Oleh Hendra Utama, Auditor Senior LPPOM
Tak banyak yang tahu, proses pembuatan batik bisa melibatkan bahan turunan hewan. Jika tidak ditelusuri dengan cermat, selembar kain batik yang tampak indah bisa saja menyimpan unsur yang tak sesuai dengan prinsip halal. Hal ini berimplikasi pada sah atau tidaknya ibadah maghdah kita. Jangan sampai shalat kita tidak diterima oleh Allah hanya karena mengenakan pakaian yang tercemar najis.
Di balik selembar kain batik yang kerap kita kenakan dengan bangga, tersimpan kisah panjang yang sarat nilai budaya, sejarah, dan bahkan spiritualitas. Batik bukan hanya soal motif atau tren busana—ia adalah wujud warisan leluhur yang menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dari zaman kerajaan hingga era modern. Tak heran jika pada tahun 2009, UNESCO menetapkannya sebagai warisan budaya tak benda milik Indonesia, dan sejak itu setiap tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional.
Namun, seiring berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap konsumsi yang halal dan thayyib, pertanyaan pun mulai muncul: bagaimana dengan kehalalan produk sandang seperti batik? Apakah mungkin kain yang kita pakai sehari-hari—yang melalui proses panjang pewarnaan, pelilinan, dan pencucian—mengandung unsur dari hewan yang tidak halal?
Batik: Warisan, Simbol, dan Evolusi Budaya
Batik bukan hanya kain berpola indah—ia adalah narasi panjang peradaban bangsa. Sejak zaman Majapahit hingga masa penyebaran Islam di Nusantara, batik telah menjadi simbol status, keindahan, dan kearifan lokal. Awalnya, batik hanya dikenakan kalangan bangsawan istana. Namun, seiring berjalannya waktu, sekitar abad ke-18, batik mulai menyentuh kehidupan rakyat jelata dan menjadi warisan turun-temurun.
Secara etimologis, “batik” berasal dari kata dalam bahasa Jawa: amba (menulis) dan titik. Gabungan keduanya melambangkan seni menggambar dengan pola titik dan garis menggunakan lilin panas di atas kain.
Teknik pembuatannya pun khas: dikenal sebagai wax-resist dyeing, yaitu teknik mewarnai kain dengan menggunakan lilin sebagai penghalang warna. Motifnya dipadukan dengan identitas budaya Indonesia terutama di Pulau Jawa. Walaupun ada catatan lain yang mengatakan bahwa batik pada awal keberadaannya bukan saja hanya ada di pulau Jawa namun juga ditemukan di Sulawesi.
Ilmuwan berhipotesa bahwa bahwa perjalanan batik di Indonesia melalui proses evolusi. Batik kuno yang disinyalir merupakan cikal-bakal batik modern ditemukan di beberapa tempat. Misalnya kain simbut yang ditemukan di Jawa Barat. Kain ini berlatar belakang warna merah dengan motif utama garis-garis yang dibiarkan putih atau dibiarkan tak diwarnai. Contoh lain, Batik lurik yang ditemukan di Tuban, di samping Pio puang yang merupakan batik panjang dari Sulawesi.
Pada masa kolonial, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mulai mengenalkan batik pabrik atau batik cetak—yang kemudian dikenal sebagai batik cap—dengan menggunakan rol tembaga sebagai alat untuk mencetak pola atau motif. Sementara pada pendudukan Jepang, batik tulis tetap dipertahankan.
Jelas terdapat perbedaan keduanya. Dari sisi penampilan, batik cap lebih presisi, simetris, dan seragam. Sementara batik tulis dinilai lebih sakral, hasilnya unik tergantung pengrajin yang mengerjakannya. Bisa jadi dengan pola yang sama, dikerjakan oleh orang yang sama, di waktu yang berbeda, maka hasilnya pun akan berbeda. Apalagi dikerjakan oleh orang yang berbeda.
Bahan yang digunakan untuk menghasilkan batik tulis terdiri dari kain mori, katun, rayon, atau sutra, serta malam (lilin) dan pewarna (alami atau sintetik). Alat yang digunakan adalah canting, yakni alat tembaga berlubang kecil untuk menorehkan malam panas ke kain. Berbagai ukuran digunakan untuk detail halus atau garis tebal.
Di samping itu, kuas juga digunakan untuk mengisi bidang luas dengan malam. Peralatan pendukung berupa wajan dan kompor kecil yang digunakan untuk melelehkan malam, bingkai kayu (gawangan) untuk membentang kain selama proses membatik.
Bahan lainnya yang juga digunakan adalah air mendidih untuk menghilangkan malam setelah proses pewarnaan selesai. Bahan fiksasi, seperti soda abu atau tawas, untuk mengikat warna pada kain. Bahan yang berfungsi sebagai penguat warna alami, yakni garam dan cuka. Ada juga bahan yang berfungsi sebagai pemutih alami atau untuk mencerahkan warna tertentu, yakni air kapur.
Proses pembuatan batik tulis dimulai dengan nyungging yakni menggambar motif batik pada selembar kertas, njaplak atau jiplak yakni memindahkan motif ke atas kain, ngolowong dengan menempelkan malam ke atas kain dengan media canting, ngiseni dengan memberi isian dengan motif yang sudah disiapkan dengan media canting.
Proses berikutnya adalah nyolet yakni proses mewarnai pada bagian gambar motif yang paling sering terlihat misalnya bunga, mopok yakni menutup bagian yang sudah dicolet dengan malam, diiringi dengan proses nembok yakni menutupi dasar kain yang tidak ingin diwarnai, ngelir yakni melakukan proses pewarnaan secara keseluruhan pada kain, nglorod yakni tahap pertama dalam meluruhkan malam pada kain dengan air mendidih, ngrentesi yakni memberikan titik-titik pada garis ornamen utama dengan canting yang lebih kecil dan halus, sehingga titik-titik tersebut terlihat lebih rapi.
Langkah berikutnya adalah nyumri yakni menutup kembali beberapa bagian dengan malam, nyoja yakni proses mencelupkan kain dengan warna sogan atau coklat (warna khas batik Jogja atau Solo), dan nglorod yakni proses terakhir dalam meluruhkan malam dengan air mendidih.
Berbicara tentang motif, ada beberapa yang sangat terkenal. Sebutlah motif parang dan kawung. Karena dikembangkan oleh keraton, motif ini merupakan makna simbolik yang berhubungan dengan istana kerajaan. Motif parang simbol kekuasaan dan motif kawung simbol keseimbangan fisik dan spiritual.
Motif populer lainnya yang juga bermakna simbolik adalah sido asih yang bermakna kehidupan manusia yang penuh kasih sayang atau cinta yang berkesinambungan, mega mendung yang bermakna sabar atau bisa mengendalikan emosi, dan sekar jagad yang bermakna keanekaragaman di muka bumi.
Mengapa Batik Jadi Objek Sertifikasi Halal?
Untuk membuat selembar batik tulis, dibutuhkan berbagai bahan dan alat: kain mori, canting, malam (lilin batik), pewarna, hingga wajan kecil untuk melelehkan malam. Tapi yang jarang disadari adalah bahwa di balik semua bahan ini, tersembunyi potensi unsur hewani yang bisa memunculkan pertanyaan penting: apakah batik bisa dipastikan kehalalannya?
Sejak Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan regulasi turunannya diberlakukan, sandang termasuk kategori barang gunaan yang wajib memiliki sertifikasi halal jika produk yang berasal atau mengandung unsur hewan. Hal ini berlaku mulai 17 Oktober 2021 dan akan efektif penuh pada 17 Oktober 2026.
Untuk mengakomodir aturan ini, LPPOM membuka program Halal On 30 yang dapat diikuti melalui tautan bit.ly/HalalOn30. Pada program ini, pelaku usaha akan dibimbing untuk memahami proses sertifikasi secara lengkap hanya dalam 30 menit.
Selain sandang, jenis produk barang gunaan lain yang wajib disertifikasi halal diantaranya penutup kepala, aksesoris, perbekalan kesehatan rumah tangga, peralatan rumah tangga, perlengkapan peribadatan umat Islam, hingga kemasan produk.
Mengapa batik perlu ditelusuri kehalalannya? Jawabannya terletak pada titik kritis-titik kritis dalam proses produksinya—mulai dari bahan tekstil, zat pewarna, lilin malam, hingga proses pendukung seperti sizing dan desizing.
- Penganjian Benang Lusi (Sizing)
Salah satu tahapan awal yang krusial adalah proses penganjian benang lusi. Dalam proses ini, benang dilapisi zat kanji untuk memperkuat daya tenun. Kanji ini bisa berasal dari berbagai sumber, termasuk glue dan gelatin, yang kerap berasal dari kolagen hewan. Di sinilah titik rawan muncul—karena tanpa kejelasan sumber bahan, potensi ketidaksesuaian dengan prinsip halal tak bisa dihindari.
Kanji alam antara lain: tapioka, maizena, pati kentang, terigu, kanji protein seperti glue, gelatin dan kasein, macam-macam gom, kanji termodifikasi, dan dekstrin. Kanji sintetik antara lain: Polivenil Alkohol (PVA), akrilik, derifat selulosa seperti CMC, Hidroksil etil selulosa, dan metil selulosa, atau derifat kanji seperti starch ester.
Di antara semua jenis ini, protein hewani menempati posisi paling kritis. Gelatin dari hewan yang tidak disembelih sesuai syariat, atau glue dari sisa tulang dan kulit babi, berisiko menjadikan proses pembuatan batik terkontaminasi unsur najis. Meskipun hanya digunakan dalam proses dan bukan menjadi bagian dari produk akhir, dalam prinsip halal dan thayyib, keterlibatan bahan najis membuat produk berstatus mutanajis Istilah munajis bermakna sesuatu yang awalnya suci terkena najis. Mutanajis juga menyebabkan sebuah produk tidak bisa disertifikasi halal.
- Proses Penghilangan Kanji (Desizing)
Metodenya bisa melalui perendaman, penggunaan asam atau alkali, bahan pengoksidasi, hingga enzim. Dari keempat metode pertama, risiko kehalalan relatif minim. Namun, penggunaan enzim memunculkan tantangan baru. Jika enzim yang digunakan berasal dari pankreas hewan atau fermentasi mikroba berbasis bahan hewani haram, maka kehalalan batik menjadi diragukan. Hal ini berlaku meskipun enzim hanya digunakan sebagai bahan penghidrolisis, karena dalam standar halal, seluruh rantai proses harus dipastikan bersih dari unsur haram atau najis.
- Malam (Lilin) Batik
Malam adalah campuran lilin yang berfungsi menahan warna pada kain saat proses pewarnaan. Malam umumnya terbuat dari kombinasi parafin, lilin lebah, damar, dan terkadang lemak hewan. Lemak hewan inilah yang kembali mengundang pertanyaan serius. Tanpa informasi sumber yang jelas, potensi penggunaan lemak babi atau hewan tidak halal dalam malam batik tidak bisa diabaikan. Apalagi, banyak pengrajin batik kecil yang menggunakan bahan campuran tanpa label atau asal-usul yang yang jelas.
Menenun Nilai Halal dalam Warisan Budaya
Melihat aspek kritis ini, maka sertifikasi halal batik bukanlah sekadar legalitas administratif, melainkan bentuk komitmen terhadap keutuhan nilai budaya dan spiritual. Di masa depan, proses sertifikasi ini dapat menjadi pemicu berkembangnya rantai pasok bahan baku halal di industri tekstil tradisional. Dengan begitu, batik tidak hanya menjadi lambang keindahan Indonesia semata, tetapi juga simbol produk budaya yang memenuhi etika spiritual dan kebutuhan konsumen Muslim global.
Sertifikasi halal akan menuntut adanya traceability penuh—dari benang hingga bahan pewarna, dari malam hingga cairan pencuci. Kita tak perlu mencurigai setiap lembar batik yang dikenakan, namun justru perlu menyadari bahwa budaya pun bisa menjadi bagian dari sistem halal nasional. Di tengah perubahan zaman, batik menjadi titik temu antara tradisi leluhur, pemenuhan syariat Islam, dan tuntutan industri fesyen. (HU)
Sumber : https://halalmui.org/jurnal-halal/174/