Dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Indonesia Halal Watch (IHW) di AONE Hotel, Jakarta beberapa waktu lalu, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Drs. KH. Sholahuddin Al Aiyub, M.Si, menerangkan bahwa pada dasarnya Indonesia dibentuk bukan menjadi negara agama maupun negara sekuler. Adapun Pemerintah tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan substansi hukum agama.
“Karena itu, pendekatan yang dilakukan di Indonesia adalah membentuk sebuah lembaga yang bisa merepresentasikan umat Islam. Di situlah peran Komisi Fatwa MUI,” ujarnya.
Melihat keberagaman masyarakat Indonesia, patut diakui, peran ini tak bisa dihilangkan begitu saja. MUI seharusnya tetap menjadi satu-satunya acuan negara dalam menetapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan keislaman. Hal ini guna menjaga harmonisasi masyarakat, khususnya ormas.
(Baca juga: Mengapa Fatwa Harus dari MUI?)
Acuan hukum ini bukan hanya berlaku dalam hal jaminan halal, melainkan juga dalam ekonomi syariah. Menurut Aiyub undang-undang perbankan syariah, surat berharga syariah, dan Perseroan Terbatas (PT) telah menyatakan dengan jelas bahwa hal-hal yang menyangkut tentang prinsip kesyariahan mengacu pada fatwa MUI.
“Contoh lainnya, aliran agama yang menyimpang atau sesat. Pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan apakah ini sesat atau tidak. Karena itu, Pemerintah meminta kepada MUI untuk mengeluarkan fatwa atas aliran tersebut, yang kemudian dijadikan sebagai pijakan hukum Negara,” terang Aiyub.
Di Indonesia, lanjut Aiyub, tidak menerapkan mufti fardi atau mufti individual. Adapun yang diterapkan adalah mufti jama’i atau mufti kolektif, yang keilmuannya saling melengkapi. MUI menjadi wadah yang mempertemukan ulama-ulama dari berbagai ormas Islam.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi mengenai MUI sebagai mufti di Indonesia, terutama dalam hal penetapan produk halal, diantaranya:
1. Penetapan fatwa tidak tunggal berpotensi adanya perbedaan dalam menetapkan fatwa suatu kasus yang sama.
2. Beragamnya fatwa halal dalam produk yang sama akan membuat bingung masyarakat awam dan berpotensi mengaburkan kepastian hukum dalam satu kasus yang sama.
3. Ketetapan fatwa halal di MUI mempunyai daya terima lebih tinggi, karena anggotanya berasal dari perwakilan lembaga fatwa ormas Islam di seluruh Indonesia.
4. Ketetapan fatwa halal bersifat qadha’i (mandat dari UU), sehingga bersifat mengikat dan tunggal.
“Pada poin dua, kita ambil contoh hukum hewan yang disembelih oleh ahlul kitab. Ada ayat dalam Al-Qur’an yang membolehkan. Namun hal ini harus dikontekstualisasi, ahlul kitab yang disebut dalam ayat tersebut apakah sama dengan yang ada saat ini. MUI mengambil sikap, ahlul kitab yang dimaksud ayat tersebut tidak sama dengan yang ada saat ini. Oleh karena itu, sembelihan ahlul kitab, dagingnya tidak bisa dipakai. Kalau ini dibuka, ada ormas yang meyakini, ini boleh. Berarti ada perbedaan pendapat dalam satu kasus,” papar Aiyub.
Hal lain yang juga dapat dijadikan contoh adalah hukum kopi luwak. Ada yang meyakini bahwa hukumnya sama seperti feses, yakni najis. Namun, fatwa MUI mengatakan bahwa biji kopi luwak sifatnya seperti suatu benda yang tertelan dan keluar bersama dengan feses, hukumnya mutanajis. Artinya, barang suci yang terkena najis, kemudian dicuci sehingga menjadi suci dan bisa digunakan kembali.
Aiyub menekankan, adanya beragam fatwa terkait hukum satu produk dikahawatirkan akan membuat bingung masyarakat. Karena itu, fatwa tetap harus dijalankan secara desentralisasi, bersifat qadha’i atau mengikat. Hal ini sesuai mandat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. (YN, YS)