Cuka merupakan bahan tambahan untuk memasak yang digunakan sebagai penambah rasa asam. Bahan ini banyak dimanfaatkan sebagai salah satu bahan membuat acar, kuah pempek, rasa sedikit asam pada makanan berkuah hingga sebagai penghilang bau amis pada daging. Menurut ilmu Kimia, cuka atau vinegar merupakan senyawa organik dengan nama senyawa kimia asam asetat.
Cuka dapat dibuat secara kimiawi maupun secara alami. Cuka kimiawi dibuat melalui proses karbonilasi metanol, salah satu senyawa gugus alkohol, yang terkadang didistilasi. Cuka kimiawi inilah yang banyak dipakai dirumah tangga, meski kekurangannya profil rasanya kurang kaya. Secara alami, cuka dibuat melalui proses fermentasi, baik fermentasi tradisional maupun dengan bantuan mikroba. Fermentasi tradisional mengubah bahan baku menjadi cuka dengan fermentasi secara alami dalam rentang waktu yang cukup lama.
Sementara itu, fermentasi dengan bantuan mikroba, umumnya Acetobacter aceti maupun ragi, akan menghasilkan cuka dalam waktu singkat, biasanya hitungan hari. Apel, anggur dan beras merupakan bahan baku yang lazim dijadikan cuka, meski cuka apel mungkin yang paling populer. Meski demikian, muncul banyak pertanyaan, terutama terkait status kehalalan apple vinegar yang berasal dari fermentasi buah.
Bagaimana hukum mengonsumsi cuka apel?
Sebagai umat muslim tentunya kita perlu teliti terhadap status kehalalan cuka yang kita gunakan. Pada dasarnya cuka termasuk makanan yang berstatus halal seperti yang disabdakan Rasulullah SAW., “Sebaik-baik lauk adalah cuka” (HR. Muslim, nomor 3824).
Menurut Halal Auditor Management Manager LPPOM MUI, Ade Suherman, S.Si., jika merujuk pada Fatwa Mejelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2003 (MUI) tentang “Standardisasi Fatwa Halal”, cuka yang berasal dari khamar baik terjadi dengan sendirinya maupun melalui rekayasa, hukumnya halal dan suci. Karena ada proses istihalah proses perubahan dari sifat asli menjadi sesuatu yang lain dan disertai dengan lepasnya sifat asli seperti nama, sifat dan karakteristiknya.
Dalam pembuatan cuka dengan proses fermentasi, ada dua tahap proses yang berlangsung secara berkesinambungan, yaitu proses fermentasi pengubahan glukosa (C6H12O6) menjadi alkohol (C2H5OH) lalu alkohol akan berubah menjadi asam cuka (CH3COOH). Proses fermentasi langsung mengubah gula menjadi cuka maka status cuka adalah halal seperti halnya dalam pembuatan cuka apel.
Kemudian, pada Fatwa Mejelis Ulama Indonesia Nomor (MUI) 10 Tahun 2018 tentang “Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol” juga dibahas terkait cuka yang berasal dari khamar,baik terjadi dengan sendirinya maupun melalui rekayasa, hukumnya halal dan suci.
“Namun, bukan berarti cuka yang kita temukan di pasaran seperti cuka apel sudah pasti halal, sehingga perlu dicermati titik kritis sumber mikroba dan sumber media fermentasinya terletak pada sumber nitrogen untuk nutrien pertumbuhan mikrobanya, yang bisa saja berasal dari ekstrak daging, pepton hidrolisis daging, dan bahan lainnya,” jelas Ade.
Selain itu, setelah menjadi cuka, ada peluang penambahan bahan lain seperti flavour dan pewarna. Melihat dari bahan dan prosesnya, maka bisa dikatakan flavour dan pewarna memiliki komposisi yang mengandung bahan turunan lemak, baik dari hewan maupun nabati. Jika dari hewan, maka harus dipastikan berasal dari hewan halal yang disembelih sesuai syariat islam. Selain itu, juga terkadang ada penggunaan enzim pectinase untuk membuat cuka apel jernih. Enzim ini mayoritas diproduksi dari fermentasi sehingga kritis.
Untuk lebih meyakinkan kita, sebagai konsumen muslim, dalam mengonsumsi cuka apel. Ada baiknya kita memperhatikan label/logo halal pada kemasan cuka apel. Kini, LPPOM MUI sudah menyediakan platform Cek Produk Halal pada website https://halalmui.org/. Anda dapat mengakses platform ini di mana pun dan kapan pun. (ZUL)