Diasuh oleh: Dr. KH. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat); dan Drs. H. Sholahudin Al-Aiyubi, M.Si. (Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat).

Konon, menurut anggapan dari sebagian orang bahwa semut Jepang memiliki manfaat untuk mengobati penyakit, seperti asam urat, kolesterol. Bahkan juga mengobati dan meringankan penyakit jantung. Mengonsumsinya, diantaranya dengan cara memasukkan semut jepang itu ke dalam cangkang kapsul, lalu ditelan. Sehingga karenanya, semut Jepang itu banyak dicari orang, dan banyak pula orang yang membudi-dayakannya.

Lantas, bagaimana hukum mengonsumsi semut Jepang itu dan membudidayakannya? Berikut penjelasannya.

Berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, dalam memahami hukumnya terdapat dua pendapat:

Pertama, haram memakan semut Jepang untuk obat, kecuali dalam kondisi darurat.

Dalam kitab-kitab Fiqh, serangga itu disebut Hasyarat. Binatang ini ada yang darahnya mengalir (Laha damun sailun), dan ada pula yang darahnya tidak mengalir (Laisa laha damun sailun). Menurut Fuqoha (para ahli Fiqh), serangga yang darahnya mengalir, bangkainya adalah najis; sedangkan yang darahnya tidak mengalir, bangkainya dinyatakan suci.

Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, serangga itu hukumnya haram. Sebab ia termasuk Khabaits (hewan yang menjijikkan), sejalan dengan kandungan ayat yang artinya:

Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik, dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS. 7:157). Maka hukum memakan semut Jepang untuk obat dan lainnya adalah haram, walau ia jenis serangga kecil yang “tidak berdarah mengalir” ketika terpotong organnya. Karena dipandang termasuk dalam kategori khabaits yang diharamkan.

Ayat tersebut merupakan dalil yang sharih dan qath’i (tegas dan pasti), bahwa hukum khabaits adalah haram. Adapun khabaits adalah segala sesuatu yang merusak, najis dan atau menjijikkan, seperti; khamar, bangkai, darah, dan babi sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Qur’an. Demikian pula bisa dikategorikan khabaits adalah seluruh binatang yang dilarang untuk dimakan berdasarkan hadits Nabi saw. seperti binatang buas yang bertaring, dan jenis unggas yang bercengkeram kuat.

Dalam ranah ijtihad, seluruh jenis hasyarat (serangga) termasuk Semut Jepang dikategorikan khabaits yang berarti haram dimakan untuk obat dan lainnya, kecuali belalang yang halal bangkainya berdasarkan hadits Nabi saw. Inilah pandangan ulama’ madzhab Hanafiy, dan madzhab Syafi’iy. Dan ketika semut Jepang dihukumi haram untuk dimakan untuk obat dan lainnya, tentu sama dengan memakan bangkai yang hukumnya haram sebagaimana QS. Al-Maidah: 3.

Secara khusus berobat dengan benda haram hukumnya haram. Dalam hadits riwayat Abu Dawud: Dari Abi Darda’, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan obat untuk setiap penyakit, oleh karena itu berobatlah, dan janganlah berobat dengan benda haram”. (HR. Abu Dawud)

Namun kalau dalam kondisi darurat, benda-benda yang haram dimakan termasuk untuk obat, bisa menjadi halal. Demikian pula semut Jepang yang mustinya haram, kalau untuk obat sebagaimana pendapat di atas, bisa menjadi halal ketika tidak diperoleh obat lain yang halal, sedangkan obat menjadi keperluan mendesak. Namun kadar diperbolehkan memakannya hanya sebatas kewajaran tanpa berlebihan. Siapa pun dalam keadaan darurat, sedangkan ia (semestinya) tidak menginginkannya, dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 2: 173).

Kedua, halal memakan semut Jepang untuk obat, walau tidak dalam kondisi darurat.

Namun Imam madzhab yang lain, menetapkan hukum yang berbeda, karena landasan dan tinjauannya masing-masing. Berkenaan dengan hal ini layak kita perhatikan petunjuk Al-Quran: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya.” (QS. 5: 88). Juga makna ayat: “…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (Q.S. 7: 157).

Dengan pemahaman ini, ada kaidah Fiqh yang menyatakan: “Al-ashlu fil-manafi’ al-ibahah”. Artinya: Hukum asal segala yang bermanfaat itu adalah mubah/boleh atau halal.

Selain itu, ada pula pendapat ulama yang memandang dan meng-qiyashkan (menganalogikan), serangga ini termasuk jenis belalang. Dan para Fuqoha telah sepakat bahwa belalang hukumnya halal berdasarkan ketetapan dari Hadits Nabi saw. Bahkan bangkainya pun boleh dimakan.

Dari sini, maka semut Jepang dan jenis serangga kecil lainnya adalah halal dimakan untuk obat dan lainnya, dan tidak bisa dikategorikan khabaits yang hukumnya haram. Semut Jepang khususnya bisa dipandang sama dengan belalang yang halal bangkainya berdasarkan hadits Nabi saw. Yakni, sama-sama merupakan jenis serangga yang “tidak berdarah mengalir” ketika terpotong organnya. Ini persepektif ijtihad menurut ulama madzhab Malikiy, dan madzhab Hanbaliy.

Adapun Imam Malik, Ibn Abi Layla dan Auza’i berpendapat, serangga itu halal selama tidak membahayakan. Pada sisi lain, jenis serangga seperti semut Jepang bisa disamakan dengan lalat yang bisa difahami suci bangkainya berdasarkan perintah Nabi saw. untuk membenamkankan lalat yang jatuh ke dalam bejana berair atau minuman sebagaimana dalam hadits Nabi saw. Hadits ini bisa untuk difahami, bahwa perintah membenamkan lalat yang mengakibatkannya mati dan berarti menjadi bangkai itu tetap suci karena seandainya bangkai lalat itu najis, tentu beliau tidak menyuruh untuk membenamkannya.

Adapun hadits mengenai kehalalan bangkai belalang, dan kesimpulan mengenai kesucian lalat sebagaimana dimaksud di atas, antara lain: Dari Abdullah ibn Umar, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Dihalalkan bagi kita dua bangkai; ikan dan belalang”. (HR. Ibnu Majah).

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Apabila lalat jatuh ke dalam bejana (berair) di antara kamu, maka hendaklah ia membenamkan seluruh organnya, kemudian hendaklah ia membuangnya karena sesungguhnya pada satu sayapnya terdapat obat, sedangkan pada sayap yang lain terdapat penyakit”. (HR. Bukhari).

Dengan demikian, maka: kedua pendapat di atas sama-sama didasarkan pada nash dengan perbedaan sudut pandang yang berakibat pada perbedaan pendapat yang sama-sama kuat. Sehingga, kiranya sulit dinyatakan pendapat manakah yang lebih unggul di antara keduanya.

Kiranya cukup alasan, bila dipilih pendapat yang menyatakan semut Jepang suci dan bangkainya halal dimakan untuk obat dan lainnya dengan dilandasi beberapa argumen, antara lain: 1) semut Jepang bukanlah jenis serangga yang menjijikkan; 2) memakan semut Jepang tidak mengakibatkan bahaya; 3) memakan semut Jepang membawa manfaat, seperti untuk menambah stamina badan, mengobati penyakit, dan sebagainya.

Selanjutnya, yang perlu dicermati juga adalah penggunaan cangkang kapsul. Tentu harus pula dengan yang halal. Kalau tidak halal, maka produknya pun menjadi tidak halal pula.

Selain itu, tentang aspek bahaya dan/atau manfaat ini dari konsumsi produk Semut Jepang itu harus didasarkan pada bukti hasil penelitian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Bukan berdasarkan katanya-katanya, yang tidak jelas sumbernya. Perhatikanlah makna ayat yang mengingatkan kita: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. 16:43). Dan makna ayat seperti ini diulang lagi di surat Al-Anbiyaa’ (21) ayat: 7). Ini menunjukkan tentang pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan kita.

Oleh karena itu, secara sederhana kita patut mengingatkan dan menyarankan, agar mengonsumsi produk, atau bahan makanan, supplemen, termasuk juga obat yang telah jelas kehalalannya. Jangan berbuat yang menyerempet-nyerempet resiko bahaya, atau neko-neko, yang tidak jelas atau dianggap meragukan status kehalalannya. Karena mengonsumsi yang halal itu merupakan perintah agama yang harus/wajib diikuti.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.