Oleh: 

Dr. K.H. Maulana Hasanuddin, M.A (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat)

Drs. H. Sholahudin Al-Aiyubi, M.Si. (Wakil Sekretaris Jenderal MUI Bidang Fatwa)

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullah

Indonesia tergabung dari beragam daerah yang memiliki tradisi berbeda. Beberapa tradisi berkaitan dengan kepercayaan tertentu. Tak sedikit dari itu yang mencampurkan agama dengan ritual tertentu sehingga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat modern saat ini.

Di daerah saya, misalnya, rutin melakukan upacara adat berupa doa bersama yang dipimpin oleh seorang kyai terkemuka, memohon kepada Allah Swt. agar sumber air di daerah tersebut tidak kering. Namun, dalam upacara itu dilakukan pula penyembelihan kerbau atau sapi.

Penyembelihan dilakukan sesuai syariat agama, yakni dengan membaca “Basmalah” dan seterusnya. Tetapi kepala kerbau atau sapi itu kemudian ditanam sebagai sesajen untuk “Penunggu” yang dianggap tinggal di dekat sumber air tersebut. Hal itu dilakukan dengan pemahaman agar si “Penunggu” tidak mengganggu dan/atau menghambat/mengurangi aliran air yang keluar dari sumber tersebut. Sedangkan daging kerbau atau sapi dari sembelihan itu dimasak dan dimakan bersama para warga.

Melihat dari tradisi tersebut, bagaimana kehalalan daging sembelihan tersebut? 

Wassalamualaikum wr. wb.

Mutiara, Jawa Tengah

Jawaban:

Prinsip awalnya, apabila terpenuhi syarat dan rukun sesuai dengan ketentuan syariah maka sembelih itu sah. Dalam Fatwa MUI tentang Penyembelihan Hewan diterapkan Standar Hewan yang Disembelih adalah hewan yang boleh dimakan; harus dalam keadaan hidup ketika disembelih (hayatun mustaqirrah); dan harus memenuhi standar kesehatan hewan yang ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan. 

Adapun syarat atau standar penyembelih atau orang yang menyembelih hewan harus beragama Islam, sudah aqil baligh, dan memahami tata cara penyembelihan harus tajam, dan alat itu bukan berupa kuku, gigi/taring, atau tulang. Jika penyembelihan dilakukan sah secara syariah, maka berarti tubuh hewan yang disembelih halal untuk dikonsumsi.

Berikut ini ketentuan standar dalam proses penyembelihan, yaitu:

  1. Penyembelihan dilaksanakan dengan niat menyembelih dan menyebut Asma Allah (Basmalah);
  2. Penyembelihan dilakukan dengan mengalirkan darah melalui pemotongan 4 (empat) saluran, yakni saluran makanan (mari’/esophagus), saluran pernafasan/tenggorokan (hulqum/trachea), dan dua pembuluh darah (wadajain/vena jugularis dan arteri carotids);
  3. Penyembelihan dilakukan dengan satu kali dan secara cepat; 
  4. Memastikan adanya aliran darah dan/atau gerakan hewan sebagai tanda hidupnya hewan (hayah mustaqirrah); serta
  5. Memastikan matinya hewan disebabkan oleh penyembelihan tersebut,

Mengenai niat dan harapan dalam menyembelih hewan dengan mengucapkan “Bismillahi Allahu Akbar”, maka secara zhohiri dapat dikatakan bahwa menyembelih hewan karena Allah bukan karena selain Allah. Sedangkan menanamkan kepala hewan yang disembelih adalah perbuatan lain yang tersendiri atau terpisah. Perbuatan tersebut tidak mempengaruhi status kehalalan daging hewan yang telah disembelih dengan mengucapkan “Basmalah”.

Dalam Islam, menanam kepala hewan untuk sesajen atau tumbal, haram hukumnya dan termasuk perbuatan syirik karena menghamba kepada selain Allah Swt. Jika hal itu dilakukan untuk memenuhi keinginan Jin atau Setan yang disebut dengan “Penunggu” jelas merupakan bentuk kemusyrikan yang nyata, meyalahi Aqidah Tauhidullah, yang dilarang dalam Agama. Seolah-olah ada keyakinan lain selain Allah bahwa untuk menghindari dari gangguan, agar selamat, sering meminta pertolongan dan perlindungan kepada Jin dan Setan, dengan memberinya sesajen. Bukan meminta kepada Allah.

Dalam menghadapi masalah atau kesulitan hidup, Allah memerintahkan kita sebagai orang beriman, agar hanya kepada Allah memohon pertolongan dengan menjalankan perintah Allah seraya berusaha mengatasi kesulitan yang dihadapi dengan penuh kesabaran.

Tradisi atau adat kebiasaan yang dilakukan masyarakat bertentangan dengan ketentuan syariah, maka tradisi yang salah tersebut harus ditinggalkan. Oleh karenanya, kita harus memperbaiki tradisi atau adat kebiasaan seperti menanam kepala untuk sesajen atau tumbal. Kita harus mengikuti ajaran Nabi saw. dengan sunnahnya yang mulia saat kita mengalami kesulitan seperti kekurangan air, maka memohon kepada Allah dengan mengerjakan Shalat Istisqo. Shalat sunnah untuk meminta air atau hujan kepada Allah. Dalam hadits disebutkan: “Nabi saw. keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat, kemudian membalikkan posisi selendangnya, lalu shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari).

Jika daging kepala sapi atau kerbau dapat dinikmati bersama dengan majelis doa, berdzikir, meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah itu merupakan sedekah atau amal yang insya Allah akan dapat menolak bala’ dan bencana. Dalam hadits disebutkan: “Bersegeralah bersedekah, sebab bala’ bencana tidak pernah bisa mendahului sedekah. Belilah semua kesulitanmu dengan sedekah. Obatilah penyakitmu dengan sedekah. Sedekah itu sesuatu yang ajaib. Sedekah menolak 70 macam bala’ dan bencana, dan yang paling ringan adalah penyakit kusta dan sopak (vitiligo).” (HR. Baihaqi dan Thabrani). (USM)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.