Masyarakat mengaku jengah melihat tayangan iklan di televisi yang lebih banyak mengumbar aurat ketimbang menginformasikan kelebihan produknya. Tak terkecuali produk yang telah mengantongi sertifikat halal.
Rustinawati tak kuasa menahan jengkel ketika menyaksikan iklan produk mie instan di televisi. “Apa relevansinya produk mie instan dengan perempuan bercelana cekak yang bergoyang erotis?,” tulisnya dalam sebuah surat yang dilayangkan ke LPPOM MUI, beberapa waktu lalu.
Rustinawati ternyata tidak sendiri. Di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) protes senada juga datang dari warga masyarakat lainnya. “Banyak warga masyarakat melakukan komplain dan melapor MUI. Ada produsen produk mie instan terkenal yang telah mendapat sertifikat halal MUI, namun melakukan promosi penjualannya dengan iklan yang seronok,” kata Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. Dr. H. Hasanuddin AF.
Dalam laporan mereka disebutkan, tayangan televisi dalam iklan produk mie tersebut menampilkan wanita yang berpakaian mini dan ketat, sangat sensual, menonjolkan aurat yang dilarang agama dengan goyang tari-tarian yang sangat erotis. Dan yang sangat ironis lagi, tayangan yang seronok itu menampilkan latar-belakang logo halal MUI, sehingga terdapat kesan, seolah-olah produk mie yang telah memperoleh legalitas sertifikat halal beserta iklan promosinya telah mendapat ijin dari MUI.
Menanggapi komplain tersebut, Hasanuddin AF, MA., menegaskan bahwa produk yang telah bersertifikat halal, dalam iklannya pun harus mengikuti kaidah-kaidah moral keagamaan. Ia mengakui bahwa kewenangan Komisi Fatwa MUI hanya sebatas menetapkan fatwa halal, sedangkan iklan dan promosi produk merupakan kewenangan lembaga lain.
Namun, sebagai rasa turut bertanggung jawab dalam mengawal moral keagamaan umat, MUI menghimbau dan mengingatkan kepada pihak perusahaan serta pihak televisi yang menyiarkan tayangan iklan itu, agar memperhatikan norma-norma sosial dan keagamaan.
Apalagi, MUI bersama Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI telah mencanangkan “Halal is My Life”. Yakni bahwa ketentuan halal itu bukan hanya pada aspek material produk saja, dengan proses sertifkasi halal. Tetapi juga mencakup jalan kehidupan secara keseluruhan. Demikian guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini menambahkan penjelasannya.
Dilaporkan ke KPI
Berkenaan dengan tayangan yang dianggap vulgar itu, MUI akan meneruskan komplain masyarakat tersebut kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Karena masalah tayangan penyiaran televisi itu merupakan ranah kewenangan KPI. “Sebagai lembaga khidmatul-ummah, yang melayani kepentingan umat, kami telah meneruskan keluhan dan komplain masyarakat itu kepada KPI sebagai lembaga yang berwenang di bidang penyiaran,” ujar Hasanuddin AF.
MUI melakukan dua langkah sekaligus, secara simultan. Pertama, melakukan advokasi atau taushiyyah kepada perusahaan dan lembaga penyiaran atau produser tayangan iklan tersebut, agar menjaga nilai halal secara konsisten. Bukan hanya mengejar aspek komersial, tetapi juga mengikuti ketentuan moral keagamaan. Kedua, pada saat yang sama MUI juga akan mengambil langkah, sesuai dengan komplain masyarakat, dengan melaporkannya kepada KPI sebagai lembaga yang berwenang agar dapat mengoreksi konten tayangan iklan tersebut, dan mencegah tayangan-tayangan yang dapat merusak moral sosial secara umum.
Beberapa hari setelah ramai diprotes masyarakat, pihak pemasang iklan akhirnya mengambil langkah bijak: iklan yang diributkan sudah tak muncul lagi di televisi. Memang tak seutuhnya iklan tersebut diganti, melainkan diedit dan dipenggal bagian gambar yang menampilkan erotisme.
Jika dicermati, iklan produk halal yang tidak selaras dengan pesan gaya hidup halal tidak hanya terdapat pada iklan mie instan saja. Beberapa produk lain, misalnya iklan kopi, obat gosok, dan beberapa produk makanan, juga layak dikritisi. Iklan tersebut memang tidak memancing kontroversi lantaran selain frekuensi kemunculannya tidak terlalu sering, tingkat “pelanggaran” nya pun relatif ringan. Tidak memunculkan erotisme dan gerakan-gerakan yang menimbulkan kesan seronok, tapi gaya berbusananya yang cenderung terbuka.
Dari sisi strategi periklanan, pesan-pesan yang disampaikan sejumlah perusahaan produk halal melalui iklan di televisi memang cenderung kurang pas. Tidak ada unsur edukasi konsumen, baik yang berkaitan dengan pengetahuan produk, maupun tentang manfaat dari produk tersebut. Sementara logo halal hanya numpang lewat saja. Karena itu, sangat wajar jika konsumen seperti Rustinawati menilai bahwa iklan-iklan di televisi sering tidak nyambung dengan produk yang ditawarkan.
Meski begitu, tidak berarti tak ada iklan produk halal yang edukatif. Iklan larutan penyegar misalnya, beberapa waktu lalu mengusung aspek halal sebagai salah satu daya jual. Begitu pula iklan sosis serta produk perawatan tubuh.
Dari yang sedikit itu, iklan kosmetika Wardah tampaknya paling dominan dalam mengusung tema halal. Sebagai produk yang memiliki segmentasi khusus, yakni muslimah, Wardah sangat memahami bahwa iklan merupakan proses komunikasi yang memiliki kekuatan sangat penting sebagai alat pemasaran.
Praktisi periklanan Ahmad Zaki mengatakan, strategi beriklan memegang peranan vital dalam penentuan keberhasilan iklan. Strategi merupakan dasar membangun merek dan menjaga agar iklan dan elemen pemasaran berada dalam jalur yang tepat dan konsisten. Seperti dalam kaidah komunikasi, iklan harus mampu menjawab tentang tujuan, target yang dituju, di mana iklan ditempatkan, kapan sebaiknya dilakukan, serta mengapa harus dilakukan.
Dalam konteks produk halal, pemasang iklan semestinya memahami target yang dibidik adalah konsumen muslim. Pemasang iklan harus memahami bagaimana mereka berpikir, bertindak dan berperilaku. Amati pula, apa yang membuat mereka tertarik untuk mendengar, melihat dan kemudian mengikuti.
Artinya, dengan menciptakan citra merek yang tepat untuk suatu produk, tentu akan sangat berguna bagi pemasar, karena citra merek akan mempengaruhi penilaian konsumen atas alternative brand yang diharapkan, yang tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan konsumen, tetapi dapat memberikan kepuasan yang lebih baik dan lebih terjamin. Semakin baik citra merek yang melekat pada produk, maka konsumen akan semakin tertarik untuk membeli produk tersebut. (FM)
Boks:
Wardah, Konsisten Membangun Citra Halal
Pasar produk kosmetika halal semakin terbuka lebar. Karena itu perlu dibangun strategi komunikasi dalam bentuk iklan yang secara konsisten menyuarakan gaya hidup halal.
Kesadaran itu yang dibangun oleh Wardah, salah satu perusahaan kosmetik terkemuka di Indonesia. Dengan item produk mencapai lebih dari 200 macam yang kesemuanya telah mendapat sertifikasi halal, Wardah telah membuat produk dengan segmen pasar yang jarang terpikirkan khalayak ramai dan pemikiran tentang pasar yang futuristic.
Pengelola perusahaan di Wardah jeli “membaca” pasar bahwa ke depannya produk kosmetik halal dan sehat akan booming dan menjadi trend masyarakat Indonesia yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam. Direktur PT Paragon Technology & Innovation (produsen Wardah), Nurhayati Subakat mengakui, prakarsa membidik pasar muslimah, pada awalnya didasari atas kesadaran terkait masih banyaknya produk kosmetik yang mengandung bahan-bahan tidak sesuai dengan syariat Islam.
Ketika memposisikan diri sebagai kosmetika halal pun, kata Nurhayati, pada awalnya menghadapi banyak kesulitan karena segmentasi pasar yang sempit, akan sangat sulit diterima masyarakat ketika masyarakat kurang menyadari petingnya kehalalan produk kosmetik yang ditawarkan. Maklum, sekitar sepuluh tahun lalu, tak banyak orang memikirkan kosmetik halal. Pada awalnya positioning sebagai kosmetik halal justru menjadi beban tambahan dalam menjalankan bisnis ini. Karena secara teori, dalam pembuatan kosmetik memerlukan katalis dari gelatin atau asam-asam lemak yang biasanya diambil dari bahan yang tidak halal.
Pengusungan label produk halal membuat Wardah harus membangun pencitraan yang mendukung produk. Pencitraan dengan menampilkan artis menggunakan jilbab untuk memasarkan produk menjadi hal yang dianggap kurang pas dalam pandangan masyarakat awam, karena persepsi masyarakat yang ada pada saat itu adalah kosmetik erat kaitannya dengan pencitraan, glamour dan sexy. Hal ini berkebalikan dengan citra yang dibawa Wardah yang menunjukkan kesederhanaan, kesan religius, dan santun. Maka diusunglah artis Inneke Koesherawaty, yang dinilai memiliki citra yang pas sebagai brand ambassador Wardah.
Munculnya aktris berhijab yang menjadi bintang iklan kosmetik pada kala itu memang dipandang “aneh”, karena pada umumnya iklan kosmetik yang ditampilkan dalam berbagai media tidak ada yang mengekspos kecantikan wanita berhijab, melainkan wanita cantik, seksi dan molek, yang terkadang tampil dengan dandanan seronok. Tapi, dengan keyakinan dan keteguhannya, Wardah terus menjalankan brand building strategy-nya secara konsisten sehingga kini menjadi top of mind dalam kategori kosmetik halal.
Tahun 2013 lalu, Wardah memperoleh penghargaan dan Kementerian Agama dan MUI dalam ajang Halal Award 2013 sebagai Hal Top Brand untuk kategori kosmetika. Di tahun yang sama, Wardah juga meraih Indonesian Costumer Satisfaction Award dari majalah Swa. (***)