Search
Search

Jangan Hanya Viral, Pilih Resto Tetap Harus yang Halal 

Jangan Hanya Viral, Pilih Resto Tetap Harus yang Halal

Di tengah maraknya tren kuliner viral yang informasinya berseliweran di media sosial, masyarakat terutama generasi muda kini semakin mudah tergoda untuk mencoba restoran hanya karena tampilan Instagramable atau berdasarkan hasil review dari food vlogger favorit. Namun, di balik popularitas dan antrean panjang, ada satu pertanyaan penting yang sering terabaikan: sudahkah restoran tersebut berstatus halal? 

Di era digital saat ini, tren kuliner berkembang begitu cepat. Setiap hari, ada saja restoran atau menu baru yang viral di media sosial. Entah karena plating yang estetik, review selebgram yang menggoda, atau antrean panjang yang mengundang ‘wajib dicoba’. Tak sedikit masyarakat, khususnya anak muda, yang langsung tergoda untuk mencoba tanpa pikir panjang—asal ramai dan kelihatan enak, langsung meluncur. Inilah yang disebut dengan fenomena FOMO (Fear of Missing Out), yaitu rasa takut tertinggal tren yang mendorong seseorang untuk ikut-ikutan meskipun belum tentu sesuai dengan nilai yang diyakini. 

Sayangnya, dalam urusan memilih kuliner, banyak yang terlalu fokus pada soal rasa dan visual tanpa menimbang aspek yang jauh lebih penting, yakni kehalalan produk. Padahal bagi umat Islam, halal bukan hanya perkara simbolik, melainkan prinsip utama dalam gaya hidup. Tanpa disadari, kita bisa saja menyantap makanan yang mengandung bahan haram atau terkontaminasi, hanya karena tergoda promosi atau percaya begitu saja pada klaim halal sepihak. 

Inilah yang menjadi alarm penting bagi kita sebagai konsumen Muslim untuk lebih kritis dan bijak. Jangan sampai rasa penasaran pada makanan viral justru membuat kita terjebak dalam krisis etika konsumsi. Karena sejatinya, yang viral belum tentu halal. 

Klaim Halal Sepihak Bukan Jaminan 

Banyak  narasi klaim sepihak pelaku usaha, yang dikesankan seakan-akan bahwa resto tersebut statusnya halal.  Beberapa diantaranya seperti “no pork no lard”, “Chef kami muslim”, “muslim friendly”, “no alcohol”, dan sebagainya.  Klaim ini, yang biasanya terinspirasi dari praktik restoran di luar negeri, dianggap mampu memberi rasa aman bagi konsumen Muslim karena menandakan tidak adanya kandungan babi atau minyak babi dalam makanan. Beberapa pemilik restoran bahkan meyakini bahwa klaim ini cukup untuk memberikan jaminan halal. 

Padahal, menurut Direktur Utama LPPOM, Muti Arintawati,  klaim halal sepihak tidak serta-merta menjamin kehalalan suatu produk. “Kehalalan suatu makanan tidak hanya bergantung pada ketiadaan daging babi atau turunannya, tetapi juga pada keseluruhan proses produksinya, mencakup pemilihan bahan,  distribusi bahan (dari supplier ke gudang  dan dari gudang ke outlet) atau menu (dari dapur pusat ke outlet), pengolahan (baik di dapur pusat maupun outlet), hingga penyajian atau penjualan,” ujarnya. 

Sebagai contoh, daging sapi yang dipersepsikan  halal, statusnya bisa menjadi tidak halal apabila penyembelihannya tidak sesuai syariat Islam. Belum lagi jika peralatan masak tidak dipisahkan dengan makanan non-halal atau  jika terjadi kontaminasi dengan najis seperti  bahan atau menu yang terkontaminasi di fasilitas transportasi dan penyimpanannya karena bercampur dengan bahan non-halal/najis. Kemungkinan kontaminasi najis juga bisa dari alat makan atau alat masak yang digunakan bersama antara menu halal dan tidak halal. 

Misalnya pada outlet yang menggunakan fasilitas bersama pada lokasi pujasera atau foodcourt. Pengelola pujasera biasanya memiliki kebijakan untuk menyediakan alat makan dan tempat pencuciannya secara bersama dengan penyewa lainnya, yang mungkin saja tidak semuanya halal. Setiap produk atau menu yang terkontaminasi bahan najis maka statusnya menjadi haram.  Dalam kasus seperti ini, kehalalan tidak bisa dipastikan tanpa adanya proses verifikasi resmi dari lembaga yang berwenang. 

Banyak yang Mengira Halal, Tapi Ternyata Tidak 

Dian Widayanti, seorang content creator yang aktif mengedukasi pentingnya produk halal, menyebut masih banyak restoran yang mengklaim halal secara sepihak. “Ternyata masih sering ditemukan penggunaan bahan-bahan yang seharusnya tidak digunakan,” kata Dian. Beberapa bahan yang sering luput dari perhatian, antara lain: 

  • Angciu (arak masak): Salah satu jenis arak masak popular. Selain angciu ada sake dan jenis arak lainnya yang beredar. Umumnya digunakan pada Chinese Food, namun tidak jarang juga ditambahkan pada nasi goreng yang dijual di pinggir jalan 
  • Rhum: Umum digunakan dalam cake, roti, atau dessert. Meski disebut “essence” atau “non-alkohol”, jika namanya tetap “rhum”, maka tidak diperbolehkan untuk disertifikasi halal. Hal ini berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Sensory Profile (rasa dan aroma), Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal. Salah satu poinnya menyebutkan bahwa poduk tidak dapat disertifikasi halal ketika produk memiliki memiliki nama yang mengarah pada yang diharamkan atau memiliki rasa/aroma (flavour) yang sama atau mengarah pada produk yang diharamkan. termasuk minuman keras seperti rhum.    
  • Mirin: Digunakan di banyak restoran Jepang, terutama sebagai bahan campuran nasi sushi. “Kalau ada yang bilang mereka pakai mirin halal, pastikan itu benar-benar bukan mirin, karena sejatinya tidak ada istilah mirin halal,” tegas Dian. 
  • Kahlua dan Irish Cream: Minuman alkohol yang kerap dicampurkan dalam kopi atau dessert seperti tiramisu.  Kahlua dan irish cream jelas tidak boleh menjadi bagian dari produk halal karena status keduanya haram dan najis.   
  • Kuas bulu  hewan: Banyak restoran mungkin masih menggunakan kuas yang berasal dari bulu atau rambut hewan.  Hal ini bisa diuji ketika kuas tersebut dibakar, baunya seperti rambut atau zat tanduk terbakar. Karena tidak ada dokumen yang  bisa menjelaskan dan memastikan asal bulunya, ada kemungkinan berasal dari bulu babi. Dian menyarankan untuk memilih kuas silikon atau sintetis food grade

“Kadang-kadang, mereka bukan dengan sengaja menjual makanan non-halal, tapi banyak yang belum tahu bahwa bahan-bahan ini sebetulnya tidak halal,” jelas Dian. Artinya, edukasi kehalalan tidak hanya penting bagi konsumen, tetapi juga bagi para pelaku usaha kuliner. 

Saat ini, kebutuhan produk halal bagi konsumen muslim sudah diakomodir oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan UU no 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja beserta regulasi turunannya, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024. Regulasi ini menyebutkan bahwa seluruh produk yang beredar wajib bersertifikasi halal, kecuali bagi produk haram. Namun untuk produk haram pelaku usaha tetap mempunyai kewajiban menginformasikan kepada konsumen bahwa produknya memang tidak halal.  

Untuk membantu konsumen dalam memverifikasi produk halal, LPPOM menyediakan platform Cari Produk Halal yang bisa diakses melalui situs www.halalmui.org atau website BPJPH di https://bpjph.halal.go.id. Konsumen dapat dengan mudah mengecek apakah suatu restoran atau produk benar-benar sudah tersertifikasi halal. 

Sementara bagi pelaku usaha yang masih bingung memulai proses sertifikasi halal, LPPOM membuka layanan konsultasi melalui Call Center 14056 atau WhatsApp di 0811-1148-696. Selain itu, LPPOM secara rutin menyelenggarakan kelas Pengenalan Sertifikasi Halal (PSH) secara gratis setiap minggu ke-2 dan ke-4, yang dapat diikuti melalui https://halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal/

Di tengah gempuran tren kuliner yang terus berubah dan viral, sudah saatnya kita tidak sekadar ikut-ikutan. Jangan hanya karena viral, lalu kita abai terhadap aspek kehalalan. Pastikan restoran atau produk yang kita pilih tidak hanya menggoda di mata dan lidah, tapi juga bersih, berkualitas, dan halal. (YN)

//
Assalamu'alaikum, Selamat datang di pelayanan Customer Care LPPOM
👋 Apa ada yang bisa kami bantu?