Diasuh oleh: Dr.K.H. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat); dan Drs.H. Sholahudin Al-Aiyub, M.Si. (Wakil Sekretaris MUI Pusat Bidang Fatwa).

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.

Pa Ustadz, saya mau bertanya, apa hukumnya minum urine unta sebagai obat?  Belakangan ini ramai didiskusikan  bahwa urine atau air kencing unta itu bisa digunakan sebagai obat untuk penyakit-penyakit tertentu yang berat. Sementara saya juga mendapat penjelasan bahwa air kencing (hewan) itu termasuk benda najis yang haram dikonsumsi dalam tuntunan agama kita.

Bagaimana sebenarnya hukum tentang masalah?

Atas jawaban-penjelasan yang diberikan, kami mengucapkan terimakasih.

Wassalam

Dodi, Depok

Jawaban:

Alaikumsalam wr. wb.

Pada prinsipnya memang, bila menderita sakit, kita diperintahkan untuk berobat. Namun jelas, syariat Islam tidak membenarkan atau tidak membolehkan berobat dengan benda atau hal-hal yang diharamkan. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abud Darda’, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Allah telah menurunkan penyakit dan juga obatnya. Allah menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah, namun jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud).

Selanjutnya, para ‘ulama sepakat bahwa air kencing atau urine manusia maupun hewan adalah najis, termasuk benda yang diharamkan dalam Islam. Kecuali dalam kondisi darurat. Tidak ada obat lain. Maka dalam kondisi darurat itu, diperbolehkan, sampai kedaruratannya hilang. Dalam Kaidah Fiqhiyyah disebutkan: “Ad-dhorurotu tubiihul-mahzhuroot”. Maksudnya, kondisi darurat menyebabkan dibolehkannya hal-hal yang diharamkan. Perhatikanlah makna ayat: “Maka, barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah, 2: 173).

Lantas, kalau ada hadits Nabi saw yang menyebutkan, boleh meminum urine unta sebagai obat, maka itu adalah sebagai pengecualian, suatu kekhususan. Hal ini juga disebutkan dalam Kaidah Fiqhiyyah: “Maa min ‘aamin illa wa khusshisho”. Artinya, tidak ada suatu ketentuan yang (bersifat) umum, kecuali ada yang men-takhshis-nya, sebagai ketetapan yang (bersifat) khusus.

Sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia bercerita, “Ada sejumlah orang dari suku Ukl dan Uranah yang datang menemui Nabi saw. Namun mereka mengalami sakit karena tidak betah di Madinah. Lalu Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk mendatangi kandang unta, dan menyuruh mereka untuk minum air kencingnya dan susunya.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain ditambahkan, “Merekapun melakukan saran itu, hingga mereka sehat dan menjadi gemuk.”

Sebagai orang yang beriman kepada Nabi saw, tentu kita akan membenarkan apa yang beliau saw sampaikan. Karena apa yang beliau sampaikan adalah wahyu: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Q.S. An-Najm, 53: 3- 4). Dan Allah Maha Tahu apa yang paling bermanfaat bagi hamba-Nya. Tetapi tentu, hadits itu harus dipahami dalam kondisi darurat, sebagai Takhshish, ketetapan yang bersifat khusus, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Selain itu, dalam memahami hadits Nabi saw tentu harus dikaitkan dengan hadits-hadits yang lain. Tidak boleh memahami satu hadits secara tersendiri. Kalau ada satu hadits yang tampaknya bertentangan dengan hadits yang lain, maka dalam ‘Ulumul-Hadits, hal itu harus dipahami dengan “Ilmu Mukhtaliful Hadits”, ilmu yang membahas bagaimana menyelesaikan dan memahami hadits-hadits yang berlawanan (kandungan maknanya).

Secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, kedua hadits tersebut ditelaah dan dikomporomikan. Kalau memang ada hadits yang membolehkan berobat dengan urine unta, lalu ada hadits yang melarang berobat dengan benda najis, maka kedua hadits itu dikompromikan. Kalau ternyata tidak bisa dikompromikan, maka digunakan cara yang kedua, yaitu metode Nasakh, dengan menerapkan Nasikh dan Mansukh. Ditelusuri mana hadits yang duluan datang, itu dinasakh atau dibatalkan dengan hadits yang datang kemudian. Dalam hal ini tentu harus dipahami kronologi hadits-hadits tersebut. Untuk mengetahui hal ini memang tidak mudah. Karena pada umumnya, para perawi hadits tidak menyebutkan waktu, kapan Nabi saw bersabda dalam Hadits Qauliyah (dengan lisan), dan/atau kapan pula beliau saw berbuat dalam Hadits Fi’liyah (dengan perbuatan). Kalau tidak bisa, maka digunakan cara yang ketiga, yakni metode Tarjih, dengan meneliti mana hadits yang lebih kuat di antara kedua hadits yang bertentangan itu. Dalam hal ini, maka sebagai contoh, Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, itu lebih didahulukan dari pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam hadits yang lain, dst.

Dalam hal hadits tentang berobat dengan urine unta itu, tentu harus pula disertai dengan uji klinis medis, sebagai salah satu bentuk dan cara untuk mengkonfirmasinya. Kalau dalam uji klinis medis itu memang terbukti air seni unta itu bisa berfungsi sebagai obat, maka memahami hadits yang membolehkan menggunakan urine unta sebagai obat, itu sebagai Hadits Khaash, yang bersifat khusus. Sedangkan hadits yang melarang berobat dengan (air kencing) yang najis dan diharamkan, itu sebagai Hadits ‘Aam, atau bersifat umum. Dalam Kaidah Fiqhiyyah, hal itu disebut sebagai Takhshishul-‘Aam. Artinya, hadits yang bersifat umum di-takhshish oleh hadits yang bersifat khusus. Maksudnya, pada dasarnya berobat dengan benda najis itu haram, sebagai ketentuan yang bersifat umum. Namun ada pengecualian, secara khusus, yaitu kecuali dengan air seni atau urine unta, dalam kondisi darurat.

Wallahu a’lam.  

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.