Pandemi corona virus disease 2019 (COVID-19) belum usai. Meski begitu, tak juga menyurutkan semangat masyarakat untuk terus berinovasi membuka peluang usaha. Salah satunya yang saat ini tengah menjamur adalah bisnis minuman kekinian. Mulai dari beragam minuman berbahan dasar susu hingga kopi, dari yang menimbulkan kenangan sampai memberikan janji.
Inovasi penambahan rhum menjadi salah satu dari sekian banyak rasa yang ternyata banyak memikat lidah masyarakat. Namun, benarkah minuman dengan penambahan rhum dapat disertifikasi halal?
Berangkat dari Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standardisasi Fatwa Halal. Terdapat empat poin dalam fatwa tersebut yang khusus menjelaskan penggunaan nama dan bahan. Pertama, produk tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
Kedua, produk tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada nama-nama benda/binatang yang diharamkan terutama babi dan khamr, kecuali yang telah mentradisi (‘urf) dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti nama bakso, bakmi, bakwan, bakpia dan bakpao.
Ketiga, produk tidak boleh menggunakan bahan campuran bagi komponen makanan/minuman yang menimbukan rasa/aroma (flavour) benda-benda atau binatang yang diharamkan, seperti mi instan rasa babi, bacon flavour, es kopi rasa rhum, dan sebagainya. Keempat, produk tidak boleh mengonsumsi makanan/minuman yang menggunakan nama-nama makanan/minuman yang diharamkan seperti whisky, brandy, beer, dll.
Pihak Majelis Ulama Indonesia dalam hal ini mengambil sikap tegas. Ketua Komisi Fatwa (KF) MUI periode 2015-2020, Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA., menekankan bahwa pihaknya tidak akan memproses sertifikasi halal untuk produk tasyabbuh atau menyerupai dengan produk yang diharamkan dalam Islam. Artinya, miras tersebut di atas, meskipun diklaim tanpa alkohol.
Sikap Komisi Fatwa tersebut, sebelumnya juga pernah ditegaskan ketika pada 2015 lalu, membahas pengajuan sertifikasi halal dari perusahaan produsen minuman. Namun karena produk yang dihasilkannya tasyabbuh dengan produk bir yang telah disepakati keharamannya oleh para ulama di MUI, maka pengajuan tersebut ditolak.
“Ada satu produk yang dari sisi bahan maupun proses produksi yang dipergunakan tidak ada masalah dalam aspek kehalalannya. Namun dalam telaah KF MUI, produk itu menyerupai minuman bir yang telah disepakati diharamkan dalam Islam, baik warna, rasa, aroma, bahkan juga kemasan botolnya. Kami tidak memproses sertifikasi halal yang diajukan perusahaan itu, walaupun kami juga tidak menyatakan produk tersebut haram. Karena memang tidak mempergunakan bahan yang haram,” tuturnya.
Aturan mengenai hal ini juga tercantum dalam Surat Keputusan Direktur Lembaga Pemeriksa Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPH LPPOM MUI) Nomor 46 Tahun 2014 tentang Ketentuan Penulisan Nama Produk dan Bentuk Produk.
Adapun SK Direktur LPH LPPOM MUI secara rinci menjelaskan bahwa nama produk yang tidak dapat disertifikasi meliputi nama produk yang mengandung nama minuman keras. Di kelompok ini, wine non-alkohol, sampanye, rootbeer, es krim rasa rhum raisin, dan bir 0% alkohol, pasti tak bisa lolos sertifikasi halal.
Selain itu, nama produk yang mengandung istilah hewan yang diharamkan (babi dan anjing) dan mengandung nama setan juga tidak dapat disertifikasi halal. Selain itu, ada juga Kriteria Sistem Jaminan Halal (SJH) yang menjadi panduan bagi seluruh auditor halal LPPOM MUI dalam melayani sertifikasi halal. Di dalam Kriteria SJH pada bagian “Produk”, ditegaskan bahwa karakteristik/profil sensori produk tidak boleh memiliki kecenderungan bau atau rasa yang mengarah kepada produk haram atau yang telah dinyatakan haram berdasarkan fatwa MUI.
“Ketentuan tersebut terdapat pengecualian, sehingga tidak berlaku untuk produk yang telah menjadi tradisi, atau dikenal secara luas dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan. Misalnya bir pletok, bakso, bakmi, bakwan, bakpia dan bakpao. Bentuk produk atau label kemasan yang sifatnya erotis, vulgar dan atau porno juga tak boleh diajukan sertifikasi halal,” terang Direktur Eksekutif LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si.
LPPOM MUI, sebagai salah satu LPH pertama di Indonesia yang ditetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), tidak akan meloloskan produk berbahan dasar/mempunyai profil sensori rhum tersebut. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa minuman kekinian yang menggunakan rhum atau perisa rhum tidak dapat diurus sertifikat halalnya ke BPJPH. Begitu pun dengan produk yang menggunakan penamaan rhum, sekalipun tidak menggunakannya, tetap tidak dapat disertifikasi halal.
Sebagai seorang muslim, alangkah baiknya kita lebih berhati-hati dengan selalu mengecek kehalalan produk yang akan dikonsumsi. Salah satu upaya termudah adalah memilih produk berlabel halal. Anda dapat mengecek produk halal melalui website www.halalmui.org atau aplikasi HalalMUI yang dapat diunduh di Playstore. (YN)