atas pembahasan bersama oleh Depkes, Depag, dan MUI.
Saat ini, setelah adanya UU JPH, Asrorun Niam menuturkan bahwa BPJPH memiliki wewenangan untuk menetapkan label yang berlaku secara nasional. Hanya saja, pada saat Badan POM dulu menjadikan keterangan Halal dari MUI sebagai pilihan terkait pertimbangannya historis, sosiologis, keagamaan, juga keberterimaan masyarakat.
“Perihal label halal sekarang ini didasarkan kepada Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal. MUI melihatnya secara proporsional karena ini memang terkait dengan tugas pokok, fungsi, dan kewenangan BPJPH sesuai dengan undang-undang,” kata Kiai Asrorun.
Hanya saja, lanjut Kiai Asrorun, karena ini menyangkut kebijakan publik, idealnya menyerap aspirasi publik. Terutama para pemangku kepentingan seperti pegiat halal, seniman, dan juga para ahli di bidangnya. Pihaknya berharap, ada proses diskusi yang mendalam nantinya terkait dengan persoalan yang menyangkut hak publik oleh seluruh pemangku kepentingan, khususnya lembaga keagamaan, jika itu terkait dengan masalah keagamaan.
Sementara itu, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Kemenag, Mastuki menegaskan bahwa proses sertifikasi halal saling ketergantungan antara BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan MUI.
“BPJPH, menerima tugasnya kemudian dilanjutkan LPH. LPH tidak akan melakukan pemeriksaan kalau tidak ada pendaftaran pelaku usaha ke BPJPH. Begitu juga MUI tidak bisa melakukan sidang fatwa, kalau tidak ada bahannya yang sudah diperiksa oleh LPH. Sedangkan BPJPH tidak menerbitkan sertifikat halal kalau tidak ada fatwa dari MUI,” ungkap Mastuki.
Saat ini sudah ada tiga LPH di Indonesia, salah satunya Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Selama 33 tahun terakhir, LPPOM MUI hadir memberikan berbagai inovasi untuk mendukung kemudahan pelaku usaha dalam proses sertifikasi halal produknya. (*)
Foto: mui.or.id