Oleh : Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr., Auditor Senior LPPOM MUI
Kontroversi penggunaan karmin sebagai pewarna makanan akhirnya mereda setelah MUI menegaskan bahwa bahan pewarna dari serangga itu halal digunakan. Selain karmin yang berasal dari serangga cochineal, sejatinya masih banyak jenis pewarna lain untuk makanan dan minuman. Apa saja?
Karmin (carmine) adalah pewarna untuk makanan, minuman, kosmetik dan produk lain yang berasal dari serangga cochineal. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejatinya telah mengeluarkan fatwa tentang hal ini. Melalui Fatwa MUI No. 33 Tahun 2011 tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal, antara lain ditegaskan bahwa pewarna makanan dan minuman yang berasal dari cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.
Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr, guru besar Teknologi Pangan IPB University, menerangkan bahwa karmin dibuat dari serangga Cochineal (Dactylopius coccus) atau kutu daun yang menempel pada kaktus pir berduri (genus Opuntia). Serangga jenis ini banyak ditemukan di Amerika Tengah dan Selatan. Saat ini, Peru dikenal sebagai penghasil karmin terbesar di dunia, mencapai 70 ton per tahun. Kaktus digunakan sebagai sumber makan cochineal pada kelembaban dan nutrisi tanaman.
Untuk mengolah menjadi pewarna, kata Sedarnawati yang juga auditor senior LPPOM MUI dan pernah memeriksa kehalalan karmin, serangga cochineal dijemur hingga kering lalu dihancurkan dengan mesin. Setelah itu, jadilah serbuk berwarna merah tua cerah. Untuk menonjolkan aspek warna yang diinginkan, biasanya ekstrak cochineal ini dicampur dengan larutan alkohol asam untuk lebih memunculkan warna.
Dalam Ilmu Biologi, hewan ini digolongkan serangga karena termasuk kelas insecta, dengan genus Dactylopius, ordo Hemiptera dan species Dactylopius coccus. Serangga ini hidup pada tanaman kaktus dan memperoleh nutrisi dari tanaman, bukan dari bahan yang kotor. Hewan ini mempunyai beberapa persamaan dengan belalang, yaitu siklus hidupnya yang tidak melalui tahapan larva dan pupa serta darahnya yang tidak mengalir.
Meski Fatwa MUI telah menegaskan bahwa penggunaan cochineal untuk kepentingan pewarna makanan hukumnya halal sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan, pewarna karmin ini sempat menjadi pro-kontra. Penyebabnya adalah publikasi hasil pembahasan dari Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Jawa Timur, yang menyatakan hukum pewarna dari karmin adalah najis dan menjijikkan.
“Pada hakekatnya, MUI dan LBM NU memiliki kesamaan perspektif dan pandangan dalam penetapan fatwa keagamaan, khususnya masalah ibadah dan pangan, yakni dengan menggunakan pendekatan ihtiyath atau kehati-hatian, dan sedapat mungkin keluar dari perbedaan fiqiah,” jelas Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. KH. Asrorun Niam.
Hanya saja, tambah Kyai Niam, penetapan hukum berbeda akibat dari perbedaan tashawwur masalah. MUI menggunakan pendekatan tahqiqul manath dengan memeriksa detil jenis hewan yang digunakan sebagai pewarna tersebut, mengingat jenis serangga itu sangat beragam. Sementara LBM NU, kalau membaca hasilnya, menyebutkan hukum serangga secara umum. Fatwa MUI No. 33 Tahun 2011 tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal menyebutkan bahwa pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.
Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati, menekankan bahwa pihaknya telah melakukan pemeriksaan halal untuk memastikan produk telah dibuat dengan bahan halal di fasilitas sesuai kriteria dengan menerapkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), termasuk untuk bahan pewarna alami karmin. Atas dasar inilah, Komisi Fatwa MUI memberikan fatwa halal dan BPJPH mengeluarkan sertifikat halal. Sedangkan terkait keamanan pangan, produk-produk yang memakai pewarna alami karmin telah memiliki izin edar BPOM sehingga aman dikonsumsi oleh masyarakat.
Selain karmin, di pasaran sejatinya banyak beredar berbagai macam bahan pewarna yang digunakan untuk berbagai keperluan. Berdasarkan informasi dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), pewarna termasuk ke dalam Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang jumlahnya ada 27 golongan BTP.
Pewarna sendiri ada dua jenis, yakni pewarna alami (natural food color) dan pewarna sintetis (synthetic food colour). Pewarna alami adalah pewarna yang dibuat melalui proses ekstraksi, isolasi, atau derivatisasi (sintesis parsial) dari tumbuhan, hewan, mineral atau sumber alami lain. Sedangkan pewarna sintetis adalah pewarna yang diperoleh secara sintesis kimiawi.
Prof. Sedarnawati menjelaskan bahwa pewarna alami sebenarnya bisa diperoleh dari banyak sumber. Selain mudah diperoleh, dari sisi keamanan pangan pewarna alami yang belum mengalami proses pengolahan yang melibatkan banyak bahan tambahan, juga lebih aman karena berasal dari buah dan sayuran. Misalnya tomat, wortel, kunyit, daun pandan, daun katuk, dan sebagainya.
Berbeda halnya dengan pewarna sintesis, yang jika dikonsumsi secara berlebihan dan terus menerus dalam jangka panjang akan berdampak buruk bagi kesehatan. Misalnya merusak fungsi organ tubuh, terutama pada hati dan ginjal.
Namun, Prof. Sedarnawati mengingatkan bahwa dari segi kehalalan, pewarna alami justru memiliki titik kritis yang lebih tinggi. Lantaran pewarna natural tidak stabil selama penyimpanan, maka untuk mempertahankan warna agar tetap cerah, sering digunakan bahan pelapis untuk melindunginya dari pengaruh suhu, cahaya, dan kondisi lingkungan.
“Adapun bahan pelapis yang sering digunakan adalah gelatin, yang berasal dari hewan. Gelatin tersebut harus dipastikan berasal dari hewan yang halal dan diproses sesuai kaidah Syariah,” ujar Prof. Sedarnawati.
Sudah paham terkait pewarna karmin?
Anda tidak perlu khawtair lagi jika dalam kemasan tertera tulisan karmin atau carmine. Selama sudah bersertifikat halal, produk dapat dijamin kehalalannya. Cek kehalalan produk yang akan Anda konsumsi melalui website www.halalmui.org atau aplikasi Halal MUI yang dapat diunduh di Playstore. Selamat mencoba. (***)