Titik kritis kehalalan kosmetik ternyata tidak hanya terletak pada bahan dan sifat tembus air. Ada empat hal penting lainnya yang sering kali dianggap kecil sehingga tidak mendapat perhatian khusus.
Pertama, terkait fasilitas. Ir. Muti Arintawati, M.Si., Wakil Direktur LPPOM MUI, menjelaskan bahwa hampir seluruh perusahaan kosmetik tidak hanya memproduksi satu macam produk. Ditambah pada kondisi saat ini, perusahaan belum tentu memproduksi kosmetik di pabrik milik sendiri.
“Sebagian perusahaan menggunakan fasilitas pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa jadi menerima pesanan tidak hanya dari satu perusahaan. Artinya, satu pabrik bisa memproduksi untuk sepuluh perusahaan,” terang Muti.
Karena itu, lanjutnya, ada kemungkinan dalam satu pabrik ada produk yang berbahan halal, ada juga yang mengandung najis. Apabila terjadi kontaminansi, itu bisa menyebabkan produk yang tadinya halal menjadi terkontaminansi najis, sehingga hukumnya menjadi nonhalal.
Selanjutnya terkait penamaan. Mengacu pada sebelas kriteria Sistem Jaminan Halal (SJH) yang tertulis pada buku HAS23000, disebutkan bahwa merek/nama produk tidak boleh menggunakan nama yang mengarah pada sesuatu yang diharamkan atau tidak sesuai dengan syariah Islam.
Produk yang tidak dapat disertifikasi adalah nama produk yang mengandung nama minuman keras, mengandung nama babi dan anjing serta turunannya, mengandung nama setan, yang mengarah pada hal-hal yang menimbulkan kekufuran dan kebatilan, serta mengandung kata-kata berkonotasi erotis, vulgar dan/atau porno.
Yang terakhir adalah bentuk kemasan. Dari segi bentuk, produk tidak dapat disertifikasi apabila produk (termasuk kemasan) berbentuk hewan babi dan anjing ataupun bentuk produk atau label kemasan yang sifatnya erotis, vulgar, dan/atau porno.
“Misalnya ada parfum yang botolnya berbentuk tubuh wanita telanjang atau ada gambar yang tidak sopan. Memang tidak menjadikan produknya nonhalal, tapi produk itu tetap tidak bisa disertifikasi,” papar Muti. (YN)