Produk obat halal merupakan salah satu aspek yang menjadi perhatian utama Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). Dalam rangka mendukung kajian reformasi sistem Kesehatan nasional, BPK RI mengadakan diskusi dengan tema “Reformasi Sistem Kesehatan Nasional untuk Meningkatkan Ketangguhan Bangsa” beberapa waktu lalu yang digelar secara virtual.
Diskusi ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan registrasi dan pengawasan produk obat halal, serta upaya penindakan dan/atau penegakan hukum, perolehan data terbaru terkait hasil pengawasan produk obat halal serta upaya penindakan dan/atau pemidaan hukum serta perumusan rekomendasi kebijakan dan strateginya di tingkat makro, meso, maupun mikro dalam upaya mereformasi sistem kesehatan nasional pada aspek kemandirian obat.
Hadir sebagai narasumber, Dr. H.A. Umar, MA, sebagai Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal BPJPH; Dr. H. Mastuki, M.Ag, sebagai Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH; dan Ir. Hj. Muti Arintawati, MSi, sebagai Direktur Utama LPPOM MUI.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) pada Pasal 4 menyebutkan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Dalam Pasal 1 pada UU yang sama menyebutkan produk yang dimaksud tersebut adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Untuk selanjutnya, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PMA) No. 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, menyebutkan ada penahapan wajib sertifikasi halal, khususnya obat. Untuk obat tradisional dan suplemen kesehatan, penahapan kewajibannya berlaku dari 17 Oktober 2021 – 17 Oktober 2026, kemudian obat bebas dan obat bebas terbatas sampai dengan 17 Oktober 2029, serta obat keras dikecualikan psikotropika sampai dengan 17 Oktober 2034.
Sementara itu, Muti dalam pemaparannya menjelaskan, titik kritis obat di mana ada peluang produk berstatus tidak halal diantaranya terdapat pada material, proses, fasilitas. Titik kritis pada material obat bisa terdapat pada bahan aktif, eksipien, bahan penolong, cleaning agent, dan media validasi hasil pencucian. Titik kritis ini harus diverifikasi dan dinilai pemenuhannya terhadap standar Sertifikasi. Untuk penjelasan secara lebih detail, LPPOM MUI telah mengeluarkan buku standar jaminan halal HAS 23202 tentang pengetahuan titik kritis kehalalan bahan obat.
Adapun sertifikasi halal produk obat periode 2017-2021 terus mengalami peningkatan berturut-turut. Mulai tahun 2017 sampai dengan 2021, jumlah produk obat yang disertifikasi halal antara lain 569, 2.86, 11.862, 4.631, dan 6.776 produk di tahun 2021.
Khusus di tahun 2021, kelompok produk herbal terdapat 2.716 produk bersertifikat halal, kelompok produk suplemen dan supplement ingredients sejumlah 1.091 produk dan untuk kelompok produk obat dan vaksin berjumlah 2.696 produk.
Ada berbagai tantangan yang dihadapi dalam hal Sertifikasi halal obat, dari sisi konsumen masih banyak konsumen yang beranggapan bahwa obat termasuk wilayah darurat sehingga tidak diperlukan sertifikasi halal untuk obat sehingga tidak mendorong perusahaan farmasi untuk mensertifikasi halal produknya. Sementara dari sisi produsen, mencari alternatif bahan halal menjadi tantangan tersendiri, selain juga pemisahan fasilitas, adanya bahan baru yang memerlukan fatwa MUI, dan juga regulasi.
Dengan adanya berbagai tantangan tersebut, LPPOM MUI memberikan rekomendasi antara lain meningkatkan sosialisasi dan edukasi tentang regulasi JPH ke seluruh stakeholder, memberi waktu dalam penerapan persyaratan wajib sertifikasi halal untuk bahan obat yang tidak termasuk positive list, paralel dengan proses sertifikasi bahan-bahan obat, serta mendorong pengembangan obat yang sudah menggunakan bahan halal dari awal riset. (NAD)