Wajib sertifikasi halal bagi produk kosmetika telah ditetapkan berlaku pada 17 Oktober 2026. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) beserta turunannya. Halal Audit Quality Board of LPPOM, Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih Hilwan, M.Si., menyampaikan hal ini dalam seminar Cosmobeaute Indonesia dengan topik “Halal & Sustainable Cosmetics: Synergies and Benefit” beberapa waktu lalu di Jakarta Convention Center (JCC).
“Dilihat dari kegunaannya, kosmetik dapat digunakan untuk dua hal. Pertama, kegunaan dalam yang dapat dimakan/ditelan, seperti lipstik, lip balm. Kedua, kegunaan luar diterapkan pada suatu bagian tubuh manusia pada waktu tertentu dan mungkin mempengaruhi status wudhu. Misalnya, pewarna rambut, kosmetik dekoratif tahan air, dan sebagainya,” jelasnya.
Selain itu, Mulyorini menyoroti empat alasan lain terkait bahan yang bisa menyebabkan kosmetik menjadi haram berdasarkan Fatwa MUI Nomor 26 Tahun 2013 tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya. Pertama, penggunaan kosmetika untuk kepentingan berhias hukumnya boleh dengan syarat bahan yang digunakan adalah halal dan suci serta tidak membahayakan (aman). Kedua, produk kosmetika yang mengandung bahan yang dibuat dengan menggunakan mikroba hasil rekayasa genetika yang melibatkan gen babi atau gen manusia hukumnya haram.
Ketiga, Produk kosmetika yang menggunakan bahan (bahan baku, bahan aktif, dan/atau bahan tambahan) dari turunan hewan halal (berupa lemak atau lainnya) yang tidak diketahui cara penyembelihannya hukumnya makruh tahrim, sehingga harus dihindari. Keempat, produk kosmetika yang menggunakan bahan dari produk mikrobial yang tidak diketahui media pertumbuhan mikrobanya apakah dari babi, harus dihindari sampai ada kejelasan tentang kehalalan dan kesucian bahannya.
Dari banyaknya hal yang perlu disosroti, industri kosmetik halal juga bertemu dengan berbagai tantangan, baik dilihat dari sisi pemasok (produsen bahan) maupun produsen produk. Dari sisi pemasok (produsen bahan) harus memahami persyaratan material. Tantangan yang ditemui, diantaranya: banyak bahan kosmetik yang diberi nama dagang, jenis bahan yang sama dengan kode berbeda mempunyai status kehalalan yang berbeda sama sekali, kompleksitas bahan (base, sub–base, dll / premix di dalam premix, dll), serta bahan diproduksi di fasilitas yang tidak bebas babi.
Sedangkan dari produsen produk perlu pemahaman dalam membangun dan menerapkan Sistem Jaminan Halal sesuai proses bisnis. Tantangan yang ditemui, meliputi: banyak materi kompleks, banyak produk, serta banyak tempat produksi (dimiliki oleh perusahaan atau dimiliki oleh pihak lain. Sementara itu, tantangan lain yang juga ditemui adalah daftar baru Halal Certification Body (HCB) / Lembaga Sertifikasi Halal (LSH) yang diakui oleh BPJPH belum tersedia, beberapa lembaga sertifikasi halal mungkin tidak lagi terakreditasi, serta berbagai perubahan regulasi jaminan produk halal di Indonesia yang terus berubah.
Untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut, LPPOM terus meningkatan kompetensi auditor secara berkesinambungan melalui beberapa pelatihan dan evaluasi khusus terkait kosmetik (pengetahuan bahan kosmetik dan persyaratan dokumen pendukung, jenis proses bisnis, Enterprise Resource Planning, teknik audit, dll), mengembangkan sistem audit untuk proses bisnis yang kompleks tersebut, serta mengembangkan alat pengkajian bahan kosmetika (bahan daftar positif, Surat Keputusan Dokumen Pendukung Bahan Kritis; HAS 23201:Persyaratan Bahan Halal).
Namun, konsumen muslim tidak perlu khawatir. Meski masih di tahun 2024, sudah banyak produsen kosmetik yang melakukan sertifikasi halal terhadap produknya. Anda dapat mengecek produk kosmetik halal pada lama website www.halalmui.org atau aplikasi HalalMUI yang dapat diunduh di Playstore. Selamat mencoba.