Skincare, bagian dari kosmetika perawatan kulit, kini menjelma jadi gaya hidup modern. Lonjakan industri hingga 77% pasca-pandemi menegaskan besarnya pasar sekaligus urgensi regulasi halal yang wajib berlaku pada 2026.
Data Kementerian Perindustrian menyebutkan, dalam tiga tahun terakhir pasca-pandemi, jumlah pelaku usaha di sektor kosmetika melonjak lebih dari 77%. Jika pada tahun 2020 jumlah pelaku usaha kosmetika dalam negeri hanya 726 pelaku usaha, maka pada 2024 angkanya melonjak menjadi 1.292. Dari jumlah tersebut, 83 persen di antaranya adalah perusahaan mikro dan kecil, serta 17 persen industri menengah dan besar.
Di era modern, perawatan kulit bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan bagian dari gaya hidup sehari-hari. Istilah skincare kini begitu populer, seiring menjamurnya produk perawatan kulit di pasaran. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan skincare, bagaimana regulasinya, dan mengapa kehalalan juga menjadi perhatian utama?
Secara regulasi, tidak ada pemisahan antara skincare dan kosmetika. Menurut Direktur Pengawasan Kosmetika BPOM, I Gusti Ngurah Bagus Kusuma, kosmetika adalah bahan atau sediaan yang digunakan pada bagian luar tubuh manusia untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan, memperbaiki bau badan, atau melindungi serta memelihara tubuh agar tetap dalam kondisi baik.
Dengan definisi ini, skincare masuk ke dalam kelompok kosmetika, tepatnya sebagai produk yang fokus pada perawatan kulit. Dalam praktiknya, kosmetika terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu produk dekoratif seperti bedak dan lipstik yang dikenal sebagai make-up, serta produk perawatan kulit seperti krim wajah dan body lotion yang disebut skincare. Regulasi pengawasan untuk keduanya pun mengacu pada ketentuan yang sama.
Fenomena merebaknya merek skincare dalam beberapa tahun terakhir mencerminkan perubahan gaya hidup masyarakat. Menurut Dr. Priyo Wahyudi, Expert of Laboratory LPPOM MUI, skincare kini tidak lagi dianggap sebagai kebutuhan tambahan, melainkan sebagai bagian penting dari keseharian. Permintaan yang semakin tinggi membuat pasar ini berkembang pesat.
Berbagai merek, baik lokal maupun internasional, bersaing menawarkan inovasi untuk menjawab kebutuhan konsumen. Tren self-care juga memperkuat posisi skincare dalam kehidupan masyarakat modern, karena semakin banyak orang sadar bahwa kesehatan kulit adalah investasi jangka panjang.
Meski skincare dan make-up sama-sama termasuk kosmetika, keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Make-up berfokus pada estetika, misalnya untuk menutupi kekurangan, menyamarkan noda, atau menonjolkan fitur wajah agar terlihat lebih proporsional.
Produk seperti foundation, bedak, blush on, lipstik, dan maskara digunakan untuk mempercantik tampilan dengan hasil yang langsung terlihat. Sebaliknya, skincare bekerja untuk menjaga kesehatan kulit, melembapkan, melindungi dari paparan sinar matahari, dan mengatasi masalah seperti jerawat atau kulit kering. Peran skincare lebih bersifat preventif dan jangka panjang, sehingga keberadaannya dianggap sangat penting oleh banyak orang.
Karena keduanya termasuk kosmetika, regulasi yang berlaku juga sama. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2024, semua produk kosmetika wajib bersertifikat halal dengan batas akhir penerapan pada 17 Oktober 2026. Hal ini menjadi penting mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, sehingga kehalalan bukan hanya menjadi preferensi, melainkan sebuah kebutuhan.
Permintaan terhadap kosmetika halal di Indonesia pun menjadi semakin tinggi, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan dan kehalalan produk. Fakta ini membuka peluang besar bagi industri kosmetika, khususnya skincare.
Secara global, industri ini diproyeksikan mencapai nilai USD 677,2 miliar pada 2025 dengan pertumbuhan 3,37%. Indonesia memiliki modal kuat untuk menjadi salah satu pemain utama, didukung jumlah penduduk perempuan lebih dari 141 juta jiwa dan tingginya minat terhadap perawatan diri. Ditambah lagi, produk yang mengedepankan aspek halal memiliki daya tarik tersendiri di pasar domestik maupun internasional.
Dengan potensi sebesar ini, produsen skincare tidak hanya dituntut untuk menciptakan produk berkualitas, tetapi juga memastikan kepatuhan terhadap regulasi halal. Bagi konsumen, pemahaman mengenai kehalalan menjadi faktor penting dalam memilih produk yang aman, berkualitas, dan sesuai dengan nilai yang dianut. Skincare bukan lagi sekadar produk kecantikan, melainkan bagian dari gaya hidup sehat dan identitas, sekaligus peluang besar bagi industri untuk berkembang di masa depan.
Sebagai upaya mendukung produsen kosmetika, LPH LPPOM juga menghadirkan program Halal On 30. Melalui sesi singkat berdurasi 30 menit yang dapat diakses di bit.ly/HalalOn30, program ini memberikan penjelasan praktis mengenai proses sertifikasi halal, sehingga pelaku usaha dapat memahami alurnya tanpa harus meluangkan banyak waktu.
Selain itu, Laboratorium LPPOM MUI yang telah terakreditasi ISO/IEC 17025:2017 turut menyediakan layanan pengujian tambahan, seperti uji tembus air dan uji vegan untuk produk kosmetika. Layanan ini menjadi penunjang penting bagi produsen dalam memastikan kualitas produk sesuai standar halal, sekaligus menjawab kebutuhan konsumen yang kian beragam. Informasi lebih lanjut dapat diakses melalui laman https://e-halallab.com/. (***)
Sumber : https://halalmui.org/jurnal-halal/175/