• Home
  • Berita
  • Inilah Peran Stakeholder Halal di Indonesia, Bagaimana dengan LPPOM MUI?

Demi mendukung terselenggaranya sertifikasi halal yang kredibel di Indonesia, LPPOM MUI sebagai LPH memilih auditor halal yang profesional serta menjaga ketersebarannya di 34 provinsi di Indonesia serta empat kantor perwakilan LPPOM MUI di luar negeri.

Pada Oktober 2014, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menetapkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Undang-undang ini mewajibkan seluruh produk yang diproduksi, dijual dan diedarkan di Indonesia bersertifikat halal.

Agar UU JPH ini dapat berjalan, maka diperlukan peraturan pelaksana. Di antaranya: Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal; Keputusan Menteri Agama Nomor 982 Tahun 2019; serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

Ketiga kebijakan regulasi tersebut menjelaskan wewenang, tugas, dan kewajiban dari setiap stakeholder berdasarkan UU JPH. Setidaknya ada tiga stakeholder yang saling terkait dalam industri halal di Indonesia, yaitu Pemerintah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

Pertama, Pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berwenang dalam pendaftaran permohonan sertifikasi halal dan penerbitan sertifikat halal. Selain itu, dalam UU JPH diterangkan juga bahwa BPJPH memiliki tugas untuk sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal juga menjadi kewajiban dari BPJPH.

Kedua, MUI yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. Kerja sama BPJPH dengan MUI dilakukan dalam bentuk sertifikasi auditor halal, penetapan fatwa kehalalan produk, dan akreditasi LPH.

Dalam penetapan fatwa, keputusan halal produk ditetapkan oleh MUI dalam sidang Komisi Fatwa MUI. Hasilnya kemudian disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan sertifikat halal.

Ketiga, LPH adalah lembaga yang berwenang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan produk. Saat ini, sudah ada tiga LPH di Indonesia, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) salah satunya.

Setiap LPH wajib memiliki auditor halal setidaknya 3 orang, yaitu orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk. Auditor halal bertugas untuk memeriksa dan mengkaji bahan; proses pengolahan; sistem penyembelihan; meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan; memeriksa pendistribusian dan penyajian; memeriksa sistem jaminan halal; serta melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.

Hingga November 20210, LPPOM MUI telah memiliki lebih dari 1.000 auditor halal dari berbagai latar belakang pendidikan. Di antaranya: teknologi pangan, kimia, biokimia, teknologi industri, biologi, farmasi.

Adapun profesi auditor halal LPPOM MUI berasal dari kalangan profesional maupun civitas akademika yang telah berpengalaman dan tersebar di berbagai tempat. Baik di LPPOM MUI pusat, maupun di 38 kantor perwakilan yang terdiri dari 34 provinsi di Indonesia dan 4 kantor di China, Korea, dan Taiwan. Bahkan, lebih dari 190 auditor telah mempunyai Sertifikat Kompetensi Kerja Profesi Auditor Halal dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Ketiga stakeholder di atas bertanggung jawab atas pelayanan sertifikasi bagi para pelaku usaha di Indonesia. Di samping itu, Pelaku Usaha juga memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan industri halal di Indonesia.

Menurut UU JPH, Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia. Pelaku usaha wajib untuk menerapkan dan mempertahankan konsistensi implementasi sistem jaminan halal agar tetap berjalan dengan baik.

Karena itu, setiap perusahaan harus memiliki penyelia halal, yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap proses produksi produk halal. Penyelia halal bertugas untuk mengawasi dan mengoordinasikan proses produksi di perusahaan; menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan; serta mendampingi auditor halal pada saat pemeriksaan. (YN)

Referensi:

  • Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH)
  • Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019
  • Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal
  • Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.