Pangan Tindakan antisipasi pemalsuan pangan dapat berupa sistem ketertelusuran pangan (food traceability) dan pembuktian keaslian atau autentikasi pangan (food authentication).
Food fraud atau pemalsuan pangan adalah upaya sengaja mengganti, menambah, mengubah atau merepresentasikan secara keliru suatu bahan dan/atau produk pangan, kemasan pangan, serta memberikan informasi tidak benar pada label, untuk tujuan menipu konsumen demi keuntungan ekonomi.
Direktur Pengawasan Peredaran Pangan Olahan, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI), Dra. Ratna Irawati, Apt., M.Kes, menyampaikan hal ini dalam webinar halal bertema “Food Fraud Prevention, dari Izin Edar hingga Label Halal” yang diselenggarakan oleh LPPOM MUI bersama PT Pamerindo Indonesia pada 21 September 2021.
(Baca juga: Hindari Penipuan, Cek Logo Halal dan Izin Edar di Kemasan)
“Setiap pangan yang beredar harus terjamin keamanan, mutu dan gizi pangannya. Sehingga penting bagi pelaku usaha memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi hal-hal yang terlibat dalam pengolahan pangan,” lanjut Ratna.
Kepatuhan terhadap regulasi serta daya saing ekonomi juga menjadi hal yang penting dalam industry pangan olahan. Karena itu, tindakan antisipasi pemalsuan pangan diperlukan. Hal ini berupa sistem ketertelusuran pangan (food traceability) dan pembuktian keaslian atau autentikasi pangan (food authentication).
Ketertelusuran (Traceability)
Ketertelusuran adalah kemampuan untuk melacak, menelusuri, mengidentifikasi pergerakan pangan pada setiap tahapan produksi, mencakup penerimaan bahan baku, pengolahan, penyimpanan produk jadi, distribusi (importir, distributor), serta ritel.
Sistem ketertelusuran tercatat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pasal 86, ayat (2), menyebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi dan memperdagangkan pangan wajib memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
“Tersedianya informasi ketertelusuran suatu produk dapat membantu melawan atau mencegah pemalsuan pangan. Adapun implementasinya dapat dilakukan sesederhana mungkin sesuai dengan kemampuan pelaku usaha pangan, ataupun secanggih mungkin,” jelas Ratna.
Autentikasi (Authentication)
Autentikasi adalah suatu tindakan atau proses untuk membuktikan kebenaran atau kesesuaian produk pangan. Kemampuan ini diperlukan untuk memastikan pangan terbebas dari pemalsuan, terutama yang berkaitan dengan komposisi, sifat dan kemurnian varietas, asal geografis, serta metode atau teknologi pembuatannya.
“Terdapat beberapa metode yang dikembangkan dalam pembuktian keaslian pangan baik berbasis monitoring atau pengawasan, pengujian laboratorium, maupun pemanfaatan teknologi. Adapun efektifitas pembuktian keasliannya tergantung dari karakteristik masing-masing produk,” papar Ratna.
Kaitannya dengan Halal
Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, pengujian pangan di laboratorium berkembang secara cepat dan dinamis. Salah satu analisa terkait dengan autentikasi pangan yaitu kehalalan suatu produk untuk memastikan tidak terjadi pemalsuan produk halal dengan produk haram. Misalnya, percampuran bahan haram dalam produk halal dan tidak terjadi kontaminansi bahan haram ke dalam produk halal.
Sama dengan keamanan pangan, untuk memeriksa kehalalan produk, LPPOM MUI sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) juga menekankan pada prinsip ketertelusuran (traceability) dan autentikasi (authentication) selama proses sertifikasi halal. Dua prinsip ini semakin dikuatkan dengan implementasi Sistem Jaminan Halal (SJH).
SJH diimplementasikan perusahaan untuk menjamin bahwa selama masa berlakunya sertifikat halal, proses produksi halal akan dijaga kesinambungannya. Hal ini dilakukan dengan mempersyaratkan perusahaan untuk mengembangkan dan menerapkan SJH di perusahaannya. (YN)