Oleh: Hendra Utama (Auditor Senior LPPOM MUI)

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, di depan sebuah toko roti yang belum berapa lama dibuka, berbaris antrean calon pembeli. Tujuannya hanya satu, hendak merasakan produk-produknya yang saat itu tengah menjadi tren.

Dari etalase kaca yang transparan, roti-roti dengan aneka varian terpajang cantik dengan aroma yang menggugah selera, seakan melambaikan tangan, mengajak masuk, lantas membujuk untuk menyentuh dan mencicipinya. Seperti kelaziman di banyak kejadian, antrean panjang itu mengundang rasa ingin tahu. Berjubelnya peminat itu bagaikan iklan gratis, dan benar saja, di hari-hari berikutnya bertambah-tambah calon pembeli yang mengantri.

Salah satu varian andalan toko tersebut adalah roti berlapiskan (topping) abon. Warna kuning keemasan yang melapisi bagian atas roti memang sangat menggiurkan. Sayangnya, abon itu yang dinilai bermasalah karena kemudian diisukan tidak halal. Di negeri asalnya, varian roti yang dijual oleh gerai bernama sama itu memang menggunakan abon babi. 

Dan, lagi-lagi karena halal adalah isu sensitif di Indonesia, Anda sudah bisa menduga lanjutannya, orang sempat berhenti membeli roti di gerai tersebut. Walaupun akhirnya tak terbukti, bagaimana pun abon memang salah satu produk yang kritis dari sisi ketidakhalalan.

Dalam dunia pangan dan olahannya, abon merupakan salah satu produk yang memiliki banyak penggemar. Ketika tak ada lauk di rumah, maka produk ini menjadi salah satu pilihan pelengkap makan nasi. Ada juga pengusaha penganan yang memasukkan abon sebagai isian seperti lemper dan bakpao. Jenis makanan yang satu ini juga sering menjadi taburan di atas permukaan bubur ayam atau mie ayam. Atau, seperti yang disinggung di awal tulisan, abon juga digunakan sebagai pelapis di produk roti dan kue.

Berbahan utama daging, produk ini dikenal sudah sejak lama. Berasal dari negeri Tiongkok, produk yang eksis dalam bentuk suwiran serat daging yang wujudnya menyerabut ini kemudian menyebar ke seluruh dunia melalui proses diaspora warganya termasuk ke Indonesia. Di negeri asalnya, produk yang disebut Chousong ini memang biasanya menggunakan daging babi sebagai bahan baku.   

Berbicara tentang bahan baku abon, secara umum adalah daging yang berasal dari sapi, kambing, kuda, babi, atau domba. Ada beberapa abon yang pembuatannya memakai bahan baku hewan air, seperti ikan tuna, ikan lele, ikan tongkol, ikan cakalang, belut, kepiting/rajungan, atau udang. 

Selain bahan baku, untuk penambah cita rasa ada beberapa bahan yang ditambahkan. Penyedap rasa (flavor enhancer) yang digunakan, antara lain MSG dan kaldu jamur bubuk. Kadang-kadang untuk mengempukkan daging dan memperkaya cita rasa, daging direndam dalam arak merak (ang ciu). Kecap manis juga memengaruhi dalam hal cita rasa, terutama memberikan rasa manis dan penampakan yang agak sedikit kecokelatan. Bahan pengisi yang ditambahkan adalah serat buah kluwih atau nangka—berfungsi sebagai penambah volume atau kuantitas produknya. Dari banyaknya bahan tersebut, mari kita bedah satu per satu.

Daging

Daging adalah bahan baku pembuatan abon. Seperti sudah disinggung sebelumnya daging yang bisa digunakan adalah sapi, kuda, domba/kambing, atau babi—di samping bahan-bahan yang berasal dari hewan air. Daging tentu harus dipastikan berasal dari hewan halal yang disembelih secara syar’i.

MSG atau Vetsin

MSG atau vetsin atau orang awam menyebutnya micin adalah produk mikrobial. Artinya, ada mikroba yang dilibatkan dalam proses produksinya. Titik kritis ketidakhalalan produk mikrobial secara umum adalah adanya bahan haram dan najis dalam media pertumbuhan mikroba, bahan aditif, dan bahan penolongnya. Sehingga harus ada pemastian status kehalalan dari bahan-bahan yang digunakan tersebut. Salah satu bahan penolong yang mungkin digunakan adalah enzim yang bisa jadi berasal dari bahan hewani atau turunannya.

Kaldu Jamur Bubuk

Kaldu jamur bubuk merupakan salah satu bahan yang digunakan untuk memberikan rasa umami (dari Bahasa Jepang yang berarti gurih atau lezat). Dalam proses produksinya, ternyata tidak hanya melibatkan jamur sebagai bahannya, ada bahan-bahan yang kritis dari aspek kehalalan, misalnya MSG.

Kecap Manis

Kecap manis diolah melalui proses fermentasi kacang kedelai dan gandum dengan bantuan kapang â€ŽAspergillus, khamir Saccharomyces, dan bakteri Bacillus dan Lactobacillus. Ada dua tahapan dalam teknologi prosesnya, yakni fermentasi koji dan moromi. Proses pembuatannya bisa memakan waktu hingga 10 bulan. Karena proses pembuatannya terlalu panjangnya, ada perusahaan kecap yang melakukan jalan pintas dengan menambahkan perisa kecap dan bahan pewarna walaupun proses fermentasinya belum tuntas. Secara tradisional, malah ada perusahaan yang menambahkan kaldu bahan hewani seperti kaldu tulang, kaldu kepala ayam, atau kaldu kepala ikan.

Arak Merah

Untuk mempermudah proses dalam melembutkan serat daging dan menambah cita rasa tertentu, kadang-kadang daging direndam dalam arak merak atau juga biasa dikenal dengan istilah angciu. Jika hal ini yang dilakukan, maka daging menjadi haram sekaligus mutanajis (terkena najis yang bersumber dari arak). (***)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.

//
Assalamu'alaikum, Selamat datang di pelayanan Customer Care LPPOM
👋 Apa ada yang bisa kami bantu?