Produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib melakukan sertifikasi halal berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Kosmetik termasuk dalam produk yang dimaksud dalam regulasi tersebut, regulasi ini mulai berlaku pada 17 Oktober 2026.
Kewajiban produk bersertifikat halal oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) mulai diberlakukan sejak 17 Oktober 2019. Pada tahap pertama, kewajiban ini diberlakukan untuk produk makanan, minuman, serta hasil dan jasa sembelihan. Hal tersebut sekaligus menandai dimulainya era baru wajib halal di Indonesia sebagai amanah UU JPH.
Proses sertifikasi halal sejak itu menjadi kewenangan BPJPH sebagai regulator secara administratif dengan melibatkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang berwenang dalam pemeriksaan dan pengujian kehalalan produk, serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menetapkan fatwa kehalalan produk.
Untuk tahap kedua, kewajiban bersertifikat halal akan mulai diberlakukan juga bagi produk obat-obatan, kosmetik dan barang gunaan. Ini sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Halal Audit Quality Board of LPPOM MUI, Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih Hilwan, M.Si., M.Si., menjelaskan bahwa kebutuhan sertifikasi halal untuk kategori produk kosmetik didorong oleh kebutuhan untuk patuh terhadap regulasi. Dorongan kuat lainnya untuk melakukan sertifikasi halal berasal dari konsumen. Semakin meningkatnya konsumen kosmetik di Indonesia, semakin meningkat pula konsumen yang kritis akan kosmetik halal.
“Perkembangan teknologi dan bahan yang kompleks, serta proses produksi yang sangat sukar ini, dapat mengaburkan halal haram produk kosmetik (syubhat). Untuk memperjelasnya, sertifikat halal diperlukan untuk membuktikan bahwa produk terbebas dari barang haram dan najis” terang Mulyorini.
Salah satu contohnya, pengolahan bahan halal yang diolah menggunakan fasilitas bersama. Dalam hal ini, fasilitas bisa saja digunakan untuk mengolah bahan yang mengandung bahan haram atau najis. Oleh karena itu, pemilik fasilitas (maklon) dan supplier bahan harus mengerti persyaratan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) dan memiliki standarisasi agar data memenuhi kebutuhan kliennya yang akan memproduksi produk halal. Tentu ini menjadi tantangan dalam sertifikasi halal kosmetik.
Implementasi SJPH sangatlah penting diterapkan dalam sebuah industri kosmetik. Beberapa poin yang dibutuhkan dalam memenuhi SJPH adalah tim yang kompeten serta fasilitas yang “halal dedicated”.
“Akan sulit jika menggunakan fasilitas yang berlokasi di luar negeri dan tidak semua produk yang diproduksi bersama memiliki sertifikat halal. Selain itu, penggunaan kosmetik halal memang hanya pada bagian luar tubuh, tetapi juga berkaitan dengan dampak penggunaan kosmetik terhadap sah atau tidaknya ibadah umat muslim,” ungkap Mulyorini.
Selanjutnya, pengujian kosmetik halal berfokus pada kemampuan kosmetik tersebut, apakah dapat ditembus dengan air (waterproof) atau tidak. Adanya sertifikasi halal untuk kosmetik juga memberikan jaminan air wudhu yang mampu membersihkan hingga menembus ke lapisan kulit, sehingga ibadah umat muslim dapat dikatakan sah.
Tentu semua hal ini akan sulit diidentifikasi jika hanya dengan kasat mata. Perlu pengujian lebih lanjut untuk memastikan semua bahan kosmetik aman dan halal digunakan. Proses sertifikasi halal menjamin seluruh bahan halal digunakan dan aman dipakai saat shalat. Oleh karena itu, produk bersertifikat halal menjadi pilihan terbaik dalam memilih kosmetik yang sesuai syari’at Islam. (ZUL)