Industri kuliner Indonesia mulai melebarkan sayapnya dengan mengadopsi menu masakan asing. Tren ini tak hanya merambah ke makanan utama, namun juga sampai ke camilan dan minuman. Salah satunya adalah Japanese Cheese Cake. Mari cermati titik kritis keharamannya.

Kebanyakan dari pelaku usaha membawa resep asli menu makanan dari negeri asal makanan ke Indonesia, demi mempertahankan cita rasa khas makanan. Nyatanya, makanan-makanan tersebut dapat diterima lidah masyarakat Indonesia.

Bagaimana dengan kehalalan menu makanan tersebut? Resep suatu menu makanan dari negera asal tentu tidak memperhatikan penggunaan bahan yang halal. Hal ini karena setiap negara memiliki standar halal yang berbeda. Sementara itu, Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim menekankan halal haram menjadi suatu hal yang penting karena menyangkut dengan ketaqwaan seseorang kepada Allah. Para pelaku usaha tentu harus beradaptasi dengan kondisi ini.

Kali ini, tim redaksi Jurnal Halal akan membahas salah satu camilan yang sedang naik daun dari Negeri Sakura, yakni Japanese Cheese Cake. Kue yang sedang digandrungi oleh para Milenial ini terbuat dari campuran bahan utama cream cheese, susu, telur, dan gula. Rasa gurih dan manis serta tekstur yang sangat lembut membuat kue ini tak pernah kehabisan penikmat.

Namun, siapa yang bisa menjamin kehalalan kue yang satu ini? Dilihat dari bahan utamanya, ternyata kue ini memiliki titik kritis haram yang cukup esensial, terutama pada cream cheese dan gula. Mari kita ulas titik kritis haram Japanese Cheese Cake satu per satu.

Bahan pertama yang membuat cita rasa Japanese Cheese Cake menjadi spesial adalah cream cheese. Berbeda dari keju pada umumnya, cream cheese memiliki tekstur yang lembut seperti mentega, warnanya putih, dan rasanya sedikit gurih. Jenis keju yang terbuat dari susu sapi pasteurisasi ini tidak mengalami pemeraman.

Selanjutnya, pada bahan baku tersebut dengan atau tanpa homogenisasi, ditambahkan kultur bakteri asam laktat dan enzim rennet atau enzim penggumpal lain. Setelah menggumpal, padatan yang dihasilkan akan dipanaskan, diaduk, dan dipisahkan whey-nya.


Penambahan bakteri asam laktat dan enzim rennet inilah yang perlu menjadi sorotan. Menurut Ir. Muti Arintawati, M.Si, Wakil Direktur LPPOM MUI, enzim rennet yang dipakai bisa saja berasal dari hasil fermentasi (microbial rennet) maupun dari lambung anak sapi. Sedangkan asam laktat merupakan produk mikrobial. “Produk mikrobial harus dipastikan media yang dipakai untuk pertumbuhan mikrobanya tidak mengandung bahan yang diharamkan. Sementara rennet yang berasal dari lambung anak sapi, cara penyembelihan menjadi penentu kehalalannya,” jelasnya.

Bahan selanjutnya adalah susu dan telur. Keduanya masuk dalam daftar bahan tidak kritis (positive list) jika dihasilkan dari hewan halal dan tidak dicampurkan bahan tambahan, kecuali garam.

“Pada dasarnya, susu dari hewan yang halal itu suci dan halal. Maka harus ditelaah bahan baku dari produk tersebut. Kalau berasal dari susu alami dan hewan yang halal, maka produk itu juga halal untuk dikonsumsi. Tapi kalau mengalami pengolahan atau pemrosesan, ada campuran bahan tambahan, maka tentu harus dikaji terlebih dahulu bahan campuran yang digunakan. Kalau bahan tambahan dan alat-alat pemrosesannya suci dan halal, maka produk menjadi suci dan halal,” ujar Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat,  Dr. KH. Maulana Hasanuddin, M.A.

Bahan lainnya yang juga tak kalah penting adalah gula. Kebanyakan gula pasir biasanya terbuat dari tebu. Meski bahan baku gula berasal dari tumbuhan, tak serta merta gula tersebut halal. Ada proses lanjutan yang melibatkan bahan-bahan lain yang harus dicermati halal haramnya. Untuk sampai menjadi gula pasir, tebu perlu melalui beberapa tahapan, mulai dari proses ekstraksi, penjernihan, evaporasi, kristalisasi, hingga pengeringan.

Tahapan-tahapan proses ini berpeluang menggunakan bahan dekolorisasi yang menggunakan karbon aktif. “Apabila karbon aktif ini berasal dari hasil tambang atau dari arang kayu, maka tentu tidak menjadi masalah. Akan tetapi, apabila menggunakan arang tulang, maka harus dipastikan status kehalalan asal hewannya. Arang aktif  haram dipakai jika berasal dari tulang hewan haram, atau tulang hewan halal yang tidak disembelih sesuai syariat Islam,” ungkap Kepala Bidang Auditing LPPOM MUI, Dr. Ir. Mulyorini R. Hilwan, M.Si.

Sampai hari ini, baru ada satu brand Japanese Cheese Cake yang sudah berverifikat halal MUI, yaitu Uncle Tetsu. Mereka menyatakan bahan bakunya berasal dari bahan berkualitas, di antaranya: cream cheese dari Asutralia, susu dari New Zealand, sementara telur dari peternakan ayam di Bogor.


Jadi, merasakan lezatnya penganan khas luar negeri yang terjamin kehalalannya bukan menjadi hal yang mustahil lagi. Saat ini sudah ada Japanese Cheese Cake yang sudah terjamin halal. Jika kita membuat sendiri juga tidak masalah, sepanjang tetap memperhatikan kehalalan bahan baku yang digunakan. Dengan mengetahui titik kritis produk, kita bisa menyeleksi mana makanan yang halal dan haram untuk kita konsumsi. (YN)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.