Seperti halnya minuman lainnya, bahan utama pembuatan softdrink adalah air. Meski tampaknya sederhana, air putih pun bisa berpotensi haram jika dalam proses penjernihannya melibatkan bahan karbon aktif yang tidak halal, misalnya tulang babi.

Untuk menghadirkan sensasi rasa dan aroma sesuai selera, dalam pembuatan softdrink juga diperlukan bahan-bahan lain. Bahan-bahan tersebut diperlukan untuk membuat minuman ringan terasa semakin enak, segar, dan tampil menarik.

Bahan-bahan tambahan yang terkandung dalam minuman ringan berkarbonasi antara lain gula yang menimbulkan rasa manis. Ada pula berbagai macam perisa, seperti rasa strawberry, anggur, cola, lemon, dan sebagainya. Kemudian, minuman ini juga dicampur dengan pewarna agar menyamai dengan sensasi rasa yang ditawarkan, misalnya warna kuning/orange untuk rasa jeruk, warna merah untuk rasa strawberry dan warna coklat untuk rasa cola.

Bahan lain yang sering ditemukan dalam minuman berkarbonasi adalah CO2, asam sitrat, natrium benzoat, dan pengawet. Begitu banyak bahan tambahan yang harus dimasukkan, sehingga konsumen muslim mesti berhati-hati, baik dari segi keamanannya maupun kehalalannya.

Auditor senior LPPOM MUI, Ir. Nur Wahid M.Si. menyatakan, bahan seperti gula, konsentrat buah, flavor, serta pengatur keasaman, dan pemanis buatan memiliki titik kritis keharaman yang perlu diwaspadai setiap konsumen muslim. Gula misalnya, walaupun berasal dari nabati, status kehalalannya bisa menjadi sumir, bisa halal atau haram. Dalam istilah fiqihnya disebut syubhat. Sumber bahan baku gula adalah tebu atau bit. Namun di dalam proses pengolahannya hasil ekstrak tebu atau bit yang halal tersebut bersinggungan dengan bahan tambahan lain yang mungkin tidak halal.

Hal ini lebih banyak terjadi pada gula yang mengalami proses pemutihan. Dalam dunia industri, gula jenis ini disebut gula rafinasi. Titik kritis keharaman dari gula rafinasi terletak pada proses refinery, yakni tahap proses yang menggunakan bahan tertentu dalam memutihkan gula tersebut.

Dalam air maupun gula, bahan yang dianggap bermasalah dalam proses pemutihan ini adalah penggunaan arang aktif. Dari aspek bahan, arang aktif bisa berasal dari tempurung kelapa, serbuk gergaji, batu bara, atau tulang hewan. Jika menggunakan bahan- bahan nabati, maka tentu tak perlu diragukan kehalalannya. Namun jika arang aktif tersebut berasal dari tulang babi, jelas gula atau air tersebut menjadi haram. Sedangkan jika arang aktifnya berasal dari sapi, maka harus dipastikan bahwa sapi tersebut disembelih secara syariah.

Jadi titik kritis keharamannya adalah tulang hewan. Sebab apa pun yang berasal dari hewan, kalau untuk dikonsumsi harus dipastikan berasal dari hewan halal dan disembelih sesuaisyar’i, tentu saja termasuk tulang di dalamnya.

Bahan lain yang harus dikritisi adalah adanya konsentrat. Konsentrat buah merupakan bahan tambahan untuk menambah rasa sehingga mirip atau sama dengan buah tertentu, misalnya jeruk, anggur, cola, maupun stratwberry. Sepintas, konsentrat buah ini memang tidak akan bermasalah bila dilihat status kehalalannya. Tetapi walaupun berasal dari buah, konsentrat pun bisa jadi menggunakan bahan penolong yang tidak jelas status kehalalannya.

Untuk membuat konsentrat buah agar tidak keruh, misalnya, diperlukan bahan penolong seperti enzim atau gelatin. Kalau berbicara enzim, maka yang harus dipastikan adalah sumber enzimnya, apakah berasal dari tumbuhan, hewani, atau mikrobial. Jika enzim tersebut diperoleh dari enzim yang diolah secara mikrobial, maka harus dipastikan menggunakan media yang bebas dari bahan haram dan najis.

Jika penjernih sirupnya menggunakan gelatin, maka harus dipastikan bahwa gelatin tersebut berasal dari sumber yang halal. Karena didalam dunia industri, bahan baku gelatin berasal dari tulang dan kulit hewan. Masalahnya, gelatin yang digunakan di Indonesia kebanyakan berasal dari luar negeri.

Gelatin halal amat terbatas. Karena seperti yang sudah dijelaskan di atas, setiap bahan yang berasal dari hewan, maka harus dipastikan berasal dari hewan halal dan disembelih secara Islami.

Selain ditambahkan konsentrat buah, rasa softdrink juga berasal dari perisa (flavor). Tanpa zat-zat tersebut, maka bisa dibayangkan betapa sulitnya produsen untuk memproduksi softdrink jika perasa buahnya berasal dari buah-buahan segar. Sebab, buah-buahan segar tidak selalu ada karena sifatnya yang musiman.

Faktor standar rasa juga bermasalah, jika menggunakan buah segar. Oleh karena itu, rasa buah menjadi standar jika produsen menggunakan perisa buah tertentu dengan takaran tertentu pula. Yang menjadi masalah, perisa buah yang dibuat secara industri kadang-kadang unsur buahnya tidak terdapat di dalam flavor tersebut. Bahkan perisa buah bisa berasal dari sintesa bahan-bahan kimia tertentu, yang harus dikritisi pula status kehalalannya.

Selain itu, pengatur keasaman juga bisa bermasalah dari aspek kehalalan. Salah satunya adalah asam sitrat. Karena asam sitrat merupakan produk mikrobial, sehingga diproses secara mikrobial pula. Produsen bahan ini harus menggunakan media pertumbuhan mikroba yang bebas dari bahan haram dan najis.

Bahan lain yang juga mengundang tanda tanya dari aspek kehalalan adalah pemanis buatan. Pemanis buatan yang bisa bermasalah adalah aspartam. Pemanis buatan ini terdiri dari dua asam amino yakni fenilalanin dan asam aspartat.

Karena biasanya dua asam amino ini juga diolah secara mikrobial, maka tentu harus memenuhi persyaratan halal produk mikrobial. Jadi, untuk menghindari mengonsumsi softdrink yang tidak jelas kehalalannya, maka konsumen sebaiknya mengonsumsi produk yang sudah bersertifikat halal MUI.

Hingga kini sejumlah merek minuman ringan bersoda telah memiliki sertifikat halal MUI. Sebut misalnya Coca Cola, Fanta dan Sprite yang diproduksi oleh the Coca Cola Company. Ada pula Big Cola dengan aneka rasa yang diproduksi oleh PT Aje Indonesia. Sementara PT Prima Cahaya Indo Beverage, dengan merek Pepsi, telah pula mengantongi sertifikat halal.

Jurnal Halal No. 109

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.