Oleh: Dr. KH. M. Hamdan Rasyid, MA.
Dosen Universitas Islam Jakarta (UIJ)
Anggota Komisi Fatwa MUI
Makanan yang dikonsumsi sangat berpengaruh terhadap fisik (jasmani) dan psikis (rohani, kejiwaan) seseorang. Dari sisi biologis, makanan yang dikonsumsi merupakan sumber energi gerak, dan gizi untuk pengembangan maupun perbaikan sel-sel tubuh. Meski begitu, konsumsi makanan yang buruk akan berdampak buruk terhadap tubuh individu yang bersangkutan. Bisa menjadi penyakit atau bahkan terkena kanker, misalnya.
Dengan analogi ini, dalam tinjauan yang lebih mendalam dari sisi Diniyyah, secara keagamaan, makanan yang halal merupakan sumber energi yang positif dan gizi bagi sel-sel tubuh. Sehingga sel-sel anggota tubuh akan bergerak secara positif. Dalam konteks ini, berarti, insya Allah, membuat individu yang mengonsumsinya menjadi ringan dan mudah untuk beribadah. Juga mengarahkannya untuk berbuat taat kepada Allah. Sebaliknya, makanan yang haram menjadi sumber energi yang negatif. Hal ini berakibat menjadi berat untuk beribadah, dan sebaliknya cenderung mudah berbuat maksiat. Maka bisa kita dapatkan, orang yang memakan rezeki yang tidak halal, misalnya dari mencuri, atau korupsi, ibadahnya cenderung malas-malasan. Diajak untuk mengaji, sering enggan, dengan berbagai alasan, dst. Tubuhnya telah terkontaminasi dengan yang haram. Karena sumber energinya negatif, membuatnya cenderung kepada perbuatan yang negatif pula, yakni maksiat yang dilarang agama.
Dampak negatif ini bukan hanya kepada diri yang bersangkutan, tetapi juga meluas kepada anak-keluarga. Dapat kita perhatikan pula, orang yang korupsi, misalnya lagi, mengonsumsi makanan yang tidak halal (haram), maka anak-anaknya cenderung banyak yang terjerat dan kecanduan narkoba, umpamanya. Berperilaku hidup bebas (free sex), suka dugem, atau perbuatan maksiat lainnya yang diharamkan dalam agama. Hal ini telah diisyaratkan selaras dengan Hadits Nabi saw., “Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (HR. At-Thabrani). Juga Hadits Nabi saw., berupa wasiat beliau kepada shahabatnya, Ka’ab bin ‘Ujroh dengan makna: “Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya tidak tumbuh daging yang berasal dari makanan yang haram, kecuali neraka lebih berhak untuknya.” (HR. At-Turmudzi).
Dalam riwayat lain, Hadits Nabi saw. menyebutkan, orang yang mengonsumsi makanan-minuman tidak halal, niscaya tak akan diterima amal-ibadahnya. Hal ini dapat dipahami, karena Allah itu Maha Baik dan Suci, dan tidak akan menerima kecuali yang baik dan suci saja. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah saw.: “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rasul, maka Allah telah berfirman: Wahai para Rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dan Dia berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.’ Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhan, wahai Tuhan”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini akan dikabulkan do’anya.” [HR. Muslim no. 1015].
Lebih lanjut lagi, setiap kali orang berbuat maksiat, melanggar tuntunan agama, termasuk mengonsumsi makanan yang tidak halal, maka terjadi titik noda di hatinya. “Sesungguhnya seorang mukmin, jika ia melakukan dosa, di hatinya ada noktah hitam. Jika ia bertobat, dan meminta ampunan (istighfar), maka hatinya akan cemerlang kembali. Namun jika bertambah dosanya, maka bertambah pulalah noktah tersebut. Itulah yang disebut ‘ran’. Allah swt. berfirman, ‘sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’ (QS. al-Muthaffifin, 83: 14).” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah).
Kalau sering dan banyak berbuat dosa, maka titik noda di hatinya juga akan bertambah banyak. Sehingga hati pun bisa menjadi hitam, keras, bahkan lebih keras dari batu. Sehingga tidak dapat lagi menerima cahaya kebenaran agama hal ini telah pula diisyaratkan dalam ayat. “Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” [QS. al-Baqarah/2:74].
Memang, hati bisa mengkilap, bersinar. Namun bisa juga yang sebaliknya, menjadi hitam kelam sebagaimana diterangkan dalam beberapa hadits Nabi saw. Oleh karena itu, sebisa mungkin seorang Muslim harus memperhatikan kondisi hatinya setiap saat, jangan sampai menjadi hati yang keras atau mulai mengeras sehingga nantinya akan menjadi keras dan sulit menerima kebenaran. Na’ûdzu billâhi min dzâlik. Dan dari paparan di atas, kondisi hati itu, berpangkal, di antaranya, dari makanan yang dikonsumsi.
Menghindarkan Diri dari Syubhat
Dengan panduan ini, jelas kita sebagai orang yang beriman harus memperhatikan dan meyakini, makanan yang dikonsumsi haruslah yang halal, dan menghindarkan diri dari yang meragukan, bersifat syubhat. Apalagi yang haram. Nabi saw. telah memberikan panduan dan teladan, bagaimana kita harus menghindarkan diri dari yang syubhat itu: Dalam riwayat hadits dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir dia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam hadits, Nabi saw. bersabda dengan bermakna: “Jadilah kamu orang yang wara’, niscaya kamu akan menjadi manusia yang paling beribadah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abil Iman dari Abi Hurairah nomor 5750, dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah 4217).
Wara’ itu sendiri artinya menghindarkan diri dari segala hal yang syubhat (samar, antara yang halal dan yang haram) dan mengoreksi diri sendiri (muhasabatun nafsi) setiap saat. Demikian menurut Yunus bin Ubaid seperti dikutip Syeikh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Kitab Madarijus Salikin. Dari sini dapat dipahami, yang syubhat saja harus dihindarkan. Apalagi yang haram.
Contoh teladan yang sangat jelas bisa pula kita ketahui, bagaimana Rasulullah saw. begitu berhati-hati dan menjauhkan dirinya dari segala sesuatu yang dikhawatirkan berasal dari perkara yang syubhat. Diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abdullah bin ‘Umar menukilkan sebuah hadits dari Rasulullah saw. bahwa pada suatu malam Rasulullah saw. sulit tidur. Kemudian isteri beliau bertanya, “Apakah yang membuat Rasulullah saw. tidak bisa tidur?” Rasulullah saw. pun menjawab: “Sesungguhnya aku menemukan di bawah bahuku sebutir kurma, maka aku makan, sedangkan di sisi kami ada kurma-kurma dari kurma sedekah (zakat), maka aku takut jika kurma tersebut adalah kurma dari sedekah.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin ‘Umar).
Subhanallah, betapa teladan Rasulullah demikian luar biasa. Bahkan sebutir kurma pun harus dijaga dengan sikap wara’ yang sangat utama. Allahumma fasholli wa sallim alayka ya Rasulallah. Betapa kami sering lalai dalam aspek konsumsi ini. Maka beri kami kemampuan ya Allah, agar dapat meneladani jejak-langkahmu ya Nabiyallah.
Selain bagi dirinya sendiri, Beliau saw. juga berusaha menjauhkan cucunya dari makan sesuatu yang haram. Beliau melarang cucunya makan sekedar sebutir kurma yang berasal dari kurma sedekah –sementara sedekah diharamkan bagi keluarga beliau– dan memperingatkan sang cucu. Diceritakan pula oleh Abu Hurairah: Ketika Hasan (cucu Nabi saw.) masih kecil, ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah (zakat), lalu menjadikannya (masuk) ke dalam mulutnya, maka Nabi saw. memerintahkan: Kikh kikh. “muntahkan, muntahkan.” – agar membuangnya kemudian beliau bersabda–: “Apakah kau tidak merasa bahwa kami tidak makan sedekah.” (HR. Al-Bukhari dari Abi Hurairah).
Riwayat yang lain menyebutkan: Al-Hasan bin Ali menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah, lalu memakannya. Melihat hal tersebut kakek beliau yakni Rasulullah saw. segera mengeluarkan kurma itu dari mulut Al-Hasan dan membuangnya. Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah saw.: “Apa masalah wahai Rasulullah bila anak kecil ini memakan kurma tersebut?” Rasulullah saw. pun menjawab: “Sesungguh kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”
Dalam hal ini, perlu diketahui dan dikemukakan lagi, Nabi Muhammad saw., keluarganya dan keturunannya dilarang menerima sedekah dan zakat, tetapi boleh menerima hadiah.
Amalan dan praktek hidup yang demikian semestinya menjadi contoh bagi setiap muslim, kita semua, yang menginginkan keselamatan dan kebaikan dunia wal akhirah, bagi diri kita, anak-anak dan keluarga semua. Semoga. (USM)