Diasuh oleh: Dr. KH. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat) dan Drs. H. Sholahudin Al Aiyub, M.Si (Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat).

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.

Ustadz, saya sering melihat pada saat penyembelihan hewan qurban di Hari Raya Idul Adha, panitia memberikan daging qurban itu secara umum. Biasanya dengan cara membagikan kupon untuk kemudian ditukarkan dengan paket daging qurban. Penyebaran kupon dilakukan melalui Ketua RT atau aparat setempat. (HalalMUI)

Nah, kadang-kadang saya melihat, Ketua RT atau aparat setempat tersebut memberikan kupon daging qurban itu kepada warganya sedemikian rupa, sehingga ada saja warga yang nonmuslim menerima kupon dan dapat memperoleh daging qurban dari panitia. Maka pertanyaan saya, bolehkah panitia memberi daging qurban, yang pada hakikatnya dari umat Muslim, kepada nonmuslim. Bagaimana penjelasan syariahnya?

Sepanjang pengetahuan saya, misalnya, dalam pembagian zakat ada Mustahiq atau orang tertentu yang berhak menerima zakat dan Mustahiq itu harus Muslim. Sepengetahuan saya, zakat tidak boleh diberikan kepada nonmuslim. Hal ini perlu saya tanyakan untuk ketenangan batin dalam ibadah qurban, dan untuk kemaslahatan bersama umat secara umum.

Atas jawaban dan penjelasan dari Pak Ustadz, saya mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Wal-hamdulillahi robbil ‘alamin.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Apip Bandung

Jawaban:

Memang dalam hal pembagian zakat, ada nash Al-Qur’an yang menetapkan delapan Ashnaf Mustahiq (golongan yang berhak menerima zakat). Perhatikanlah makna ayat:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah, 9:60). (HalalMUI)

Sedangkan dalam pembagian daging qurban, tidak ada ayat Al-Qur’an yang khusus menetapkan kelompok atau golongan masyarakat yang berhak menerimanya. Menurut para ulama, secara umum, daging qurban itu dapat dibagikan dengan tiga kategori, yaitu: pertama kepada kaum fakir miskin yang memang berkekurangan dan membutuhkan bantuan; kedua kepada tetangga, yaitu orang-orang yang bermukim di sekitar rumah kita; dan ketiga, orang yang berqurban itu sendiri. Di dalam Al-Qur’an disebutkan, “...Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj, 22:28).

Ayat ini menunjukkan bahwa pemilik hewan qurban berhak memakannya, lalu dibagikan untuk kaum fakir miskin. Syaikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya yang terkenal, Fiqh Sunnah, memaparkan cara pembagian sebagai berikut: “Si pemilik hewan qurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. Dia pun boleh menghadiahkan atau menyedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan menyedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian, untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga.”

Dari ketiga kelompok itu, terutama kaum fakir miskin dan tetangga, tidak ada ketentuan khusus yang menetapkan bahwa mereka harus muslim. Jadi kalau ada fakir miskin atau tetangga yang nonmuslim sekalipun di sekitar rumah kita, maka mereka boleh saja diberi atau menerima daging qurban. Bahkan ada pendapat yang menyatakan, tetangga yang kaya sekalipun, maka ia boleh diberi bagian dari daging qurban. (HalalMUI)

Perhatikanlah makna ayat “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60:8).

Nabi saw. pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr untuk menemui ibunya dengan membawa harta, padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).

Dengan demikian, memberikan bagian hewan qurban kepada nonmuslim atau orang kafir dibolehkan, karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.

Menyembelih hewan qurban itu, selain bernilai ibadah bagi yang berqurban, juga mengandung hikmah untuk memperkuat hubungan silaturahim secara sosial kemasyarakatan. Sebagai wasilah dalam membina hubungan ketetanggaan yang harmonis. Termasuk juga dengan tetangga yang nonmuslim. Sehingga mereka, para tetangga itu, boleh juga diberi dan menerima daging qurban. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindarkan kesenjangan sosial dalam pergaulan ketetanggaan. Sebagai contoh, semua warga di lingkungan ketetanggaan mendapat daging qurban. Lalu ada satu tetangga nonmuslim tidak diberi daging qurban. Hal ini tentu akan membuatnya berkecil hati, merasa sedih, dan berdampak mengurangi keharmonisan hubungan ketetanggaan. Hal ini sekaligus juga sebagai wujud nyata ajaran Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin, yang diisyaratkan dalam ayat dengan makna: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya, 21:107). (HalalMUI)

Bahkan dalam teknis pembagiannya, ada pendapat yang membolehkan daging qurban itu diolah atau dimasak terlebih dahulu, dan dibagikan dalam bentuk jamuan makan. Sehingga akan terbina keakraban sosial dengan sesama. Tentu dengan syarat harus untuk membawa kemaslahatan bagi umat di jalan yang diridhai Allah.

(HalalMUI)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.