Familier dengan istilah root beer?

Minuman manis bersoda ini menggunakan pohon root beer Sassafras albidum (sassafras) atau tanaman merambat Smilax ornata (sarsaparilla) sebagai rasa utama. Root beer mungkin dapat mengandung alkohol atau tidak beralkohol, secara alamiah tanpa kafeina atau memiliki kafeina yang ditambahkan, dan dapat berkarbonasi atau non-karbonasi. 

Kebanyakan root beer memiliki bagian atas yang berbusa tebal ketika dituangkan. Saat ini, root beer yang diproduksi secara komersial umumnya memiliki rasa yang manis, berbusa, berkarbonasi, dan tidak mengandung alkohol. Meski bahan baku dan proses produksinya tidak bermasalah dengan kehalalannya, namun nyatanya Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan bahwa root beer tidak dapat disertifikasi halal.

Berdasarkan fatwa MUI tersebut, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) mengeluarkan Surat Keputusan Direktur LPPOM MUI Nomor 46 Tahun 2014 tentang Ketentuan Penulisan Nama Produk dan Bentuk Produk (SK46/Dir/LPPOM MUI/XII/14), serta ketentuan kriteria Sistem Jaminan Halal (SJH) yang menjadi panduan dalam melayani sertifikasi halal. 

SK Direktur LPPOM MUI tersebut secara rinci menjelaskan bahwa nama produk yang tidak dapat disertifikasi halal meliputi nama produk yang mengandung nama minuman keras. Di kelompok ini, wine non-alkohol, sampanye, root beer, es krim rasa rhum raisin, dan bir 0% alkohol, pasti tak bisa lolos sertifikasi halal. 

Kepala Bidang Auditing LPPOM MUI, Dr. Ir. Mulyorini R. Hilwan, M.Si, menjelaskan, mengacu pada sebelas kriteria SJH yang tertulis pada buku HAS23000,  disebutkan bahwa nama produk tidak boleh menggunakan nama yang mengarah pada sesuatu yang diharamkan atau ibadah yang tidak sesuai dengan syariah Islam.

(Baca juga Kriteria Bentuk dan Nama Produk Bersertifikat Halal)

Meski begitu, peluang root beer untuk disertifikasi halal masih ada, yakni dengan mengganti nama produk dengan nama yang tidak lagi mengandung kata beer. “Mengingat produk root beer tidak mengandung bahan haram (tapi tidak dapat dilakukan sertifikasi halal karena penggunaan namanya), maka penggunaan fasilitas produksinya boleh disatukan dengan produk yang bersertifikat halal,” papar Wakil Direktur LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si. (*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.