Oleh: Prof. Khaswar Syamsu, Ph.D

Guru Besar Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB

Kepala Pusat Kajian Sains Halal IPB

Koordinator Tenaga Ahli LPPOM MUI

Mengonsumsi makanan dan minuman yang halal merupakan perintah Allah Swt. Antara lain tercantum dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah 168) kepada seluruh umat manusia sebagai bentuk ibadah dan bukti ketaatan kepada-Nya. Dalam perspektif hak asasi manusia, mengonsumsi produk halal merupakan hak asasi bagi muslim di seluruh dunia, yang populasinya di seluruh dunia pada tahun 2016 lebih dari  2,06 miliar, atau lebih dari  28% dari populasi penduduk bumi.

Di Indonesia sendiri, jumlah umat Islam lebih dari 200 juta penduduk, atau lebih dari 87% populasi penduduk Indonesia. Dalam konteks ekonomi dan bisnis, jumlah yang sedemikian banyak merupakan potensi pasar yang prospektif bagi industri makanan,  minuman, obat obatan dan kosmetika yang dapat dimenangkan melalui sertifikasi halal.

Hal itu dimaklumi oleh banyak industri sehingga perkembangan permintaan dunia terhadap makanan, minuman, obat obatan dan kosmetika halal semakin meningkat pesat. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brojonegoro dalam acara Halal Lifestyle Conference and Business Matching 2018, pengeluaran muslim global pada industri halal pada tahun 2016 mencapai US$ 2 triliun. Potensinya pada tahun 2022 diperkirakan mencapai US$ 3,1 triliun seiring dengan lonjakan pertumbuhan populasi muslim global.

Menyadari hak asasi Muslim untuk mengonsumsi makanan, minuman dan obat-obatan yang halal maka wakil rakyat di DPR telah mengesahkan UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Undang-undang ini mewajibkan sertifikasi halal untuk produk dan jasa terkait dengan makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik dan barang gunaan, kecuali untuk produk yang memang haram. Dengan demikian tidak ada lagi produk dan jasa yang syubhat, tetapi harus jelas halal atau haram. Undang-undang ini mulai wajib diberlakukan paling lambat lima tahun setelah diundangkan, yaitu tahun 2019.

Dalam Al-Qur’an, kata “halal” disertai dengan “thayyib” (halalan thayiban). Dalam konteks makanan halal, halal berarti sesuatu yang dibolehkan untuk dikonsumsi sesuai dengan aturan Islam (aspek spritual), sedangkan thayyib berarti baik, aman untuk dikonsumsi (food safety), bersih, menyehatkan dan bermutu (aspek fisik, kimia, dan biologis). Dengan demikian, halal sesungguhnya lebih dari sekedar mutu. Karena itu, tidak heran kalau umat non-Islam di dunia pun menganggap bahwa produk yang halal dan thayyib itu juga merupakan jaminan kualitas yang baik.

Berbeda dengan sistem mutu yang lain, halal tidak mengenal ambang batas tertentu (threshold). Kalau pada keamanan pangan masih dimungkinkan adanya bahan berbahaya (hazardous materials) atau cemaran mikroba dalam bahan pangan asalkan masih di bawah ambang batas tertentu, maka pada konsep halal tidak dibolehkan masuknya bahan yang haram pada level berapapun (zero tolerance). Pilihannya hanyalah halal atau haram. Kalau status kehalannya tidak atau belum jelas (syubhat), maka harus diperjelas melalui sertifikasi halal oleh lembaga yang kompeten dan  berwenang.

Sesungguhnya bahan makanan dan minuman yang haram dalam Islam tidaklah banyak dibandingkan dengan yang halal. Surat Al-Baqarah 173 dan beberapa ayat lainnya dengan narasi yang sama (Al-Maidah 3, Al-An‘am 145, Al-Nahl 115) menyebutkan bahwa yang haram itu adalah bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah (yang disembelih tidak sesuai dengan syariah Islam).

Kemudian diharamkan pula meminum khamar/minuman yang memabukkan (Al-Maidah 90). Selain itu, beberapa hadits juga melarang untuk memakan binatang buas, binatang amfibi, binatang yang dilarang untuk dibunuh, binatang yang disuruh untuk dibunuh dan binatang yang menjijikkan.

Perkembangan ilmu dan tekologi dalam pengolahan telah membuat produk industri makanan, minuman, obat obatan dan kosmetika menjadi syubhat (berpeluang menjadi haram). Sumber keharaman dapat berasal dari bahan bakunya sendiri  (raw materials), bahan tambahan (additives) atau bahan pembantu (processing aids)  dalam industri. Banyak bahan baku, bahan tambahan dan bahan pembantu berasal dari babi, atau dari hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat Islam.

Dari lemak babi yang merupakan hasil samping (by-product) industri pengolahan daging babi, misalnya, dapat dibuat untuk bahan pengemulsi (emulsifier) yang umum digunakan dalam industri pangan. Dari kulit dan tulang babi yang juga hasil samping industri pengolahan babi dapat dibuat kolagen sebagai bahan kosmetik serta gelatin yang umum digunakan sebagai bahan cangkang kapsul, permen lunak, dan bahan pengental.

Dari pankreas babi dihasilkan hormon  insulin, serta dari sistem pencernaan babi dihasilkan enzim protease (trypsin, pepsin) yang banyak digunakan pada industri makanan dan obat-obatan. Bahkan tulang babi yang tersedia dalam jumlah berlimpah dapat digunakan sebagai bahan arang aktif yang banyak digunakan dalam proses dekolorisasi dan penjernihan pada berbagai industri.

Banyaknya peluang keharaman produk industri yang berasal dari bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong ini menjadi isu penting dalam manajemen rantai pasok halal. Salah satu contoh adalah kolagen dan gelatin yang umumnya diperoleh dari kulit atau tulang hewan yang dikumpulkan dari berbagai rumah penyembelihan hewan.

Kolagen dan gelatin serta turunannya banyak digunakan dalam industri makanan, obat obatan dan kosmetik. Menurut Schrieber dan Gareis (2007) yang menulis buku tentang gelatin, sebagian besar (44,9 persen) gelatin di pasar global berasal dari kulit babi, 27,9 persen dari kulit sapi, dan 27,2 persen dari tulang hewan (sebagian besar babi dan sapi). Walaupun ada gelatin dan kolagen berasal dari kulit ikan, namun secara ekonomi dan komersial jumlahnya tidaklah signifikan. Kolagen dan gelatin dari kulit atau tulang sapi pun mungkin berasal dari sapi yang tidak disembelih sesuai syariat Islam.

Untuk memenuhi kebutuhan kolagen dan gelatin halal yang cukup besar, tidak tertutup kemungkinan adanya pencampuran yang disengaja karena alasan ekonomi (adulteration) atau tidak sengaja (contamination) dalam proses pengumpulan, produksi, penyimpanan dan transportasi bahan dan produk.

Salah satu cara untuk mengatasi persoalan bahan yang berasal dari, atau terkontaminasi oleh, bahan babi atau derivatifnya adalah dengan melakukan pengambilan sample dan uji laboratorium (autentikasi) sebelum bahan syubhat tersebut digunakan sebagai bahan dalam industri makanan, minuman, obat obatan dan kosmetika.

Namun persoalan timbul untuk bahan yang berasal dari bangkai atau hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat Islam yang juga haram. Sampai saat ini, belum ada metode laboratorium yang dapat membedakan antara hewan yang disembelih sesuai syariat Islam (dengan membaca Basmalah) dengan hewan yang disembelih  tidak sesuai dengan syariat Islam (dengan tidak membaca Basmalah). Karena itu manajemen rantai pasok halal yang akurat merupakan suatu keniscayaan untuk menjamin kehalalan produk produk industri makanan, minuman, obat obatan dan kosmetika.

Dalam kasus kolagen dan gelatin, misalnya, untuk mendapatkan produk akhir yang halal maka pada masing masing dan setiap mata rantai dalam rantai pasok halal, mulai dari proses pemilihan dan penyembelihan hewan, penanganan pasca-penyembelihan, pengumpulan kulit dan tulang, proses produksi kolagen dan gelatin, proses produksi produk akhir dengan bahan kolagen dan gelatin, dan masing masing penyimpanan dan pengangkutan pada setiap tahap, sampai produk akhir yang siap dikonsumsi harus dijamin kehalalannya.

Untuk menjamin kehalalan produk akhir yang siap dikonsumsi maka setiap mata rantai pada rantai pasok halal harus menerapkan sistem jaminan halal. Sistem Jaminan Halal adalah sistem manajemen terintegrasi yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan untuk mengatur bahan, proses produksi, produk, sumber daya manusia dan prosedur dalam rangka menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan persyaratan (HAS 23000 LPPOM MUI). 

Sebagai pra-syarat, Sistem Jaminan Halal harus dimulai dari komitmen tertulis dari setiap perusahaan pada setiap mata rantai pasok halal untuk menerapkan sistem jaminan halal pada perusahaan mereka. Sistem Jaminan Halal harus didukung oleh sumber daya manusia (Tim Manajemen Halal/Auditor Halal Internal) yang bertanggung jawab untuk merencanakan (menyiapkan Manual Halal), mengimplementasikan, mengevaluasi dan memperbaiki sistem jaminan halal secara terus menerus.

Tim Manajemen Halal haruslah orang orang yang kompeten pada bidang Sistem Jaminan Halal yang telah lulus ujian kompetensi oleh lembaga kompeten yang berwenang. Kompetensi dapat diperoleh melalui pelatihan (training) oleh lembaga kompeten yang berwenang.

Sebagai persyaratan utama, produk halal haruslah dibuat dari bahan bahan (bahan baku dan bahan tambahan) serta menggunakan bahan penolong yang halal. Kehalalan masing masing bahan bahan tersebut harus dibuktikan oleh dokumen pendukung kehalalan yang sah (valid) dari lembaga atau pihak yang diakui kredibilitasnya. Kemudian produk halal tersebut juga harus diproduksi pada fasilitas produksi yang memenuhi kriteria halal, yaitu harus bebas dari kontaminasi bahan bahan yang haram dan/atau najis.

Untuk menjamin kehalalan pada setiap step produksi pada suatu perusahaan/pabrik maka setiap aktivitas kritis yang mempengaruhi kehalalan harus dilengkapi oleh Prosedur Operasi Baku (Standard Operation Procedure) untuk proses produksi produk halal. Selain itu, diperlukan pula prosedur operasi baku untuk penanganan bahan dan produk yang baik secara sengaja atau tidak sengaja terbuat dari, atau terkontaminasi oleh, bahan bahan yang haram dan/atau najis. Untuk mendukung penanganan bahan dan produk tersebut maka, baik produk halal maupun produk yang tidak memenuhi kriteria halal, harus mampu ditelusuri kembali ke belakang secara akurat (traceability).

Sebagai suatu manajemen terintegrasi maka efektivitas penerapan sistem jaminan halal harus secara periodik dievaluasi melalui audit internal. Hasil temuan  audit internal tehadap penerapan sistem jaminan halal perusahaan harus ditindaklanjuti langsung pada batas waktu tertentu (deadline) yang ditetapkan oleh Tim Manajemen Halal. Evaluasi dalam bentuk tinjauan manajemen (management review) terhadap pelaksanaan sistem jaminan halal pada perusahaan harus pula dilakukan secara periodik untuk kasus kasus yang harus ditindaklanjuti oleh manajemen puncak. 

Demikian ikhtiar yang seyogianya dilakukan untuk bisa menjamin kehalalan produk pada manajemen rantai pasok halal, mulai dari sumber bahan sampai kepada produk akhir yang siap dikonsumsi/digunakan. Di era industri 4.0 yang dicirikan oleh teknologi informasi yang lebih canggih, manajemen rantai pasok halal yang akurat bukanlah suatu hal yang sulit untuk diterapkan. Insyaa Allah. (***)

Sumber foto: risknet.de

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.