Oleh: Dra. Hj. Mursyidah Thahir, M.A.
Anggota Komisi Fatwa MUI
Dosen Institut Ilmu Al-Qur’an, Jakarta
Dalam Islam, menunaikan ibadah-ibadah yang diwajibkan, maka langkah awal atau landasannya harus dengan mengkonsumsi makanan yang halal. Seperti benih yang ditanam, kalau ingin hasil tanaman yang dipanen baik, tentu benihnya harus pula yang baik.
Karena, telah umum diketahui, makanan yang dikonsumsi, di antaranya, akan menghasilkan energi gerak tubuh, juga menumbuhkan serta mengganti sel-sel anggota tubuh yang rusak. Dari sini para ulama menjelaskan, makanan yang halal, insya Allah akan menghasilkan energi tubuh untuk gerak aktivitas yang halal pula. Dalam bahasa agama, yaitu gerak-aktivitas yang bernilai ibadah, mengikuti tuntunan Allah, dengan contoh teladan dari Rasulullah saw. Demikian pula sel-sel tubuh yang tumbuh dan digantikan dari yang rusak, insya Allah akan mudah digerakkan pada aktivitas amal yang halal, sebagai ibadah yang diridhoi Allah. Sebaliknya, kalau makanan yang dikonsumsi berasal dari yang haram, maka gerak aktivitas tubuh juga cenderung kepada yang haram. Seperti suka atau bahkan jadi sering melakukan perbuatan maksiat yang terlaknat, dan dosa yang dilarang dalam Islam. Sulit atau merasa berat untuk digerakkan pada aktivitas yang bernilai ibadah.
Dari sini agaknya dapat dipahami isyarat yang dikemukakan oleh Nabi saw. dalam Haditsnya yang terkenal, “Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (HR. At-Thabrani). Yakni bahwa orang yang mengkonsumsi yang haram, maka amal-perbuatannya cenderung pada yang haram pula, dosa-maksiat yang dilarang agama, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Pangan halal itu sendiri ditinjau dari dua sisi. Pertama, dari zat makanan yang terkandung di dalamnya. Untuk itu maka perlu diteliti dengan proses sertifikasi halal. Semua bahan yang dipergunakan, peralatan dan pemrosesannya, harus halal dan bebas dari najis atau suci, sesuai dengan kaidah syariah. Yang kedua, halal dari cara mendapatkan atau memperolehnya. Yaitu cara mencari rezeki, harus halal pula. Tidak boleh dengan cara yang dilarang atau diharamkan. Seperti mencuri, manipulasi, dan korupsi.
Allah telah memerintahkan di dalam Al-Qur’an agar mengkonsumsi makanan yang halal, diikuti dengan larangan mengikuti langkah-langkah setan. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 168-169).
Dalam ayat yang lain dijelaskan, mengkonsumsi yang tidak halal, efeknya bersifat langsung. Begitu orang mengkonsumsi yang haram, misalnya, khamar, maka sangat besar kemungkinan, perbuatannya bagaikan mengikuti jejak-langkah, perbuatan setan. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah, 5: 90-91).
Pada kenyataannya, sangat banyak bukti menunjukkan, orang yang mabuk, rusak pikirannya, bahkan juga hilang akal sehatnya. Akibatnya, karena pengaruh khamar dan narkoba, sering terjadi, pelakunya tak segan melakukan tindak kriminal; mencuri, merampok, memperkosa, bahkan membunuh orang dengan sadis. Jelas itu merupakan perbuatan setan yang terkutuk. Na’udzubillahi min dzalik.
Nah, puasa Ramadhan beberapa waktu lalu, yang telah kita jalani selama satu bulan penuh, sebagai ibadah wajib karena Allah. Melatih diri kita untuk menahan diri dari konsumsi makanan-minuman dan hubungan seksual suami-istri, yang sesungguhnya halal, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Maka terhadap yang diharamkan agama, tentu harus lebih dihindarkan lagi. Itu merupakan upaya dan proses untuk meraih nilai Taqwa yang disebutkan Allah di dalam Al-Qur’an, dengan puasa yang diamalkan: La’allakum tattaquun. Dan berpuasa, menahan hawa nafsu itu, dilatih bersama seluruh anggota keluarga. Agar dapat selamat serta memperoleh ridho dan berkah Allah, dunia wal akhirah.
Perhatikanlah isyarat dari Allah dalam ayat dengan makna: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naazi’aat, 79: 40-41).
Dengan demikian, dapat dipahami pula, pengelolaan rumah tangga, mendidik anak-anak, cucu-cicit yang merupakan unit terkecil dalam kehidupan masyarakat, harus dengan landasan dan program menuju Taqwa, sebagaimana dimaksud dalam ayat: “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqaan, 25:74).
Dan nilai-nilai Taqwa yang telah ditanamkan serta dilatih selama sebulan Ramadhan tentu harus dijaga, dipelihara seterusnya, dengan konsisten, penuh komitmen setelah Ramadhan berlalu. Tidak tergantung pada musim. Itulah yang disebut dengan istiqomah dalam ibadah, insya Allah. (USM)