Oleh: Budiatman Satiawihardja
Tenaga Ahli Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)
Dosen Departemen Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB University
Rekayasa protein (protein engineering) adalah suatu teknik untuk memodifikasi molekul protein sehingga sesuai dengan tujuan berdasarkan pada sifat-sifat yang dikehendaki.
Sifat-sifat yang dikehendaki tersebut, diantaranya kestabilan pada suhu tertentu, kestabilan terhadap oksidasi, kestabilan terhadap logam berat, kestabilan terhadap pH, dan kestabilan pada kondisi sifat-sifat enzim tertentu. Misalnya spesifisitas, peningkatan “turnover number” (“bilangan pembalikan”), dan perubahan kesesuaian pH; dan tentunya yang tak boleh dilupakan oleh auditor halal adalah kehalalannya.
Kehalalan poduk hasil rekayasa protein tergantung kepada sumber protein yang direkayasa, dan enzim yang terlibat dalam proses rekayasa tersebut. Perubahan sifat-sifat ini cenderung terkait dengan kondisi aplikasi dalam industri yang selengkapnya seperti dapat kita lihat pada Hubungan Target Rekayasa Protein dengan Struktur dan Kehalalan Tabel 1). Mungkin banyak terlihat pada kasus protease, seperti misalnya substilisin, penghambat enzim, insulin, dan jenis-jenis enzim lainnya.
Di beberapa negara, institusi khusus untuk rekayasa protein telah didirikan seperti misalnya Cambridge Centre for Protein Engineering (CCPE), Cambridge, Inggris; Centre for Applied Protein Engineering (CAPE), Braundscweigh, Jerman; Danish Protein Engineering Research Centre, Aarhus (PERC), Odense, Copenhagen, Denmark; Laboratory for Protein Engineering (P-2000), Paris and Grenoble, Perancis, dan masih banyak lagi.
Ulmer K.M., sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan rekayasa protein menjelaskan bahwa untuk dapat digunakan secara luas dalam dunia industri sebagai katalis, harus dikembangkan suatu metode untuk menyesuaikan sifat protein terhadap segala proses di industri. Secara tegas Ulmer dalam buku Protein Engineering Science menjelaskan potensi besar dari teknologi ini dalam industri dan cukup menarik mengungkap potensi ini pada saat sekarang.
Oleh sebab itu, tujuan dari tulisan singkat ini adalah memperjelas kaitannya dengan keperluan industri halal dan potensinya pada saat ini. Pertama-tama kita akan membedakan rekayasa protein sebagai suatu cara menggambarkan hubungannya dengan struktur dan fungsi.
Kaitan sruktur (jenis rekayasa) dan fungsi (tujuan) dapat mencakup aspek-aspek seperti terlihat pada Tabel 1, yang menyajikan target rekayasa protein dengan beberapa disain untuk pemecahannya. Beberapa diantaranya masih merupakan minat yang harus dijalani. Desain dan rekayasa protein memiliki beberapa pre-kondisi, baik sebagai strategi percobaan maupun pada penggunaan instrumennya.
Tabel 1. Hubungan target rekayasa protein dengan struktur dan kehalalan**)
*) Dikutip dari Hartley, 1986, dengan penambahan kolom “kehalalan”
**) Diasumsikan semua bahan-bahan pada tabel ini asalnya halal dan enzim yang terlibat dalam proses rekayasa juga enzim halal.
Gen protein yang akan diubah harus diklon terlebih dahulu. Bila tidak, maka tidak memungkinkan mengerjakan mutagenesis-situs. Sementara di satu sisi terdapat keterbatasan dalam hal fitur mekanisme atau struktural. Struktur tiga dimensi atau model yang detil sangat diperlukan. Untuk memperoleh hal ini, diperlukan pengetahuan dan spesialisasi dan peralatan yang mahal beserta tenaga yang benar-benar ahli. Sejumlah kemungkinan cara sudah dicoba disusun seperti terlihat pada Tabel 1.
Selain itu, Arnold (2018) memperoleh penghargaan pretisius atas temuannya mengembangkan rekayasa protein agar diperoleh sifat-sifat yang diinginkan. Stabilitas, kemampuan protein bekerja pada kondisi ekstrem seperti suhu yang terlalu rendah atau tinggi serta pH yang terlalu asam atau basa adalah beberapa sifat yang diinginkan.
Protein merupakan molekul yang mempercepat hampir semua reaksi dalam tubuh makhluk hidup. Protein yang mempunyai sifat ini digolongkan sebagai enzim. Pertanyaannya, seberapa jauh usaha rekayasa genetik di Indonesia sudah terlibat dalam usaha-usaha yang tertulis di Tabel 1.
Harapannya mudah-mudahan sudah cukup banyak terlibat. Masalahnya, belum ada koordinasi antar institusi penelitian atau antar peneliti. Komunikasi antarpeneliti diperlukan untuk kesuksesan penelitian rekayasa protein di Indonesia. (***)