Oleh: Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A.
Ketua Prodi S3 IIQ Jakarta, Anggota KF MUI
Momentum Rajab kini mengingatkan kita, kaum beriman, tentang peristiwa Isra’ wal-Mi’raj yang spektakuler. Jelas, pemahaman akal manusia sangat terbatas, sehingga tak mampu nalar manusia untuk memahami mukjizat Nabi saw. yang luar biasa. Karena hal itu terjadi di luar jangkauan logika yang lazim. Betapa tidak, Nabi Muhammad saw., secara jasadiyah, diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram ke Masjidil-Aqsha, lalu naik ke langit, tingkat demi tingkat, melalui medan antariksa alam semesta yang tak berhingga, sampai akhirnya tiba di Sidratul Muntaha. Sebagai perbandingan sederhana, dengan teknologi masa kini, seorang astronot kalau ingin terbang ke luar angkasa, niscaya harus mengenakan pakaian anti radiasi yang tebal berlapis-lapis demikian rupa, dengan berbagai perlengkapan pengamanan diri, tabung oksigen, dll.
Para ulama menyebutkan, Isra’ wal-Mi’raj merupakan peristiwa terbesar kedua setelah kelahiran Nabi Muhammad saw. Peristiwa terbesar yang pertama adalah penobatan Beliau saw. sebagai Nabi utusan Allah dengan wahyu pertama yang diturunkan Allah, yang kemudian tercantum di dalam Al-Quran Surat Al-‘Alaq ayat: 1-5. Peristiwa ini sangat luar biasa, menunjukkan keagungan, kebesaran dan kekuasaan Allah. Perhatikanlah betapa Allah berfirman yang diawali dengan Kalimah “Subhanalladzi asroo bi ‘abdihi…” Perhatikanlah makna ayat “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isro’, 17:1).
Ayat tersebut diawali dengan penegasan, Allah Maha Suci dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya. Di antaranya agar kita, sebagai orang beriman, tidak beranggapan bahwa Allah tak mampu untuk memperjalankan hamba-Nya dalam peristiwa Isra’ wal-Mi’raj tersebut. Sehingga karenanya, peristiwa itu disebut sebagai Mukjizat yang membuktikan kebenaran Beliau saw. sebagai Nabi. Disebut: Amrun khoriqun lil ‘adah yazh-har ‘ala aydil anbiyaa’ (Hal-hal di luar kebiasaan manusia, yang hanya tampak/diberikan kepada para Nabi).
Sebagaimana diketahui, pada masa itu perjalanan dari Masjidil Haram di Makkah ke Palestina lokasi Masjidil Aqsha memerlukan waktu, paling tidak, selama satu bulan. Sementara Nabi saw. menyampaikan bahwa Beliau saw. menempuh perjalanan jauh itu hanya kurang dari satu malam, pergi dan sampai kembali ke Makkah. Apalagi, berikutnya, Beliau saw. menceritakan perjalanannya sampai ke ruang angkasa, menembus petala langit, sampai ke Sidratul Muntaha. Akibatnya, dengan peristiwa Isra’ wal Mi’raj ini, kondisi masyarakat jadi terbelah; ada yang percaya, tapi banyak pula umat yang semula beriman lalu menjadi ragu. Bahkan ada yang tidak percaya. Sedangkan Abu Bakar, ketika ditanya tentang kebenaran hal itu, ia pun langsung membenarkan.
Dalam catatan sirah disebutkan, kaum musyrikin Makkah ‘menertawakan’ Rasulullah saw. setelah beliau menceritakan peristiwa Isra Mi’raj-nya. Lalu mereka mendatangi Abu Bakar untuk mendengarkan langsung reaksi sahabat terdekatnya. Tentu mereka berharap sikap Abu Bakar akan sama dengan mereka, mengingat peristiwa tersebut sangat sulit diterima akal. Namun, harapan mereka sirna. Setelah mereka sampaikan kabar dari Rasulullah saw. tentang peristiwa Isra Mi’raj, Abu Bakar balik bertanya, “Benarkah beliau menyatakan hal tesebut?”
Mereka jawab, “Benar,” maka beliau berkata, “Jika dia yang mengatakan demikian, maka itu benar.” Mereka masih penasaran, lalu mendesak Abu Bakar dengan pertanyaan, “Apakah engkau akan membenarkan sahabatmu yang mengatakan bahwa dia diperjalankan di malam hari ke Baitul Maqdis lalu kembali sebelum subuh?”
Maka terucaplah dari mulut Abu Bakar Ash-Shiddiq sebuah ungkapan keimanan sangat agung, “Jika dia berkata demikian, sungguh aku akan membenarkan apa yang dia sampaikan, bahkan walaupun lebih dari itu. Aku membenarkan berita langit baik di pagi atau sore hari.” (HR. Hakim, dinyatakan shahih dan disetujui oleh Imam Az-Zahabi).
Abu Bakar Ash-Shiddiq
Karena sikapnya itu, ia pun diberi gelar “Ash-Shiddiq” (yang sangat membenarkan). Ya, keunggulan Abu Bakar Ash-Shiddiq ada pada keyakinan, kecintaan, ketulusan, kepatuhan dan kesungguhan dalam menerima ajaran Allah. Sesuatu yang umumnya tidak mudah dinilai secara kasat mata, tapi butuh ‘ainul bashirah’ (mata hati) untuk melihatnya. Maka sebagai orang beriman, kita juga seharusnya bersikap membenarkan dan mengamalkan semua apa yang diberikan oleh Nabi saw.: “Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa pun yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr, 59: 7).
Inilah medan hati yang kerap dilupakan, padahal sesungguhnya dia merupakan medan amal yang sangat besar dan paling besar, yang apabila hal ini digarap maksimal akan menjadi pondasi kokoh bagi tegak dan berdirinya nilai-nilai kebajikan pada diri kita. Sebaliknya, apabila medan ini tak dipedulikan atau bahkan cenderung diabaikan, medan amal semakin sempit dan lemah, bahkan yang ada dan tampak besar sekalipun, boleh jadi makna dan hakekatnya tidak sebesar yang tampak.
Selanjutnya, Nabi saw. dimi’rajkan, naik ke langit, sampai ke ‘Arasy dan Sidratul Muntaha. Suatu tempat yang sangat mulia, dimana para malaikat melakukan thawaf, seperti Masjidil Haram dengan Ka’bah, tempat thawaf bagi para jamaah haji dan umroh.
Dalam satu riwayat, Imam al-Bayhaqi mengatakan : “Para ahli tafsir menyatakan bahwa ‘arsy adalah benda berbentuk sarir (ranjang) yang diciptakan oleh Allah. Allah memerintahkan para malaikat untuk menjunjungnya dan menjadikannya sebagai tempat ibadah mereka dengan mengelilinginya dan mengagungkannya sebagaimana Ia menciptakan ka’bah di bumi ini dan memerintahkan manusia untuk mengelilinginya ketika thawaf dan menghadap ke arahnya di saat shalat” (lihat al-Asma’ wa ash-shifat, hlm.497).
Dalam Hadits yang panjang tentang Isra’ Mi’raj disebutkan, diantaranya, “…(Nabi Saw. melanjutkan): “Kemudian Buraq tersebut pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha yang (lebar) dedaunnya seperti telinga gajah dan (besar) buah-buahnya seperti tempayan besar.” Kata Nabi Saw.: “Tatkala perintah Allah memenuhi Sidratul Muntaha, maka Sidratul Muntaha berubah dan tidak ada seorang pun dari makhluk Allah yang bisa menjelaskan sifat-sifat Sidratul Muntaha karena keindahannya. Maka, Allah memberiku wahyu dan mewajibkan kepadaku shalat lima puluh kali dalam sehari semalam.”
(Nabi Saw. melanjutkan): “Kemudian aku turun dan bertemu Musa, lalu ia bertanya: ‘Apa yang diwajibkan Rabb-mu terhadap ummatmu?’ Aku menjawab: ‘Shalat lima puluh kali.’ Dia berkata: ‘Kembalilah kepada Rabb-mu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu melakukan hal itu. Sesungguhnya aku telah menguji bani Israil dan aku telah mengetahui bagaimana kenyataan mereka.’”
Kata Nabi Saw.: “Aku akan kembali kepada Rabb-ku.” Lalu aku memohon: “Ya Rabb, berilah keringanan kepada ummatku.” Maka aku diberi keringanan lima shalat. Lalu aku kembali kepada Musa kemudian aku berkata padanya: “Allah telah memberiku keringanan (dengan hanya) lima kali.” Musa mengatakan: “Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu melakukan hal itu, maka kembalilah kepada Rabb-mu dan minta-lah keringanan.”
Rasulullah Saw. berkata: “Aku terus bolak-balik antara Rabb-ku dengan Musa sehingga Rabb-ku mengatakan: ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kewajiban shalat itu lima kali dalam sehari semalam, setiap shalat mendapat pahala sepuluh kali lipat, maka lima kali shalat sama dengan lima puluh kali shalat. Barangsiapa berniat melakukan satu kebaikan, lalu ia tidak melaksanakannya, maka dicatat untuknya satu kebaikan, dan jika ia melaksanakannya, maka dicatat untuknya sepuluh kebaikan. Barangsiapa berniat melakukan satu kejelekan namun ia tidak melaksanakannya, maka kejelekan tersebut tidak dicatat sama sekali, dan jika ia melakukannya maka hanya dicatat sebagai satu kejelekan.’”
Rasulullah Saw. berkata: “Kemudian aku turun hingga bertemu Musa, lalu aku beritahukan kepadanya, maka ia mengatakan: ‘Kembalilah kepada Rabb-mu dan mintalah keringanan lagi.’” Rasulullah Saw. berkata: “Lalu aku menjawab: ‘Aku telah berulang kali kembali kepada Rabb-ku hingga aku merasa malu kepada-Nya.’” [HR. Muslim no. 162 (259), dari Sahabat Anas bin Malik].
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Hadits-hadits tentang mi’raj Nabi Saw. ke langit adalah mutawatir.” [Lihat Ijmaa’ul Juyusy al-Islaamiyyah ‘alaa Ghazwil Mu’aththilah wal Jahmiyyah (hal. 55) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Keterangan lengkap tentang riwayat Isra’ dan Mi’raj Nabi j dapat dibaca dalam kitab al-Israa’ wal Mi’raaj wa Dzikru Ahaadiitsihimaa wa Takhriijihaa wa Bayaanu Shahiihaha min Saqiimiha oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani]. (USM)