Diinul-Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah Mahdhah secara ritual saja. Tetapi merupakan ajaran sekaligus juga sistem hidup yang menata dan mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari sebagai ibadah yang tidak bersifat ritual, atau disebut juga ibadah Ghoiru-Mahdhah. Termasuk di dalamnya, yang akrab dalam kehidupan kita sehari-hari adalah Traveling atau piknik dan pelesiran, melakukan perjalanan jauh. Dalam bahasa agama disebut Safar.

Ya, Traveling pada asalnya dianggap sebagai aktivitas hidup duniawi semata, yang konon cenderung bernuansa hura-hura, bersifat hedonistik. Namun bagi kita yang beriman, traveling atau plesiran yang semula dipersepsikan negatif demikian, niscaya dapat bernilai sebagai ibadah, jika dilakukan berdasarkan tuntunan-panduan Islam. Bahkan juga akan mendapat ganjaran pahala, rahmat dan berkah Allah dunia wal akhirah, in-sya Allah.

Maka, guna meraih nilai ibadah itu, seraya juga menjaga akhlakul-karimah dengan istiqamah, perlu diperhatikan dan diimplementasikan-diamalkan tuntunan dalam melakukan safar, sebagaimana dipaparkan dalam kitab “Aadaab Islaamiyyah”, oleh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani, dan telah pula diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Adab Harian Muslim Teladan”, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Meniatkan safar sebagai ibadah, sehingga dapat menjaga diri dan terhindar dari maksiat, serta memperoleh ganjaran pahala dari Allah. Hal semacam ini ditekankan dalam hadits Nabi saw, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.” (Muttafaq ‘alayhi, H.R. Imam Bukhari dan Muslim).

Hendaknya tidak safar sendirian. Seorang Muslim dimakruhkan bersafar sendirian, tapi hendaknya bersama beberapa orang. Sehingga lebih aman dan bisa saling mengingatkan kebaikan serta melarang kemungkaran di perjalanan. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw bersabda dengan makna: “Orang yang berkendaraan sendirian adalah setan, orang yang berkendaraan berdua adalah dua setan, orang yang berkendaraan bertiga maka itulah orang yang berkendaraan yang benar.“ (HR. Imam Malik dalam Al-Muwatha, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).

Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda: “Andaikan orang-orang mengetahui akibat dari bersafar sendirian sebagaimana yang aku ketahui, maka mereka tidak akan bersafar di malam hari sendirian.“ (HR. Bukhari).

Mencari teman safar yang baik. Karena dimakruhkan sendirian, maka hendaknya seorang yang bersafar mencari teman safar yang saleh. Agar perjalanan safarnya penuh dengan hal-hal yang bermanfaat, jauh dari kesia-siaan dan maksiat. Nabi Saw bersabda: “Keadaan agama seseorang dilihat dari keadaan agama teman dekatnya. Maka hendaklah kalian mencari/memilih siapa teman dekatnya.” (HR. Tirmidzi).

Rasulullah Saw juga bersabda, “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mengangkat amirus-safar (pemimpin perjalanan) jika bepergian lebih dari bertiga, apalagi dalam rombongan. Berkenaan dengan safar secara berjamaah atau berombongan yang telah disebutkan di atas, maka perlu atau bahkan harus diangkat seorang Amir atau pemimpin rombungan, untuk dipatuhi bersama. Agar tidak terjadi perselisihan, seperti dalam menentukan shalat jama’ atau qashar. Disebutkan dalam hadits: “Jika tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan.” [HR. Abu Dawud).

Dijelaskan dalam Syarah Riyadhus Sholihin (jilid 3 hal 79), berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin: “Rasulullah saw memerintahkan para musafir untuk mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi pemimpin guna mengatur urusan mereka, dengan mengatakan kepada mereka, “kini kita berangkat, kita duduk, kita berwudhu..! kita makan malam dulu…!” dan hal-hal yang semisal itu. Jika tidak mengangkat pemimpin yang mengatur urusan mereka, niscaya urusan mereka akan menjadi kacau berantakan.

Dianjurkan meng-qasar shalat. Adapun mengqasar (meringkas) shalat ketika safar, itu lebih dianjurkan (jika memenuhi batas jarak safar). Ibnu Umar mengatakan: “Aku biasa menemani Rasulullah Saw dan beliau tidak pernah menambah salat lebih dari dua rakaat dalam safar. Demikian juga Abu Bakar, Umar dan Utsman, radhiallahu’anhum.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Meng-qasar shalat ketika safar hukumnya sunah muakkadah (sangat ditekankan). Meng-qasar shalat adalah mengerjakan shalat Zuhur atau shalat Asar atau shalat Isya hanya dua rakaat saja. Adapun shalat Maghrib dan shalat Subuh tidak bisa diqasar.

Hal ini diisyaratkan dalam pula ayat yang menjelaskan, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. An-Nisa’: 101). Dalam ayat tersebut, qashar shalat dikaitkan dengan rasa takut, karena memang saat safar umumnya berlaku seperti itu. 

Qashar shalat itu adalah sebagai rukhsoh atau keringanan-kemudahan dari Allah dengan tuntunan Hadits Rasulullah Saw, “Qashar shalat itu sedekah yang Allah berikan kepada kalian. Maka terimalah sedekah tersebut.” (HR. Muslim). Pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i, qashar shalat saat safar lebih afdhal daripada shalat sempurna jika telah mencapai safar selama tiga hari.

Membaca doa ketika keluar rumah. Dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda: ”Apabila seseorang keluar dari rumahnya kemudian dia membaca doa: bismillaahi tawakkaltu ‘alallahi laa haula walaa quwwata illaa billah (dengan menyebut nama Allah, yang tidak ada daya tidak ada kekuatan kecuali atas izin Allah), maka dikatakan kepadanya, ‘Kamu akan diberi petunjuk, kamu akan dicukupi kebutuhannya, dan kamu akan dilindungi’. Seketika itu setan-setan pun menjauh darinya. Lalu salah satu setan berkata kepada temannya, ’Bagaimana mungkin kalian bisa mengganggu orang yang telah diberi petunjuk, dicukupi, dan dilindungi (oleh Allah).’” (HR. Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).

Berpamitan kepada keluarga dan tetangga. Dianjurkan untuk berpamitan kepada keluarga dan tetangga serta kerabat sebelum safar. Dari Ibnu Umar, beliau berkata: “Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berpamitan kepada kami (sebelum safar) kemudian membaca doa: astaudi’ullah diinaka wa amaanataka wa khowaatima amalika (aku titipkan kepada Allah, agamamu, amanatmu, dan penutup amalanmu).” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi).

Dan orang yang ditinggalkan, membaca doa sebagaimana yang disebutkan dalam hadis: “Nabi Saw jika memberi pesan kepergian kepada seseorang, beliau mengucapkan: zawwadakallahut taqwaa wa ghafara laka zambaka wa yassara lakal khayra min haitsumaa kunta (semoga Allah memberimu bekal taqwa, dan mengampuni dosamu, dan memudahkan kebaikan untukmu dimanapun berada).” (HR. At-Tirmidzi).

Menulis wasiat. Wasiat yang dimaksud adalah menyampaikan pesan kepada ahli keluarga. Apakah Anda sebagai musafir (orang yang bepergian) punya utang atau tidak? Punya masalah sama orang atau tidak? Memiliki amanah titipan dari orang lain yang harus disampaikan, atau tidak? Dan seterusnya.

Hal-hal tersebut perlu ditulis dan dijelaskan di dalam wasiat yang dibuat. Karena kita tidak tahu ajal kapan menjemput. Boleh jadi saat safar, justru malaikat maut datang menjemput. Perhatikanlah  Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. ” (QS. Luqman: 34)

Membaca doa naik kendaraan. Ketika naik kendaraan apapun, dianjurkan membaca doa: “Subhaanalladzi sakhkhoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa innaa ila robbinaa lamunqolibuun”. (“Maha Suci Allah yang telah menundukkan kendaraan ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami”).

Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh ayat yang artinya: “Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasang dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan, “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (QS. Zukhruf: 12-14).

Ada pula redaksi doa lain yang lebih panjang. Dalam hadits Ibnu Umar, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam ketika naik ke untanya untuk pergi safar, beliau bertakbir 3x kemudian mengucapkan: Subhaanalladzi sakhkhoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa innaa ila robbinaa lamunqolibuun. Allahumma innaa nas’aluka fi safarinaa hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardhoa. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza, wathwi ‘annaa bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli

(Maha Suci Allah yang telah menundukkan kendaraan ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami. Ya Allah kami memohon kebaikan dan ketaqwaan dalam safar kami dan keridhaan dalam amalan kami. Ya Allah mudahkanlah safar kami ini. Lipatlah jauhnya jarak safar ini. Ya Allah Engkaulah yang menyertai kami dalam safar ini, dan pengganti yang menjaga keluarga kami. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan safar ini, dari pemandangan yang menyedihkan, serta dari tempat kembali yang buruk baik dalam perkara harta dan perkara keluarga)” (HR. Muslim)

Memperbanyak doa selama di perjalanan. Hendaknya menggunakan waktu perjalanan untuk memperbanyak Dzikrullah, berdzikir mengingat Allah, dan berdoa kepada-Nya. Karena ketika safar adalah waktu yang mustajab, terkabulnya doa. Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: “Ada tiga doa yang pasti dikabulkan dan tidak ada keraguan lagi tentangnya: doanya seorang yang dizalimi, doanya musafir, doa buruk orang tua terhadap anaknya’” (HR. Imam Ahmad, dan Abu Dawud).

Apabila memasuki satu kampung atau tempat, Rasulullah Saw juga mengajarkan doa sebagaiamana sabdanya: “Barang siapa yang singgah di suatu tempat lantas ia mengucapkan ‘Audzu Bi Kalimaatillahit-Taammaati Min Syarri Maa Khalaq’ (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya), maka tidak ada yang dapat memudharatkannya sampai ia berpindah dari tempat tersebut.” (HR. Muslim).

Mencari dan mengkonsumsi hanya makanan yang halal, disertai dengan berdoa. Misalnya, bila diperlukan, dengan makan dan minum hanya di restoran atau rumah makan yang diyakini kehalalannya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ia menuturkan, Rasulullah saw. bersabda: Mencari (mengkonsumsi rezeki) yang halal itu adalah kewajiban setelah kewajiban.” (HR ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabîr, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imân, Abu Nu’aim dalam Ma’rifah ash-Shahâbah dan al-Qudha’i dalam Musnad Syihab al-Qudhâ’i). 

Dalam hadits yang populer dan telah diajarkan-dilatihkan sejak kecil, diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi Saw, “bahwa Beliau Saw ketika hendak makan dan hidangan didekatkan kepada beliau, beliau berdoa: /Alloohumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa waqinaa ‘adzaabannaar/ (Ya Allah berkahilah makanan yang telah engkau karuniakan kepada kami, dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka). Bismillah.“ (H.R. Ath-Thabrani dalam Bab Ad-Du’a). 

Dari hadits tersebut dapat dipahami, mencari dan mengkonsumsi rezeki yang halal, in-sya Allah akan membawa berkah, dan terhindar dari siksa neraka.

Shalat dua rakaat sepulang safar. Dianjurkan ketika pulang dari safar, sebelum menuju ke rumah, hendaknya salat dua rakaat di masjid. Dari Ka’ab bin Malik, ia berkata: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika beliau pulang dari safar, beliau mendahulukan masuk masjid kemudian salat dua rakaat di masjid kemudian duduk.” (HR. Bukhari, dan Muslim).

Ketika pulang terdapat tambahan: aayibuuna taa-ibuuna ‘aabiduuna lirobbinaa haamiduuna “(Kami kembali, dalam keadaan bertaubat dan menyembah kepada Rabb kami, dan memuji-Nya)” (HR. Muslim).

Hendaknya orang yang akan berpergian jauh mempelajari fiqih safar, terlebih dahulu. Seperti adab safar, fiqih salat ketika safar, dan hal-hal lainnya terkait dengan hal yang sangat penting ini. 

Dengan memahami dan mengamalkan tuntunan traveling atau safar ini, semoga traveling atau piknik yang dijalani khususnya, dan perjalanan hidup kita secara umumnya, dapat menjadi sarana ibadah dan memperoleh rahmat serta berkah dari Allah, dunia maupun akhirah. Aamiin ya Allah. (USM)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.