Diasuh oleh:

Dr. KH. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat)

Dr. KH. Abdul Halim Sholeh, M.A. (Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat)

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.

Agaknya karena habitatnya terganggu, maka banyak gajah merambah ke kebun rakyat dan memakan tanaman kebun pertanian. Sehingga oleh beberapa warga ada gajah yang diburu dan dibunuh. Nah, bangkainya kalau dibiarkan membusuk secara terbuka, tentu juga akan membahayakan lingkungan, sedangkan kalau dikubur juga sangat sulit. Oleh karena itu ada yang menyembelih gajah itu sebelum mati, atau ketika menembak buruannya dengan mengucapkan “Basmalah” lalu dagingnya dimanfaatkan untuk konsumsi.

Sejatinya kami bingung dan ragu dengan kondisi ini, apakah daging gajah itu halal untuk dikonsumsi? Maka saya pun mengajukan pertanyaan ini. Bagaimana sebenarnya hukum mengkonsumsi atau memakan daging gajah itu pa’ ustadz? Atas jawaban dan penjelasan yang diberikan, kami mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya.

Ali Husen, Jambi

Jawaban:

Pertama-tama, berkaitan dengan masalah ini, dalam ranah kenegaraan, perlu dikemukakan, ada ketentuan dan peraturan legal perundang-undangan yang merupakan hukum positif dan berlaku secara nasional. Menjadi acuan serta pedoman yang karenanya, harus diperhatikan sekaligus juga diimplementasikan bagi kita sebagai warganegara, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Yakni, bahwa menurut ketentuan hukum nasional, dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 7 Tahun 1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa, Gajah (Elephas indicus) termasuk jenis satwa yang dilindungi. Juga ditetapkan kawasan hutan lindung sebagai habitatnya. Bagi yang merambah hutan lindung dan mengganggu habitat satwa yang dikonservasi-dilindungi, termasuk di dalamnya adalah gajah, niscaya dikenakan sanksi hukum, sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan dalam telaah Fiqhiyyah, gajah termasuk hewan yang bertaring. Berdasarkan hadits, dari Abu Hurairah dari Nabi Saw bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan. [H.R. Imam Muslim no. 1933]. Hadits ini diriwayatkan secara Mutawatir, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125), dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/118-119).

Dalam hadits itu, disebutkan, yang dimaksud dengan “dziinaab” yakni semua binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk menghadapi lawannya. Dan semua hewan jenis itu haram dimakan”. [Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi].

Lebih lanjut lagi dijelaskan maksud bertaring ialah hewan yang menggunakan gigi taringnya untuk menerkam dan membunuh lawan/mangsanya (lihat Kitab An-Nihayah, Al-Majmu’). Di antara contoh yang disebut ulama bagi binatang-binatang jenis ini ialah; anjing, kucing, singa, harimau, serigala, gajah, kera dan seumpamanya (lihat; Nailul-Autar, As-Syaukani; 1/131. Al-Majmu’, an-Nawawi; 9/14. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah; Bab bahasan tentang “Ath’imah”).

Menurut Jumhur (kebanyakan) ulama Syafiiyah, gajah termasuk hewan yang tidak boleh dimakan. Meskipun gajah disembelih secara Islami, misalnya, namun dagingnya tetap tidak halal dimakan. Karena gajah termasuk hewan yang memiliki taring. Dan setiap hewan yang memiliki taring, maka ia tidak halal dimakan.

Dikatakan pula oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Wasith sebagai berikut: “Dasar ketiga (tentang bahan/makanan yang haram dimakan) adalah setiap hewan buas yang memiliki taring dan setiap burung yang memiliki cakar. Ini karena Rasulullah saw melarangnya. Dan, gajah hukumnya haram, karena ia memiliki taring”.

Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafii juga menyatakan sebagai berikut: “Tidak diperkenankan berwudhu’ dan minum dengan menggunakan tulang bangkai dan tulang hewan yang disembelih yang tidak boleh dimakan dagingnya, seperti tulang gajah, harimau dan sejenisnya. Sebab tulang hewan itu tidak dapat disucikan dengan dibasuh atau dengan proses penyamakan. Abdullah bin Dinar meriwayatkan bahwa dia pernah mendengar Abdullah bin Umar yang tidak suka berminyak dengan minyak dari tulang gajah karena hal itu adalah bangkai”.

Meskipun kebanyakan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa gajah hukumnya haram dimakan, namun sebagian ulama ada yang membolehkan (daging) gajah untuk dimakan, seperti Imam Asy-Sya’bi, Ibnu Syihab, dan Imam Malik. Ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ sebagai berikut: “Termasuk hewan yang haram dimakan adalah gajah. Gajah adalah haram menurut kami (ulama Syafiiyah), juga menurut Abu Hanifah, ulama Kufah, dan Imam Al-Hasan. Sementara Imam Asy-Sya’bi, Ibnu Syihab, dan Imam Malik membolehkannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab”, Juz 10 h. 27, yang ditulis oleh dua orang ulama besar, yakni: Al-Imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syarof asy-Syafii an-Nawawi dan al-Imam Taqiyuddin al-Subuki, terbitan Darul Hadits, Kairo, Mesir.

Menurut madzhab Maliki; hewan yang haram dimakan hanyalah yang disebut keharamannya secara Sharih di dalam Al-Quran (di antaranya di dalam surat al-An’am, ayat 145, an-Nahl ayat 115, dll). Yaitu: “bangkai, darah dan daging babi”. Sedangkan binatang yang tidak disebut dalam ayat-ayat ini, maka tidaklah haram memakannya. Adapun binatang yang bertaring tadi; Makruh memakannya karena dilarang oleh hadits Nabi saw. Jadi, menurut madzhab Maliki; larangan Nabi Saw dalam hadits tersebut adalah larangan yang bersifat makruh, bukan larangan haram (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah).

Wallahu a’lam bimurodih.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.