Sejak 15 Juni 2020, LPPOM MUI melakukan audit tambahan selain audit sesuai kriteria sistem jaminan halal sesuai HAS 23000. Audit tersebut berkenaan dengan keamanan pangan, obat, dan kosmetik. Hal ini sesuai dengan persyaratan akreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan Emirates Authority for Standardization and Metrology (ESMA) kepada LPPOM MUI.
Kriteria keamanan pangan (food safety) telah menjadi kriteria yang dipersyaratkan dalam pengurusan sertifikasi halal LPPOM MUI. Peraturan ini mengacu pada SNI ISO/IEC 17065: 2012 dan UAE 2055:2 untuk lembaga sertifikasi halal, yakni penambahan persyaratan keamanan pangan dalam proses sertifikasi halal untuk industri makanan dan minuman yang diberlakukan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Sebelumnya, LPPOM MUI telah memperoleh sertifikat akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) dengan skema akreditasi SNI ISO/IEC 17065: 2012 dan UAE 2055:2. Dengan itu, LPPOM MUI dapat menjalankan lembaga sertifikasi sesuai standar dunia internasional dan keberterimaan produk yang disertifikasi MUI ke negara-negara dengan acuan standar yang sama.
LPPOM MUI pun telah mendapatkan pengakuan dari Badan Standarisasi Uni Emirat Arab atau Emirates Authority for Standardization and Metrology (ESMA) sehingga produk-produk yang disertifikasi MUI dapat diterima di UAE.
Berkaitan dengan audit tambahan ini, LPPOM MUI telah menyelenggarakan sosialisasi kepada klien LPPOM MUI dan masyarakat umum. Sosialisasi tersebut dirangkum dalam webinar bertema “Pemenuhan Kriteria Keamanan Pangan pada Proses Sertifikasi Halal” yang diselenggarakan pada 17 September 2020 secara virtual.
Hadir sebagai pembicara, diantaranya: Prof. Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, Profesor di bidang Mikrobiologi pangan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB University sekaligus peneliti Southeast Asia Science Agricultural and Technology (SEAFAST) Center, LPPM, IPB; Dra. Sutanti Siti Namtini, PhD., Direktur Standardisasi Pangan Olahan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM); serta Dr. Ir. Muslich, M.Si., Dosen Departemen Teknik Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB University sekaligus Kepala Bidang QA dan Standard LPPOM MUI.
“Pada dasarnya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia sudah menyandingkan bahaya universal (bahaya biologis, kimia, dan fisik) dengan agama keyakinan dan budaya. Sehingga keduanya seharusnya berjalan beriringan,” jelas Ratih.
Hal ini tercantum dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menyatakan, “Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.”
Atas dasar itu, sistem manajemen keamanan pangan menjadi suatu hal yang penting untuk diimplementasikan. Terlebih lagi, permasalahan keamanan pangan dapat menyebabkan berbagai hal yang fatal, seperti kehilangan perdagangan, memengaruhi kesehatan masyarakat (sakit, keracunan, hingga kematian), serta suatu perusahaan dapat kehilangan kepercayaan (trust) dari masyarakat.
Sistem manajemen keamanan pangan adalah sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya keamanan pangan. Sistem ini telah mengalami perkembangan untuk memberikan jaminan keamanan yang lebih baik, sejalan dengan: keinginan mendapatkan perlindungan yang lebih baik, teknologi pengolahan baru, perubahan logistik dalam rantai pangan, bahaya emerging, serta perdagangan internasional.
Di samping itu, Sutanti menjelaskan bahwa permasalahan keamanan pangan pada umumnya ada empat, diantaranya: cemaran mikroba pada pangan karena rendahnya kondisi higienitas dan sanitasi, cemaran kimia karena kondisi lingkungan yang kotor, penyalahgunaan bahan berbahaya yang dilarang untuk pangan, serta penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) melebihi batas maksimum yang diizinkan.
“Audit keamanan pangan perlu diterapkan untuk menjamin pangan aman dikonsumsi. Sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, penerapan keamanan pangan bisa diterapkan dengan sanitasi pangan, pengaturan terhadap BTP, pengaturan terhadap Pangan Produk Rekayasa Genetik, pengaturan terhadap Iradiasi Pangan, penetapan standar Kemasan Pangan, pemberian jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan, serta jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan,” papar Sutanti.
Regulasi, lanjutnya, dibuat untuk memastikan keamanan, mutu, dan gizi pangan, agar tercapai tujuan perlindungan masyarakat (consumer protection) dan perdagangan yang adil (fair trade). Karena itu, pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat harus berkolaborasi untuk mewujudkan pengawasan keamanan pangan yang kuat.
Muslich mengungkapkan bahwa pada dasarnya halal beriringan dengan thayyib (aman bersih), yang secara umum dapat diartikan sebagai keamanan pangan. Pemenuhan aspek keamanan pangan merupakan bagian dari persyaratan sertifikasi halal, yang harus dipenuhi pelaku usaha sebelum laporan hasil audit disampaikan ke rapat Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan apakah produk dinyatakan halal atau tidak.
“Bagi pelaku usaha atau aplikan yang belum sertifikasi halal, LPPOM MUI akan melakukan tambahan audit untuk memastikan pemenuhan aspek keamanan pangan/produk sesuai dengan persyaratan Good Manufacturing Practices (GMP),” lanjut Muslich. (YN)