Pada Oktober 2026, seluruh produk kosmetika yang beredar di Indonesia wajib memiliki sertifikat halal. BPJPH pun tengah menyiapkan pedoman khusus agar industri kosmetika siap menghadapi ketentuan ini. Tak hanya regulator, LPH LPPOM juga mengambil peran strategis dengan menyediakan berbagai program guna memastikan pelaku usaha memahami proses sertifikasi halal BPJPH dengan lebih cepat dan mudah.
Pada Oktober 2026, penahapan kewajiban sertifikasi halal tahap kedua akan diberlakukan , termasuk kosmetika. Ketentuan ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut melalui berbagai regulasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Hal ini menegaskan bahwa tidak hanya pangan dan minuman, tetapi juga obat, barang gunaan, dan kosmetika harus memenuhi standar halal agar dapat diedarkan secara sah di Indonesia.
Kepala Deputi Bidang Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Dr. H. Mamat Salamet Burhanudin, M.Ag., menegaskan bahwa pihaknya tengah menyiapkan pedoman sertifikasi halal khusus untuk kosmetika. “Kosmetika merupakan bagian dari barang yang terkena kewajiban sertifikat halal. Agar para pelaku usaha memiliki pedoman yang jelas dalam sertifikasi halal, kami menyiapkan pedoman khusus tersebut,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kosmetika sebenarnya sudah masuk kategori wajib halal sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014. Namun, pemerintah memberikan masa relaksasi hingga Oktober 2026. Masa ini seharusnya digunakan oleh para pelaku usaha untuk mempersiapkan diri. “Kewajiban sertifikasi halal sudah ada sejak 2014, hanya saja pemberlakuannya dilakukan secara bertahap. Kosmetika masuk ke masa penahapan wajib halal pada tahun 2026,” jelas Mamat.
Dalam penyusunan pedoman ini, BPJPH melibatkan berbagai kementerian dan lembaga. Mulai dari Badan Standardisasi Nasional (BSN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Setelah panduan di tingkat pemerintah selesai, pedoman tersebut akan diturunkan kepada Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) termasuk LPPOM, serta pihak-pihak lain yang berperan di sektor kosmetika.
Urgensi pedoman ini semakin tinggi mengingat tren penggunaan produk perawatan wajah dan tubuh di Indonesia yang terus meningkat. Dari remaja hingga dewasa, masyarakat semakin gandrung pada kosmetika, terutama skincare yang diklaim mampu membuat wajah lebih cerah dan “glowing”. Mamat menegaskan, pemerintah memiliki kewajiban melindungi konsumen dengan memastikan produk yang digunakan benar-benar halal.
“Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada perusahaan kosmetika, karena sekitar 85–90% bahan baku mereka masih impor. Walaupun produk impor mendapat masa relaksasi hingga 2026, kami tetap mengimbau agar perusahaan menyiapkan sertifikat halal sedini mungkin, baik melalui BPJPH maupun dari lembaga di negara asal,” kata Mamat.
Pedoman halal untuk kosmetika ini tidak hanya berlaku bagi produsen dalam negeri, melainkan juga untuk produk impor. Dengan demikian, setiap kosmetika yang beredar di Indonesia setelah Oktober 2026 wajib memenuhi sertifikasi halal. “Jangan sampai pada saat itu baru muncul permasalahan dan permintaan relaksasi kembali. Kami ingin semua pihak siap sejak dini,” tegasnya.
Adapun aspek yang menjadi perhatian utama BPJPH dalam pedoman halal kosmetika tetap mengacu pada Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). Mulai dari komitmen pelaku usaha, jaminan kehalalan bahan baku, proses produksi yang sesuai prinsip syariat, hingga evaluasi berkelanjutan. Termasuk di dalamnya aturan mengenai nama produk yang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai keislaman maupun norma adat.
Mamat menyebutkan, karakteristik produk kosmetika yang beragam membuat pedoman ini harus lebih spesifik. Misalnya, klasifikasi apakah suatu produk termasuk kosmetik atau hanya perawatan, serta bahan mana saja yang wajib disertifikasi. “Kami menargetkan sebelum 2026 pedoman ini selesai, sehingga bisa langsung dijalankan setelah mendapat persetujuan pimpinan,” tambahnya.
Dalam mendukung proses sertifikasi halal, LPPOM sebagai salah satu LPH memiliki peran penting. LPPOM mendorong implementasi regulasi wajib halal berdasarkan PP Nomor 42 Tahun 2024, termasuk untuk produk kosmetika. Salah satu langkahnya adalah dengan menyediakan ruang diskusi melalui program Halal On 30 yang dapat diakses di bit.ly/HalalOn30. Solusi praktis ini membantu industri kosmetika, terutama yang masih awam, untuk memahami proses sertifikasi tanpa harus mengorbankan banyak waktu.
Dengan kolaborasi antara regulator, LPH, dan industri, pemerintah berharap implementasi kewajiban halal dapat berjalan lancar. “Kami ingin aturan ini berlaku efektif, sehingga tidak ada lagi alasan untuk menunda. Semua pihak harus siap sejak dini,” pungkas Mamat.
Pada akhirnya, kepatuhan terhadap kewajiban sertifikasi halal tidak hanya sebatas regulasi, tetapi juga bentuk perlindungan konsumen muslim sekaligus peluang meningkatkan daya saing produk kosmetika Indonesia di pasar global. (***)
Sumber : https://halalmui.org/jurnal-halal/175/