Search
Search

Ternyata Begini Alasan Kata ‘Spirit’ Muncul pada Saus Halal Korea

Ternyata Begini Alasan Kata ‘Spirit’ Muncul pada Saus Halal Korea

Kata “spirit” pada kemasan saus Korea bersertifikat halal sempat memicu tanda tanya besar di kalangan konsumen. Bagaimana mungkin istilah yang identik dengan minuman keras ini muncul pada produk yang dijamin kehalalannya? Apakah ada yang disembunyikan, atau sekadar salah paham dalam penerjemahan? Inilah fakta di balik kontroversi tersebut. 

Beberapa waktu terakhir, muncul perbincangan di kalangan konsumen terkait salah satu produk saus asal Korea yang telah bersertifikat halal. Pasalnya, pada kemasan produk tersebut tertulis kata “spirit”.  

Secara umum, istilah “spirit” yang dikenal masyarakat identik dengan minuman keras atau alkohol hasil distilasi. Dalam berbagai bahasa dan budaya, kata ini sering digunakan untuk menyebut minuman beralkohol berkadar tinggi, seperti whisky, rum, vodka, gin, atau brandy, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai “spirits”. Karena asosiasinya yang kuat dengan minuman keras, istilah ini menimbulkan kesan negatif ketika muncul pada produk makanan yang diklaim halal. 

Kata “spirit” sendiri berasal dari kata Latin “spiritus” yang berarti napas atau esensi, yang kemudian digunakan untuk merujuk pada cairan hasil destilasi karena dianggap sebagai “esensi” dari bahan fermentasi. Dalam konteks masyarakat umum, ketika mendengar kata “spirit”, yang terbayang adalah minuman beralkohol yang memabukkan, bukan bahan pelarut etanol yang bisa digunakan dalam proses pengolahan makanan. 

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa kata “spirit” bisa muncul pada produk yang sudah dijamin kehalalannya? Apakah kandungan di dalamnya aman dan sesuai syariat? 

Kebingungan ini berawal dari proses penerjemahan istilah asli dalam bahasa Korea. Pada kemasan produk tersebut tercantum kata “주정 (jujeong)”, yang berasal dari dua unsur: “주” yang berarti alkohol, dan “정” yang berarti esens atau murni. Jika diterjemahkan secara teknis, “주정” merujuk pada pelarut etanol yang digunakan untuk pengolahan pangan, bukan minuman keras.  

Dalam konteks industri pangan Korea, penggunaan istilah “spirit” dinilai lebih lazim daripada kata “ethanol”. Ini karena “ethanol” lebih sering digunakan untuk bahan kimia industri, sementara dalam makanan, kata “spirit” dipilih agar lebih familiar di kalangan konsumen. Sebaliknya, istilah untuk minuman beralkohol seperti soju dalam bahasa Korea ditulis berbeda, yaitu “소주 등 음료”, yang secara khusus merujuk pada minuman keras.  

Dengan demikian, kata “spirit” yang tertera pada kemasan tidak mengacu pada minuman keras, melainkan pelarut etanol yang digunakan untuk keperluan pengolahan pangan. Namun, apakah etanol seperti ini diperbolehkan dalam produk halal?  

Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol atau Etanol, penggunaan etanol diperbolehkan selama memenuhi dua syarat utama: tidak berasal dari bahan haram atau minuman keras (khamar), serta secara medis tidak membahayakan.  

Dalam kasus produk saus asal Korea ini, etanol yang digunakan tidak berasal dari minuman keras. Dengan demikian, penggunaan etanol dalam produk tersebut dinilai sesuai dengan ketentuan halal yang berlaku. 

Menanggapi fenomena ini, Muti Arintawati, Direktur Utama Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM memberikan penjelasan. “Istilah ‘spirit’ dalam konteks ini tidak bisa langsung diartikan sebagai minuman keras. Karena setelah kami telusuri, secara teknis istilah tersebut dipilih sebagai terjemahan dari kata ‘jujeong’ yang maksudnya adalah etanol untuk pangan,” tegasnya. 

Muti melanjutkan, selama etanol tersebut tidak berasal dari khamar dan dalam proses pengolahannya tidak mengandung bahan haram, maka penggunaannya diperbolehkan sesuai Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2018. Artinya, produk tersebut tetap halal karena proses dan bahan bakunya memenuhi ketentuan. 

Fenomena kata “spirit” pada produk halal menunjukkan pentingnya memahami konteks bahasa dan regulasi. Perbedaan budaya dan penerjemahan sering kali menimbulkan salah persepsi, terutama bagi konsumen yang tidak terbiasa dengan istilah teknis. Dalam hal ini, yang terpenting adalah memastikan bahan dan proses produksi sesuai dengan standar halal.  

Etanol yang digunakan dalam produk pangan, selama bukan berasal dari minuman keras dan tidak berbahaya, dinyatakan halal dan aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak terburu-buru menarik kesimpulan hanya dari istilah yang digunakan, tetapi juga melihat kejelasan proses pemeriksaan halal dan informasi resmi yang diberikan. (YN)