Jakarta – Kementerian Agama (Kemenag) akan memperbaiki aturan sertifikasi halal dalam Omnibus Law yang saat ini masih disiapkan. Menteri Agama Fachrul Razi, Selasa (21/1) mengatakan, dalam aturan baru nantinya proses sertifikasi akan berlangsung lebih singkat, yaitu 21 hari.
Direktur Audit Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Muti Arintawati menuturkan, proses sertifikasi halal bisa dilakukan secara cepat dan mudah, dengan catatan para pelaku usaha memahami proses produksi halal.
“Kalau kita menghitung proses itu dari sebelum dia melakukan pendaftaran hingga keluar sertifikat, itu artinya pada titik dia memasukan pendaftaran itu, si pelaku usaha harus dalam keadaan sudah paham terhadap proses persyaratan itu,” kata Muti kepada Minanews.net, Rabu (22/1) malam.
Ia menegaskan, kalau para pelaku usaha tidak benar-benar memahami proses sertifikasi halal, maka dalam proses audit akan ditemukan kekurangan yang harus diperbaiki. Sehingga proses sertifikasi halal akan semakin lama karena butuh waktu untuk memperbaikinya.
Maka, menurutnya, harus ada proses edukasi yang baik terhadap para pelaku usaha. Supaya mereka memahami persyaratan dan proses sertifikasi halal dengan baik. Sehingga dapat mempersingkat waktu proses sertifikasi halal.
“Sebab akan lebih mudah dan cepat proses sertifikasi halal kalau kehalalan bahan baku sudah terjamin, di sini sering terjadi pemasalahan,” ujarnya.
Muti mengatakan, jika para pelaku usaha telah memahami proses produksi halal, maka proses sertifikasi bisa berlangsung hanya dalam dua atau tiga pekan saja. Rata-rata LPPOM MUI melakukan proses sertifikasi halal 40 hari kerja. Jangka waktu paling lama hingga setahun.
Selama proses sertifikasi halal, LPPOM MUI melakukan penelusuran terhadap bahan-bahan baku yang digunakan setiap produk yang diajukan sertifikat halalnya. Semakin sedikit dan gampang bahan baku yang digunakan, maka akan semakin cepat sertifikat itu keluar.
“Tapi secepat-cepatnya tidak mungkin 1×24 jam atau 3×24 jam, tetap ada proses audit ke lokasi produksi. Selama ini memang kalau mau cepat, si pelaku usaha itu harus betul-betul sudah mengerti tentang halal, jadi bagaimana proses produksi halal itu harus paham betul,” katanya.
Ia kemudian membandingkan proses sertifikasi halal antara penjualan pisang goreng dan penjualan bakso. Penjual pisang goreng menggunakan pisang, tepung dan minyak goreng yang sudah dijamin kehalalnya karena bersertifikat, maka proses sertifikasi halalnya akan sangat cepat.
Sementara, penjual bakso yang menggunakan daging yang belum disertifikasi halal sebagai bahan baku, maka daging yang dijadikan bahan untuk membuat bakso itu harus ditelusuri kehalalannya. Juga harus dipastikan hewan tersebut disembelih dengan cara yang halal.
Selain itu, ia menambahkan, harus dipastikan tempat penggilingan dagingnya yang khusus melayani daging halal tanpa bercampur dengan daging yang tidak halal.
“Tentu akan lebih banyak memakan waktu kalau daging yang digunakan daging impor. Maka harus dipastikan hewan tersebut apakah disembelih dengan cara yang halal di luar negeri, ditelusuri apakah sudah ada sertifikat halal di negara asalnya,” ujarnya.
Selain persoalan daging impor, Muti juga menyoroti alur pendistribusian daging dalam negeri dari satu wilayah ke wilayah lain. Menurutnya, distribusi daging dalam negeri belum memiliki regulasi yang jelas.
“Masalah distribusi daging internal di Indonesia, masalah adanya daging celeng, itu yang harus diatur. Kalau ini saja enggak jelas, kita menelusuri kehalalan daging saja susah, maka tata niaga daging harus diatur ini kewenangan pemerintah,” katanya.