Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, MA menyatakan, sejak awal MUI sangat mendukung upaya percepatan sertifikasi halal. Dukungan tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk kesiapan Komisi Fatwa MUI dalam membahas setiap pengajuan atau permohonan fatwa halal.
Mengacu pada pengalaman tahun 2022, menurut Asrorun Ni’am, kapasitas Komisi Fatwa MUI Pusat mencapat 5,04 juta produk per tahun. Itu belum termasuk di MUI provinsi sebanyak 30 juta permohonan dan MUI kabupaten/ kota sebanyak 72 juta permohonan. Asrorun Ni’am menegaskan, sidang komisi fatwa untuk menetapkan halal juga bisa digelar di MUI provinsi dan kota/kabupaten.
Namun saat itu jumlah laporan yang diajukan untuk sidang penetapan halal hanya 105.326 laporan usulan pelaku usaha. Hal tersebut sangat jauh dari target Kemenag yang mencanangkan 10 juta produk sertifikasi halal hingga 2024.
Agar capaian target sertifikasi halal bisa maksimal, Asrorun Ni’am Sholeh menegaskan agar alur dan ekosistem jaminan produk halal terus diperbaiki. “Menyelesaikan masalah dari akarnya sehingga tepat sasaran,” tegas Ni’am, seperti dikutip Jawapos.com.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah mengoptimalkan sosialisasi kepada pelaku usaha tentang wajibnya sertifikasi halal bagi produk pangan. Selain itu, perlu ada upaya persuasi dari perusahaan-perusahaan kategori besar terlebih dahulu. Bukan sebaliknya, melakukan persuasi kepada pelaku atau produsen usaha yang kecil-kecil dengan zero risk. Ni’am menolak tudingan yang menyatakan MUI sebagai penyebab minimnya capaian sertifikasi halal pada 2022.
Direktur Utama Lembaga Pengkajian Pangan, Obatobatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Ir. Muti Arintawati, M.Si menilai target capaian 10 juta produk bersertifikat halal pada tahun 2024 cukup berat. “Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum kita bicara target sebesar itu,” kata Muti.
Berdasarkan data Sistem Informasi Halal (SiHALAL) pada Oktober 2022 yang ditayangkan di laman kemenag.go.id, selama kurun waktu 2019-2022, tercatat sebanyak 749.971 produk telah tersertifikasi halal. Dari data tersebut, Kepala BPJPH Aqil Irham memperkirakan, setiap tahunnya akan ada 250 ribu produk yang bakal memperoleh sertifikat halal.
Apabila data-data di atas dijadikan pedoman, maka penambahan produk sertifikat halal pada tahun 2024 sekitar 1 juta hingga 2 juta. Itu asumsi optimis. Angka tersebut tentu masih jauh di bawah target 10 juta produk sertifikat halal pada tahun 2024.
Seperti diketahui, program sertifikasi halal saat ini dilakukan melalui dua jalur. Pertama, sertifikasi dilakukan via jalur mandiri (self-declare) yang verifikasi datanya dilakukan oleh Pendamping Proses Produk Halal (PPH), bukan oleh auditor halal. Jalur kedua adalah jalur regular melalui Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Pada proses deklarasi sertifikasi halal mandiri atau self-declare, pelaku usaha tidak perlu mendaftar ke BPJPH seperti pada proses reguler. Mereka didampingi oleh para pendamping halal di lapangan. Para pendamping itu yang melakukan pencatatan dan pemeriksaan sampai ditetapkan sertifikasi halalnya.
Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Ekonomi Syariah dan Halal, Drs. K.H. Sholahuddin Al-Aiyub, M.Si, bahwa self-declare ini penetapannya harus dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi. Deklarasi mandiri bagi pelaku usaha mikro dan kecil harus berdasarkan beberapa kriteria, di antaranya produknya tidak berisiko, menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya dan proses produksi yang dipastikan kehalalannya serta sederhana.
Senada dengan Al-Aiyub, Muti Arintawati berpendapat bahwa meskipun deklarasi mandiri ini dilakukan oleh pelaku usaha dan PPH, proses sertifikasi halal untuk pelaku UMKM tidak boleh sembarangan. Standar halal tidak boleh berkurang. “Halal itu harus 100 persen halal. Tidak bisa 99,99 persen halal,” katanya, dalam diskusi dengan sejumlah media, beberapa waktu lalu. Hal tersebut harus dilakukan untuk melindungi hak konsumen muslim yang harus mendapatkan produk yang terjamin kehalalannya. (***)