Shirataki, Alternatif Pangan Sehat Yang Kaya Serat

Oleh : Rina Maulidiyah, Halal Auditor 

Shirataki, makanan yang berasal dari umbi konjak kini semakin diminati di kalangan pecinta kuliner sehat. Dengan kandungan kalori yang rendah dan kaya akan serat, shirataki menjadi pilihan ideal bagi masyarakat yang ingin menjaga pola makan seimbang tanpa mengorbankan rasa. Makanan ini pun relatif mudah dan cepat untuk diolah. Bagaimana aspek kehalalannya? Perlukah Shirataki disertifikasi halal BPJPH melalui Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM ?

Keunikan shirataki terletak pada teksturnya yang kenyal serta kemampuannya untuk menyerap rasa dari bumbu. Hal ini menjadikannya alternatif menarik untuk diolah dengan mudah dan cepat menjadi berbagai hidangan, mulai dari mie hingga salad. Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap shirataki, muncul pertanyaan terkait kehalalan dan keamanannya.

Shirataki adalah makanan yang terbuat dari konjak glukomanan, yang berasal dari umbi konjak (Amorphophallus konjac)[1]. Konjak glukomanan adalah serat pangan yang terdiri dari unit D-glukosa dan D-mannosa yang terhubung melalui ikatan glikosidik β-1,4, dengan sedikit kelompok asetil.

Senyawa ini memiliki sifat mudah larut dalam air, dapat difermentasi, dan memiliki viskositas tinggi. Konjak glukomanan dikenal sebagai pangan non-kalori dan merupakan sumber serat pangan yang tidak dapat dicerna, serta tahan terhadap hidrolisis oleh enzim pencernaan dalam saluran pencernaan manusia[2]. Shirataki memiliki warna yang bening, tekstur kenyal dan rasa yang tawar. Berbahan dasar konjak glukomanan, shirataki termasuk sebagai pangan kaya serat yang rendah kalori[3].

SEJARAH SHIRATAKI

Shirataki adalah makanan tradisional Jepang yang juga dikenal dengan nama lain, yaitu Ito-konyaku. Umumnya, shirataki berbentuk mie atau nasi[4]. Nama konnyaku pertama kali muncul dalam literatur sejarah Jepang selama Periode Heian. Orang Jepang mengonsumsi mi ini sebagai pengobatan sem belit pada periode Edo dan oleh para biksu di kuil selama periode Kamakura.

Selama era Edo, teknik pengolahan yang dikenal sebagai “penghancuran konnyaku” ditemukan, yang memudahkan orang untuk mengolah umbi konjak tanpa harus memegangnya secara langsung. Selain itu, teknik tersebut memperpanjang masa simpannya. Shirataki banyak diproduksi di wilayah Kanto dan Kansai Jepang, kemudian menyebar ke seluruh negeri dengan teknik produksi yang sama[5]. Keberadaan shirataki semakin meluas di negara lain seiring dengan meningkatnya permintaan masyarakat terhadap diet sehat.

Selama berabad-abad, umbi konjak telah dibudidayakan di negara-negara Asia sebagai sumber makanan dan bahan dalam pengobatan tradisional. Amorphophallus konjac, tanaman tahunan ini termasuk dalam keluarga Araceae. Di Indonesia, shirataki dibuat dari umbi porang atau iles-iles (Amorphophallus muelleri), yang masih termasuk dalam keluarga Araceae.

Porang merupakan salah satu umbi lokal Indonesia yang memiliki prospek dan nilai tinggi di pasar global karena kandungan glukomanannya yang tinggi. Namun demikian, umbi porang juga mengandung senyawa anti-nutrisi tinggi, seperti kalsium oksalat yang dapat menyebabkan masalah kesehatan, sehingga diperlukan perlakukan tertentu dalam pengolahan umbi porang agar aman untuk dikonsumsi[6].

MANFAAT SHIRATAKI

Meskipun kandungan nutrisi makronya seperti karbohidrat, protein, dan lemak rendah, shirataki kaya akan serat glukomanan yang bermanfaat bagi kesehatan pencernaan. Berdasarkan Food Data Central United States Department of Agriculture, shirataki memiliki kandungan serat 2,7 g/100g jauh lebih tinggi dari beras putih 0,4 g/100g dan kandungan kalori 9 kcal lebih rendah daripada beras yaitu 130 kcal[7,8].

Serat ini membantu memperlancar buang air besar, menurunkan kadar gula darah, sehingga dapat juga mendukung pengendalian berat badan. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa shirataki meningkatkan waktu transit usus, menurunkan kadar lemak tubuh, serta memperbaiki sensitivitas insulin. Hal ini membuktikan bahwa serat pada shirataki memiliki potensi dalam pengendalian diabetes dan sindrom metabolik[9].

Penelitian lain menyebutkan bahwa Konjak glukomanan memiliki potensi besar sebagai pangan fungsional penanganan diabetes melitus tipe 2. Konsumsi glukomanan secara teratur dapat menurunkan kadar gula darah puasa, meningkatkan toleransi glukosa, dan mengurangi resistensi insulin pada pasien diabetes tipe 2. Selain itu, serat ini juga mendukung manajemen berat badan dengan memberikan efek kenyang yang lebih lama dan mengurangi asupan kalori, faktor penting dalam pengendalian diabetes.

PROSES PEMBUATAN SHIRATAKI

Secara tradisional, para petani membuat tepung konjak dengan cara membersihkan umbi konjak, melakukan pengirisan, pengeringan udara dan kemudian menghaluskan irisan umbi konjak.

Saat ini, tepung konjak diproduksi secara komersial melalui beberapa langkah. Permukaan luar umbi dicuci untuk menghilangkan kotoran dan tanah. Setelah dibersihkan, umbi kemudian diiris menjadi potongan kecil dan dikeringkan menggunakan alat pengering udara panas yang mengeluarkan sulfur dioksida sebagai agen pemutih untuk mencegah gelapnya potongan konjak. Potongan yang telah dikeringkan kemudian dihancurkan untuk menghasilkan tepung konjak kasar. Tepung ini masih memiliki bau amis dan rasa yang tajam.

Tepung konjak biasa (food grade) dihasilkan dengan menghilangkan kotoran seperti pati, protein, selulosa, dan gula dengan berat molekul rendah dari tepung yang telah dihancurkan, baik melalui penyaringan menggunakan siklon atau melalui presipitasi alkohol.

Proses presipitasi alkohol melibatkan beberapa pencucian dengan menggunakan etanol untuk menghilangkan gula dengan berat molekul rendah seperti D-glukosa dan D-fruktosa dalam tepung, diikuti dengan ekstraksi dalam air pada suhu ruangan. Tepung konjak murni (neutraceutical grade) diproduksi tanpa penambahan silicon dioksida[11].

Setelah tepung konjac diperoleh, tahap berikutnya adalah pembentukan adonan dengan mencampurkan tepung konjak dengan air hingga adonan menjadi kental dan homogen. Adonan ini kemudian dicetak menjadi helai mie menggunakan cetakan khusus. Setelah terbentuk, helaian mie direbus dalam air mendidih selama sekitar 30 menit pada suhu 70°C untuk menguatkan teksturnya.

Tahap terakhir adalah pendinginan dan pengeringan, di mana mie yang telah direbus didinginkan dalam air dingin untuk menghentikan proses pemasakan, lalu didiamkan pada suhu ruang sebelum dikeringkan dalam oven selama 8 jam pada suhu rendah, sekitar 40°C, untuk memastikan mie benar-benar kering dan siap dikemas[1]. Mie pun siap diolah dengan mudah dan cepat menjadi berbagai variasi olahan pangan.

TITIK KRITIS KEHALALAN SHIRATAKI

Titik kritis kehalalan shirataki terdapat pada penggunaan bahan penolong yaitu etanol. Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 10 Tahun 2018 Tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/ Etanol, Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non-khamr (baik merupakan hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non-khamr) untuk bahan produk makanan hukumnya mubah, apabila secara medis tidak membahayakan[12].

Sehingga harus dipastikan sumber ethanol dan penggunaan tersebut tidak membahayakan. Selain itu perlu dipastikan bahwa selama proses produksi produk halal tidak ada kontaminasi zat yang tidak halal dari bahan baku, fasilitas, maupun pekerja.

KAJIAN KEAMANAN PANGAN SHIRATAKI

Umbi konjak secara alami mengandung senyawa anti-nutrisi berupa kalsium oksalat yang dapat menyebabkan masalah kesehatan[12]. Konsumsi kalsium oksalat dapat menyebabkan gatal, sensasi terbakar, dan iritasi pada mulut, kulit, serta saluran pencernaan. Asam oksalat mengikat kalsium sehingga penyerapan kalsium kurang optimal.

Penyerapan kalsium yang berlebihan dapat mengakibatkan hipokalsemia dan kelumpuhan fatal. Selain itu, jika dikonsumsi secara berlebihan, kalsium oksalat dan asam oksalat dapat menyebabkan masalah ginjal. Oleh karena itu, perlakuan awal diperlukan untuk menghilangkan kandungan kalsium oksalat pada umbi konjak sebelum digunakan sebagai bahan baku dalam industri pangan dan industri lainnya[13].

Proses pencucian dengan etanol membantu melarutkan dan menghilangkan kalsium oksalat dari tepung konjak karena etanol bertindak sebagai pelarut untuk senyawa-senyawa yang tidak larut dalam air, termasuk oksalat. Seiring peningkatan konsentrasi etanol dan lama waktu pencucian, akan lebih banyak oksalat yang dapat terlepas dari tepung, sehingga mengurangi kadarnya secara signifikan[14].

Pengurangan kadar kalsium oksalat juga dapat dilakukan dengan cara perebusan dan perendaman pada air garam atau air cuka. Metode tersebut dinilai efektif dalam mengurangi kadar kalsium oksalat[15]. Berdasarkan SNI SNI 7939:2020, serpih porang akan memiliki mutu yang baik dan tidak membahayakan jika mengadung kalsium oksalat maksimal 30 mg/ 100g[16]. Dengan berbagai perlakuan tersebut, kadar kalsium oksalat dalam umbi porang dapat dikelola, sehingga aman untuk dikonsumsi dan sesuai untuk digunakan dalam industri pangan.

Sangat penting bagi konsumen untuk memastikan bahwa produk shirataki yang mereka beli telah memiliki sertifikasi halal BPJPH, salah satunya melalui LPH LPPOM MUI. Sertifikasi halal tidak hanya menjamin bahwa produk tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kehalalan, tetapi juga memastikan bahwa aspek keamanan pangan telah terpenuhi.

Proses sertifikasi halal mencakup pemeriksaan menyeluruh terhadap bahan-bahan yang digunakan serta cara pengolahan, guna memastikan bahwa produk tersebut aman dan layak dikonsumsi sesuai standar yang ditetapkan. Dengan demikian, konsumen tidak hanya mendapatkan ketenangan hati dari sisi kehalalan, tetapi juga jaminan kualitas dan keamanan produk yang dikonsumsi. (***)

REFERENSI

  1. Jang HN, Kumayas TR, Romulo A. 2023. Physicochemical and sensory evaluation of shirataki noodles prepared from porang and tapioca flours. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science. 1169, 012101. doi:10.1088/1755- 1315/1169/1/012101
  2. Widjanarko SB, Affandi M, Wahyudi Z. 2022. A review on konjac glucomannan and hydrolysed konjac glucomannan. Food Research. eISSN: 2550-2166
  3. Rozali ZF, Wulandari E, Noviasari S. 2021. Analisis Hedonik Nasi Shirataki Ganyong (Canna Indica. L) Hedonic Analysis of Rice Shirataki Queensland Arrowroot (Canna Indica L). Journal of Innovation Research and Knowledge. 1(7) 319-326.
  4. Behera S, Ray RC. 2016. Konjac glucomannan, a promising polysaccharide of Amorphophalluskonjac K. Koch in health care. International Journal of Biological Macromolecules. 92, 942–956
  5. Food in Japan. 2023. About Japanese Food & Traditional Foods of Japan. https://www.foodinjapan. org/japan/shirataki/
  6. Naisali H, Utoro PAR, Witoyo JE. 2023. Review Keragaman dan Metode Pengolahan Umbi-Umbian Lokal Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pangan dan Gizi. 13 (2), 1-17.
  7. Food Data Central. 2020. [HISTORICAL RECORD]: SHIRATAKI NOODLES. U.S. DEPARTMENT OF AGRICULTURE. Agricultural Research Service. https:// fdc.nal.usda.gov/fdc-app.html#/ food-details/803795/nutrients
  8. Food Data Central. 2019. Rice, white, long-grain, regular, enriched, cooked. U.S. DEPARTMENT OF AGRICULTURE. Agricultural Research Service. https://fdc.nal.usda. gov/fdc-app.html#/food-details/168878/nutrients
  9. Zhou Y, Qin J, Wang Y, Cheng Y. 2019. Gastrointestinal and metabolic effects of noodles-based konjac glucomannan in rats 63, 1997 http:// dx.doi.org/10.29219/fnr.v63.1997
  10. Fang Y, Ma J, Lei P, Wang L, Qu J, Zhao J, Liu F, Yan X, Wu W, Jin L, Ji H, Sun D. 2023. Konjac Glucomannan: An Emerging Specialty Medical Food to Aid in the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Foods, 12, 363. https://doi.org/10.3390/ foods12020363
  11. Chua M, Baldwin TC, Hocking TJ, Chan K. 2010. Journal of Ethnopharmacology 128: 268– 278. https://doi.org/10.1016/j. jep.2010.01.021
  12. Fatwa MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 10 Tahun 2018 tentang PRODUK Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol
  13. Naisali H, Utoro PAR, Witoyo JE. 2023. Review of Diversity and Processing Methods of Local Roots and Tubers of East Nusa Tenggara Jurnal Pangan dan Gizi p-ISSN: 2086-6429 13 (2)
  14. Faridah A, Widjanarko SB. 2013. Optimization of Multilevel Ethanol Leaching Process of Porang Flour (Amorphophallus muelleri) Using Response Surface Methodology. International Journal on Advanced Science Engineering Information Technology. 3 (2): 74-80. https:// doi.org/10.18517/ijaseit.3.2.309
  15. Quddus AA, Hambali E, Rahayuningsih M, Kartika IA, Budijanto S. 2024. Various Methods of Reducing Calcium Oxalate Levels in Tubers: A Review. Jurnal Biota 10 (1): 52-61. https://doi.org/10.19109/ Biota.v10i1.20473
  16. Badan Standardisasi Nasional. (2020). SNI 7939:2020 Serpih porang (Amorphophallus muelleri Blume) sebagai bahan baku. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.