Oleh: Prof. Dr. H. Ahmad Satori Ismail

Ketum IKADI, Anggota KF MUI

Dari sisi lughowi, ungkapan kata “Islam” berasal dari bahasa Arab: al-isl?m, artinya “berserah diri (kepada Allah)”. Merupakan agama yang mengimani hanya satu Tuhan dalam pengertian yang hakiki, yaitu Allah: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, (Tuhan) Yang Maha Esa.” (QS. Al-Ikhlaash, 112: 1). Keesaan Allah ini juga ditegaskan dalam firman-Nya yang bermakna: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thohaa, 20: 14). Hal ini perlu ditekankan dan ditegaskan, karena ada juga ajaran (agama lain) yang menyatakan (mengaku) bertuhan satu/esa, tetapi dengan beberapa perwujudan (personifikasi).

Selain itu, secara harfiyah “Islam” juga berarti damai, selamat, tunduk, dan bersih. Akar kata “Islam” itu sendiri terbentuk dari tiga huruf, yaitu S (sin), L (lam), M (mim); kemudian menjadi kata aslama, dan bentuk mashdar (infinitif)-nya Salamah, bermakna dasar “damai dan/atau selamat”. Kosakata ini juga telah diadopsi dalam bahasa Indonesia menjadi kata “selamat”.

Dengan pengertian secara bahasa ini, dapat dipahami, Islam adalah agama yang membawa kedamaian dan keselamatan hidup hakiki, di dunia yang sementara ini, dan di akhirat yang abadi sesaat lagi (alam kehidupan setelah kematian). Dengan pengertian dasar ini, Islam juga mengajarkan umat atau pemeluknya, kaum Muslimin, untuk menebarkan kedamaian dan keselamatan. Dalam implementasinya, hal ini diwujudkan secara nyata, diantaranya, dalam bacaan sebagai penutup shalat –ibadah yang utama– yakni ucapan doa keselamatan, juga doa ketika bertemu sesama, sebagai manifestasi kedamaian dan harmoni sosial: “Assalamu’alaikum warohmatullah wabarokatuh”. Yang artinya: semoga keselamatan, kasih sayang dan keberkahan Allah dilimpahkan kepadamu.

Mengucapkan Salam

Dalam hadits Nabi saw. disebutkan, “Hak muslim pada muslim yang lain ada enam.” Lalu ada yang menanyakan, “Apa saja keenam hal itu?” Lantas beliau saw. bersabda, “(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam padanya, (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya, (3) Apabila engkau dimintai nasehat, berilah nasehat padanya, (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’), (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia, dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR. Muslim).

Bahkan Imam Bukhari dalam kitab shohihnya Bab ‘Mengucapkan salam kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal’, menyebutkan Hadits Nabi saw. dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwasanya ada seseorang yang bertanya pada Nabi saw.: “Amalan Islam apa yang paling baik?” Beliau saw. lantas menjawab, “Memberi makan (kepada orang yang butuh) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenali dan kepada orang yang tidak engkau kenali.” (HR. Bukhari).

Selain memberi salam, juga dianjurkan untuk berjabat-tangan, sebagaimana disebutkan dalam Hadits Nab gtrfei saw. dari Al-Bara’ bin ‘Azib, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah dua muslim itu bertemu lantas berjabat tangan melainkan akan diampuni dosa di antara keduanya sebelum berpisah.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).

Berjabat-tangan dalam interaksi sosial itu bukan sekedar menunjukkan keakraban hubungan antar individu, tetapi juga merupakan manifestasi dari harmoni hubungan sosial yang sangat indah.

Dalam Al-Qur’an, Islam disebut juga Agama Allah atau Dienullah, sebagaimana disebutkan dalam ayat yang bermakna: “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri (aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran, 3: 83). Dien (agama) itu sendiri dalam Al-Qur’an artinya agama (QS. 3:83), ketaatan (QS. 16:52), dan ibadah (QS. 40:65).

Pengertian Islam, ajaran yang secara hakiki bisa menyelamatkan umat manusia dari kegelapan menuju terang-benderang keselamatan dunia hingga masuk surga yang abadi di akhirat nanti: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl, 16: 97).

Hal ini dibuktikan dengan tuntunan Islam yang menghalalkan segala yang baik-baik, dan mengharamkan semua yang buruk. Karena yang baik, niscaya menyelamatkan; sedangkan yang buruk, pasti mencelakakan. Perhatikanlah Allah berfirman dengan makna, “…dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik-baik, dan mengharamkan bagi mereka semua yang buruk…” (QS. Al-A’raaf, 7: 157).

Lebih lanjut lagi, mengkonsumsi pangan yang halal dan thoyyib atau baik itu sangat menentukan dengan dampak dunia dan akhirat. Terutama agar amal-ibadah yang dilakukan dapat diterima Allah. Sebaliknya, kalau konsumsi tidak halal, atau tegasnya yang haram, maka amal ibadahnya akan ditolak. Ada orang yang bersungguh-sungguh ibadah dan berdoa kepada Allah, namun ditolak. Ada yang berinfak-shodaqoh, mengeluarkan zakat, tidak diterima oleh Allah. Ada pula yang yang mengerjakan ibadah haji, namun tidak mendapat Haji yang Mabrur, bahkan menjadi Haji yang Mardud. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah: “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik (halal).” [HR. Muslim].

Hal ini lebih ditegaskan dalam sebuah hadits Nabi saw. yang terkenal, dan tercantum dalam Kitab Hadits Al-Arba’in an-Nawawiyah, dengan makna: “Nabi saw. menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan badannya lusuh penuh debu. Sambil menengadahkan tangan ke langit ia berdoa, “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia selalu bergelut dan dikenyangkan dengan yang haram. (Maka Nabi saw. pun menegaskan), lantas bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya.” (HR. Imam Muslim).

Kriminal Akibat Konsumsi Nonhalal

Jelas, dampak dan bahaya mengkonsumsi pangan yang tidak halal itu sangat banyak, dan tidak bisa dianggap main-main. Masalahnya sangat serius. Dapat kita lihat, misalnya, perilaku kriminal bertindak sangat sadis, karena banyak dari pelaku kejahatan itu sebelum beraksi biasanya terlebih dahulu meminum minuman keras yang tidak halal. Tegasnya, diharamkan dalam Islam. Akibatnya, kesadaran nalar dan perasaannya jadi hilang. Sehingga tak sungkan lagi berbuat sangat kejam dan sadistis terhadap korbannya.

Orang yang terganggu akal pikirannya yang sehat, niscaya tidak dapat berpikir secara normal, tidak dapat melakukan pertimbangan yang baik. Banyak pelaku kriminal, sebelum melakukan tindak kejahatan, terlebih dahulu mengkonsumsi khamar atau miras yang jelas tidak halal. Terbukti juga, sangat banyak kasus perbuatan asusila maupun tindak kejahatan dan perbuatan kriminal dilakukan, karena pelakunya dalam keadaan mabuk, karena pengaruh khamar, atau minuman keras (miras). Seperti pencurian, perampokan, pelecehan seksual, bahkan juga pemerkosaan sampai pada pembunuhan yang sangat keji dan sadis. Sehingga bisa dikatakan, mengkonsumsi khamar atau miras yang diharamkan agama itu, sebagai pangkal dari berbagai tindak kriminal. Bahkan di Eropa maupun Amerika telah ada peraturan perundang-undangan yang menyebutkan, orang yang mengemudikan kendaraan dalam pengaruh miras dianggap sebagai melakukan tindak kriminal yang dapat dituntut pidana secara hukum.

Begitu pula banyak anak-anak pelajar melakukan tawuran juga berbuat sadis, sampai menganiaya bahkan membunuh temannya sesama pelajar. Dalam pemeriksaan oleh aparat berwenang, terbukti sebelum tawuran mereka terlebih dahulu meminum miras. Atau bahkan sangat boleh jadi, anak-pelajar itu berbuat tawuran demikian rupa karena banyak mengkonsumsi makanan yang tidak halal. Yaitu dari rizki keluarga yang diberikan orang tuanya yang diperoleh dengan cara tidak halal seperti dari mencuri, korupsi, manipulasi, dll., yang telah disebutkan tadi. Hadits Nabi saw. telah mengisyaratkan hal ini dengan tegas: “Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (HR. At-Thabrani).

Hal ini telah pula ditegaskan dalam Hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi Saw. bersabda: “Khamr itu adalah induk dari segala kejahatan, barangsiapa meminumnya, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari, apabila ia mati sementara ada khamr di dalam perutnya, maka ia mati sebagaimana matinya orang Jahiliyyah.” (HR. ath-Thabrani). Bahkan ada satu riwayat menyebutkan, karena khamar seorang ‘abid sampai berbuat zina dan membunuh.

Sebagaimana diriwayatkan dari Utsman bin ‘Affan, ia menyatakan, “Jauhilah khamar (minuman keras), karena khamar itu merupakan induk segala keburukan (biang kerusakan). ‘Utsman lalu bercerita, dahulu ada seorang ‘abid (ahli ibadah) yang biasa pergi ke masjid di antara orang-orang sebelum kalian dan ia disukai oleh seorang pelacur. Pelacur tersebut mengutus pembantunya untuk menyampaikan pesan, “Kami mengundang engkau untuk suatu kesaksian.” Ahli ibadah itu pun pergi bersama pembantu tersebut. Ketika dia sudah sampai dan masuk ke rumah sang pelacur, segera pelacur itu menutup rapat semua pintu rumahnya, dan tak ada orang lain. Mata sang abid tertuju ke sosok seorang wanita yang amat cantik (berpenampilan seksi dengan pakaian yang menantang) sambil membawa secawan khamar dan di dekatnya ada bayi yang masih kecil. Wanita tersebut berkata, “Demi Allah, aku tidak mengundangmu untuk sebuah kesaksian, tapi aku mengundangmu agar engkau bercinta denganku, atau engkau ikut minum khamar barang segelas bersamaku, atau engkau harus membunuh bayi ini.” (Kalau engkau menolaknya, maka aku akan menjerit dan berteriak, ‘ada orang memasuki rumahku.’). Akhirnya sang ahli ibadah bertekuk lutut dan dia berkata, “Zina, saya tidak mau. Membunuh juga tidak.” Lalu ia memilih untuk meminum khamar (karena dianggapnya dosanya lebih ringan). Diminumnya seteguk demi seteguk hingga akhirnya ia mabuk. Dan setelah mabuk hilanglah akal sehatnya yang pada akhirnya ia berzina dengan pelacur tersebut dan juga membunuh bayi itu. Lantas ‘Utsman pun berkata, Karena itu jauhilah khamar (miras), karena demi Allah, sesungguhnya iman tidak dapat menyatu dengan khamar dalam dada seseorang, melainkan harus keluar salah satunya. (HR. An-Nasa’i, Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Jelas, dari hadits Nabi saw. itu dapat dipahami, orang yang mengkonsumsi makanan yang tidak halal, maka berdampak sulit diajak taat, ibadah kepada Allah. Sebaliknya, sangat mudah berbuat maksiat, dosa yang dilarang agama. Sehingga berakibat di siksa di neraka.

Harus Benar-Benar Berserah Diri, Tunduk Patuh kepada Allah

Memang diakui, ada kesenjangan antara ajaran Islam yang ideal dari Allah dan pasti menyelamatkan hidup manusia, dengan umat Islam yang memeluk agama yang mulia ini. Maka seharusnya, orang yang mengaku beragama Islam itu benar-benar menyerahkan diri, tunduk patuh kepada Allah dan mengamalkan ajaran Islam dengan penuh kesungguhan. Bukan sekedar pengakuan saja, yang populer disebut Islam KTP.

Maka, kalau ada orang Islam namun (sering) berbuat maksiat, bahkan melakukan korupsi atau perbuatan dosa lainnya, berarti dia kurang atau bahkan tidak memahami inti dari makna ungkapan kata “Islam” itu sendiri, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Yakni, diantaranya, Islam bermakna damai dan selamat. Maka semestinya orang yang mengaku beragama Islam tentu harus mengamalkan ajaran agama ini dengan penuh kesungguhan. Di antaranya, berbuat yang menyejukkan, membawa kedamaian dan keselamatan bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat dan lingkungannya. Sehingga dengan demikian dapat terbentuk kehidupan sosial yang damai, penuh harmoni. Semoga. (USM)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.