Oleh: Prof. Khaswar Syamsu, Ph.D
Guru Besar Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB University
Kepala Pusat Kajian Sains Halal IPB University
Ada beberapa pendapat ulama fiqih dalam menyikapi keterlibatan unsur babi dalam proses produksi makanan, minuman, obat obatan dan kosmetika. Pendapat yang paling ringan adalah istihalah dimana perubahan unsur babi menjadi produk lain menghilangkan keharamannya. Pendapat ini misalnya menghalalkan kapsul yang terbuat dari gelatin babi.
Pendapat kedua yang juga relatif ringan adalah istikhlak dimana tercampurnya bahan dari unsur babi dalam air dalam jumlah banyak hingga hilangnya bau, warna dan rasa bahan haram dan najis tersebut menghilangkan status keharaman campuran tersebut. Pendapat ini menghalalkan produk yang menggunakan unsur babi sepanjang tidak terdeteksi pada produk akhir.
Pendapat ketiga adalah ikhtilath yaitu pencampuran antara bahan yang haram dan najis dengan yang halal. Dalam hal ini statusnya berbeda antara pencampuran suatu benda padat yang dapat dipisahkan bahan haram dan najisnya, dengan pencampuran dalam benda cair yang tidak dapat dipisahkan bahan haram dan najisnya.
Dalam konteks keterlibatan unsur babi dalam media cair untuk produksi vaksin maka keseluruhan media cair tersebut menjadi haram walaupun tidak terdeteksi pada produk akhir. Pendapat keempat adalah intifa’ yaitu haramnya pemanfaatan atau penggunaan babi dan turunannya dalam pembuatan makanan, minuman, obat obatan dan kosmetika.
(Baca juga: Ada Apa dengan Tripsin?)
Majelis Ulama Indonesia yang tidak hanya memayungi satu organisasi masa Islam, tetapi memayungi semua organisasi masa Islam di Indonesia, dan dengan prinsip penuh kehati-hatian dan kebijaksanaan mengambil pendapat yang paling ketat di antara pendapat-pendapat fiqih tersebut.
Komisi Fatwa MUI mengharamkan keterlibatan unsur dari babi dalam produksi makanan, minuman, obat obatan dan kosmetika berdasarkan kaidah ikhtilat dan intifa’ walapun tidak terdeteksi pada produk akhir.
Berdasarkan fatwa MUI tersebut maka LPPOM MUI menerjemahkan menjadi Standar Halal dalam Sistem Jaminan Halal (HAS23000) dimana salah satu kriteria dari 11 kriteria Sistem Jaminan Halal adalah Kemampuan Telusur (Traceability). Produk yang difatwakan sebagai produk halal adalah produk yang dalam proses pembuatannya dapat ditelusuri dan dibuktikan semua bahan yang digunakan adalah halal dan didukung oleh dokumen pendukung halal yang valid, serta diproduksi pada fasilitas yang bebas dari bahan haram dan najis.
Lebih dari itu, salah satu kriteria dalam Sistem Jaminan Halal, yaitu Kriteria Fasilitas tidak membolehkan fasilitas yang kontak langsung dengan bahan dan produk, dipakai bersamaan (sharing facility) untuk memproduksi produk halal dengan produk lain yang mengandung bahan babi atau turunannya. Bagi industri vaksin, proses penggantian bahan dalam pembuatan vaksin tidak mudah. Karena itu, bagi industri vaksin, khususnya vaksin dalam negeri yang sedang dikembangkan, idealnya mempertimbangkan kehalalan bahan bahan yang digunakan sejak awal proses penelitian dan pengembangan vaksin sehingga tidak menimbulkan masalah kehalalan di belakang hari.
Walapun Komisi Fatwa MUI memfatwakan haram terhadap vaksin COVID-19 merek tertentu (fatwa produk) namun MUI membolehkan pemakaian vaksin tersebut (fatwa penggunaan) dengan alasan kebutuhan yang mendesak dan darurat yang dapat berisiko fatal apabila tidak dilakukan vaksinasi.
Kedaruratan terjadi karena ketersediaan vaksin halal yang ada tidak mencukupi kebutuhan untuk pelaksanaan vaksinasi COVID-19. Hal ini juga sesuai dengan surat Al-Baqarah ayat 173 terkait kebolehan mengkonsumsi yang haram dalam kondisi darurat secara syar’i. Dengan demikian walaupun produknya difatwakan haram oleh MUI, namun vaksin COVID-19 tersebut difatwakan boleh digunakan oleh MUI dengan alasan darurat. (***)