Laboratorium memiliki peran penting dalam sertifikasi halal, yaitu memberikan jaminan untuk mendukung kegiatan sertifikasi halal guna mewujudkan produk pangan yang halalan thayyiban. Merespons hal ini, laboratorium LPPOM MUI menyediakan layanan terbaru untuk pengujian etilen oksida (EtO).
Dalam proses sertifikasi halal, uji laboratorium merupakan hal yang sangat penting. Meski begitu, bukan berarti hasil uji laboratorium dapat menjadi penentu status kehalalan, melainkan hanya sebagai data pendukung untuk sertifikasi halal. Direktur Utama LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati M.Si., menyampaikan hal ini dalam webinar bertema “Regulasi, Mitigasi Risiko, dan Teknologi Terbaru Pengujian Etilen Oksida (EtO) dan 2-Kloroetanol (2-CE) dalam Pangan” yang diselenggarakan LPPOM MUI beberapa waktu lalu bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI).
“Thayyib sendiri memiliki makna baik, yang diartikan sebagai sehat dan aman. Jika sebuah produk pangan tidak thayyib maka tidak dapat disertifikasi halal, karena makanan yang halal itu harus juga sehat dan aman. Halal sendiri tentunya tidak dapat dipisahkan dengan thayyib karena keduanya adalah satu kesatuan,” ungkap Muti.
Laboratorium LPPOM MUI menyadari pengujian halal bukan satu-satunya hal yang perlu diuji. Aspek keamanan pangan atau thayyib, menjadi kesatuan lain yang juga perlu untuk diuji. Laboratorium LPPOM MUI turut mendukung program pemerintah terkait regulasi keamanan pangan dan siap melayani kebutuhan pengujian etilen oksida (EtO) bagi para pelaku usaha yang membutuhkan.
Pentingnya pengujian EtO ini dirasakan pada kasus yang ssempat menjadi tren belakangan ini. Pada Desember 2021, Indonesia menerima notifikasi pertama kali dari European Rapid Alert System for Food and Feed (EURASFF) terkait tolakan ekspor mi instan karena kandungan EtO. Tolakan ekspor dan penarikan mi instan terjadi juga di sejumlah negara lainnya, seperti Taiwan, Singapura dan Malaysia.
Sementara itu, Ketua Tim Standardisasi dan Pengkajian Bahan Tabahan Pangan, Bahan Penolong, Kemasan, Cemaran dan Cara Ritel Pangan yang Baik BPOM, Dra. Deksa Presiana, Apt., M.Kes, menyampaikan bahwa berdasarkan hasil analisis tidak ditemukan adanya EtO yang terdeteksi, namun hasil analisinya dilaporkan sebagai total EtO (penjumlahan antara EtO dan 2-kloroetanol (2-CE)).
“Potensi sumber residu EtO dan 2-CE diduga dapat berasal dari beberapa sumber, seperti residu pestisida, penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP), sterilisasi alat medis, dan kandungan alami dari bahan baku itu sendiri,” tutur Deksa.
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan GAPMMI, Elvira Indrawati, menyampaikan bahwa kendala yang dihadapi terkait cemaran EtO antara lain, kurangnya pemahaman supplier sehingga belum semua bahan dilengkapi dengan hasil analisa EtO serta belum semua pelaku usaha bersedia melakukan analisa pada bahan baku material impor. Selain itu, tambahan biaya untuk analisa bahan baku dan produk juga masih dirasa tinggi. Laboratorium yang kredibel juga masih sulit ditemukan, baik di dalam maupun diluar negeri. Pihaknya menyatakan apresiasinya atas kemampunan LPPOM MUI, karena mampu membantu pelaku industry memnuhi persyaratan ekspor.
“Jika supplier bahan baku tidak dapat menyediakan hasil analisa, maka analisa cemaran EtO dan 2-CE dapat dilakukan oleh pihak pelaku usaha atau jasa laboratorium yang terakreditasi,” jelas Elvira yang juga menjabat sebagai QAS Manager PT Lautan Natural Krimerindo
Dalam proses berbagai perizinan edar atau sertifikasi pangan olahan, pelaku usaha harus melampirkan bukti hasil analisa dari laboratorium yang terakreditasi. Dengan begitu, produk yang beredar dan dikirim ke negara tujuan ekspor dapat dipastikan masuk dalam persyaratan ambang batas EtO dan 2-CE sesuai regulasi negara tujuan ekspor.
Dalam kesempatan ini, Research and Development Specialist of LPPOM MUI Laboratory, Ravi Abdillah S.Si., menuturkan keberadaan EtO dan 2-CE ini terdapat dalam produk mi instan, bumbu powder, bumbu cair, bumbu pasta, biji wijen, es krim, dan cabai bubuk. Hasil pengujian laboratorium dibutuhkan sebagai autentikasi atau pembuktian bahwa produk pangan bebas dari cemaran etilen oksida (EtO) dan 2-kloroetanol (2-CE). Pengujian laboratorium juga dapat menjadi jaminan produk dapat diterima di berbagai negara ekspor.
“Menurut Cancer Institute dan (World Health Organization) WHO, paparan EtO dari udara atau makanan dapat menyebabkan kerusakan dan mutasi genetik pada DNA, sehingga dapat meninkatkan risiko kanker. Paparan bahan kimia berbahaya ini bisa meningkatkan risiko jenis kanker tertentu, khususnya lifoma dan leukemia,” terang Ravi.
Pemerintah telah memberlakukan regulasi terkait cemaran EtO yang tertera pada regulasi BPOM RI Nomor 229 Tahun 2022 Pasal 64 tentang Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida (Ethylene Oxide). Aturan ini menyebutkan bahwa mempertimbangkan keamanan yang manageable, prinsip As Low as Reasonably Achievable (ALARA) serta regulasi dari negara lain, maka batas maksimal residu (BMR) atau Maximum Residue Limit (MRL) direkomendasikan sebesar 0,01 mg/kg dalam pangan olahan (uniform limit).
Tertarik untuk melakukan pengujian etilen oksida (EtO)? Segala bentuk informasi terkait pengujian etilen oksida (EtO) dan pengujian lainnya oleh Laboratorium LPPOM MUI dapat diakses melalui website https://e-halallab.com/. (ZUL)