Diasuh oleh:

Dr. KH. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat)

Drs. H. Sholahudin Al-Aiyubi, M.Si. (Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat)

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb. 

Ada keluarga teman kami yang lama terkena  dan menderita penyakit HIV AIDS. Mereka sudah berusaha mengobatinya kemana-mana, namun belum sembuh juga. Karena memang sampai sejauh ini, konon belum ada obat AIDS yang terbukti manjur. Baru-baru ini ada informasi yang menyarankan untuk mengobati penyakit itu dengan memakan Tokek. Banyak orang percaya kalau Tokek itu bisa menyembuhkan atau minimal mengurangi perkembangan penyakit yang sangat kronis tersebut.

Maka dengan ini saya meminta penjelasan, bagaimana hukum memakan Tokek itu? Atas jawaban dan penjelasanny, saya mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Wal-hamdulillahi robbil ‘alamin.

Wassalamualaikum wr. wb.

Joni, Jakarta

Jawaban:

Menurut kaidah Fiqhiyyah, status hukum mengkonsumsi Tokek itu termasuk masalah Khilafiyah. Para ulama berbeda pendapat. Ada ulama yang menghalalkan, namun ada pula yang mengharamkannya. Bagi yang menghalalkannya, mereka mengemukakan argumen bahwa segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah maupun Rasul-Nya itu sudah dijelaskan semuanya di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Dan selebihnya dari itu masuk dalam pengertian bahwa semua yang diciptakan Allah adalah untuk kepentingan dan kemanfaatan manusia. Allah telah berfirman tentang hal ini dalam ayat yang artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semuanya…” (QS. 2: 29). Jadi sepanjang tidak ada dalil yang melarang, maka hukumnya boleh atau halal.

Tapi ada pula ulama yang menyatakan, Tokek itu tidak boleh dikonsumsi. Mereka beralasan, binatang ini termasuk kelompok “Khobaits”, yang menjijikkan atau kotor. Juga apakah ia termasuk binatang yang bertaring, dan memangsa. Sebab, kalau bertaring, maka ia termasuk hewan yang dilarang untuk dikonsumsi. Berkenaan dengan pertanyaan ini, maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut oleh para ahli/ilmuwan bidang kehewanan. 

Meskipun demikian, setiap ungkapan di dalam Al-Qur’an yang bersifat umum, pasti selalu ada pembatasnya. Nah, binatang ini apakah termasuk kategori yang dibatasi itu ataukah tidak. Seperti karena khobaits, mengandung bahaya, dll. Dan itu perlu kajian lebih lanjut. Selain itu, kehalalan hewan itu juga dapat ditinjau dari sisi “Thobi’ah As-Salimah”. Yaitu secara naluri manusia yang baik, apakah dapat menerima untuk mengkonsumsi binatang seperti Tokek itu, ataukah tidak. Memang, kategori “Khobaits” atau menjijikkan itu bersifat subjektif dan sangat relatif. Karena menjijikkan bagi seseorang, mungkin tidak bagi yang lain. Maka, untuk mengukur atau sebagai parameter “Khobaits” itu, menurut Imam Abu Hanifah, adalah hewan yang lazim dikonsumsi oleh para bangsawan Arab. Jadi kalau kaum bangsawan Arab itu tidak mau mengkonsumsinya, maka itu dianggap termasuk “Khobaits”.

Sedangkan penggunaan atau memakannya untuk obat, pertama harus dipahami sebagai kasus yang bersifat individual. Yang bersangkutan benar-benar telah berusaha mencari dan menggunakan obat yang memungkinkan, namun ternyata belum juga berhasil. Dikhawatirkan penyakitnya akan menjadi lebih parah, sehingga menggunakan atau mengkonsumsi Tokek sebagai obat. Maka itu bisa disebut sebagai kondisi “Dhorurot”, atau “Haajiyaat”, sangat dibutuhkan. Sesuai dengan kaidah Fiqhiyyah, “Adh-dhoruratu tubiihul-mahdzurot”.

Kondisi Dhorurot itu berlaku, kalau hal/obat yang halal benar-benar tidak dapat ditemukan. Pertanyaannya sekarang, apakah para ahli farmasi telah berusaha mencari, meneliti dan mengkaji bahan-bahan untuk obat yang akan digunakan benar-benar terjamin kehalalannya menurut kaidah syariah. Kalau belum, maka tentu menjadi kewajiban para ahli yang Muslim untuk melakukannya, guna memenuhi kebutuhan umat akan obat yang sangat penting ini. Dan kalaupun bersifat Dhorurot, maka kebolehan untuk mengkonsumsinya hanya bersifat sementara, sekedar buat obat. Tidak boleh menjadi konsumsi yang lazim, seperti dibuat-diolah jadi Sate Tokek dan dimakan harian.

Terkait dengan hal ini, perlu dipahami pula, ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama mengenai hukum berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan benda najis dan haram. Ada ulama yang mengharamkannya, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Disebutkan dalam hadits Rasulullah saw: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkankan Allah atasmu.” (HR. Bukhari dan Baihaqi). Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw bersabda pula, “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Dawud). Namun ada pula pendapat yang membolehkan sementara, penggunaan obat dari bahan yang haram. Tapi kebolehan ini terbatas hanya dalam keadaan darurat, seperti pendapat Yusuf Al-Qaradhawi. Sebagaimana telah pula dijelaskan di atas.

Bagaimanapun juga, secara sederhana, kita patut mengingatkan dan menyarankan, agar mengkonsumsi atau menggunakan obat yang telah jelas kehalalannya. Jangan berbuat yang menyerempet-nyerempet risiko bahaya, atau yang tidak jelas (dianggap meragukan) status kehalalannya. Karena mengkonsumsi yang halal itu merupakan perintah agama yang harus/wajib diikuti.

Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah bahwa aspek bahaya dan/atau manfaat ini harus didasarkan pada bukti hasil penelitian ilmiah kedokteran yang dapat dipertanggung-jawabkan secara medis-klinis. Bukan berdasarkan katanya-katanya, yang tidak jelas sumbernya. Perhatikanlah makna ayat yang mengingatkan kita: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. 16:43). Makna ayat seperti ini diulang lagi di surat Al-Anbiyaa’ (21) ayat: 7. Ini menunjukkan tentang pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan kita. (USM)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.