Diasuh oleh: Dr.K.H. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat); dan Drs.H. Sholahudin Al-Aiyub, M.Si. (Wakil Sekretaris MUI Pusat Bidang Fatwa).

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullah

Pak Ustadz, ada keluarga terkena penyakit jantung, dan merembet, menjadi terkena stroke. Pengobatan secara medis kedokteran, memerlukan biaya yang sangat besar untuk mengobati penyakit jantung dan stroke tersebut. Maka kami berusaha mencari alternatif untuk mengobatinya.

Kami mendapat informasi ada obat herbal dari China yang dapat mengurangi kadar penyakit jantung dan stroke tersebut. Namun setelah diteliti, ternyata obat tersebut mengandung darah dan bisa ular.

Bisa ular yang mengandung enzim racun berbahaya, menurut para ahli, bila dikonsumsi dan digunakan dalam dosis tertentu yang tepat, enzim-enzim pada bisa ular itu justru dapat bermanfaat untuk pengobatan dan kesehatan manusia. Kami minta penjelasan  Ustadz tentang hukum meminum obat yang mengandung darah dan bisa ular itu.

Atas jawaban dan penjelasannya saya mengucapkan terimakasih.

Wassalam

Roy, Bekasi

Jawaban:

Berobat itu merupakan usaha mengatasi penyakit yang diperintahkan agama, tapi tidak boleh berobat dengan yang haram. Disebutkan dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan dari Abud Darda’ “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan juga obatnya. Allah menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah, namun jangan berobat dengan yang haram.” (H.R. Abu Dawud).Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia berkata,“Rasulullah saw melarang dari obat yang khobits (yaitu yang haram karena bernajis atau kotor).” (HR. Abu Dawud Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Sedangkan ular termasuk kategori hewan yang haram dikonsumsi, karena Rasulullah sawmemerintahkan untuk membunuhnya tanpa memberikan keterangan untuk memanfaatkan dagingnya supaya dikonsumsi. Padahal makhluk Allah tidak boleh dibunuh tanpa ada guna dan disia-siakan. Perhatikanlah Rasulullahsaw bersabda, yang artinya: “Bunuhlah ular.” (HR. Bukhari dan Muslim).Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw memerintahkan untuk membunuh dua hewan yang berwarna hitam ketika shalat (yaitu): Kalajengking dan ular.” (H.R. Abu Dawud, al-Nasai, al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Syaikh Sulaiman bin Shalih al-Khurasyi dalam kitabnya Al-Hayawanaat; Maa Yu’kal wa Maa Laa Yu’kal, menyebutkan tentang pendapat yang shahih, bahwa setiap binatang yang diperintahkan untuk dibunuh maka dagingnya haram dimakan. Maksud dibunuh di sini adalah dibunuh tanpa sebab yang dibenarkan syariat, yaitu disembelih sesuai dengan cara syariah. Karena seandainya diperbolehkan mengambil manfaat dengan cara memakan dagingnya tentu Nabi saw tidak akan memerintahkan untuk membunuhnya. (Lihat: Adwa’ al-Bayan, Syaikh Muhammad Amin al-Syinqithi: 2/273). Lebih tegas lagi, Imam al-Nawawi mengatakan, “Binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, maka dagingnya haram dimakan.” (Al-Majmu’, Imam Al-Nawawi: 9/22).

Ular itu kalau mati, disebut Maytah, dan hukumnya najis. Maka mengkonsumsinya menjadi haram. Juga tidak ada tuntunan syariah dalam menyembelih ular. Dan meskipun disembelih sesuai kaidah syariah, karena ular termasuk hewan yang haram dikonsumsi, maka disembelih ataupun tidak, hukumnya tetap haram.

Namun dalam ketentuan hukum ada kaidah “Maa min ‘aamin illa lahu khoosh”. Maksudnya, setiap ketentuan yang bersifat umum, selalu ada pengecualian yang bersifat khusus. Sehingga ketentuan yang bersifat umum dapat dikesampingkan oleh ketentuan yang bersifat khusus. Maka kalau tidak ada obat yang halal, sedangkan penyakit yang diderita sangat berbahaya, bisa bertambah parah, atau dapat menyebabkan cacat permanen, atau bahkan kematian, maka itu merupakan kondisi darurat.

Mengenai darah, meskipun dari hewan yang Ma’kulul-Lahm, boleh dimakan dagingnya, namun darahnya tetap haram dikonsumsi. Kalau darah ular untuk obat, maka ada beberapa pendapat ulama. Ada yang berpendapat dibolehkan kalau tidak ditemukan obat lain sesuai dengan tingkat ekonominya. Misalnya, ada obat, tetapi harganya sangat mahal, sementara orang yang sakit itu miskin, dan tidak mampu untuk membeli obat yang mahal tersebut. Di sini ada dua masalah sekaligus yang tak terpisahkan, yang tergabung dengan kondisi darurat. Yakni kondisi si penderita dalam keadaan kritis, kalau tidak diobati akan terancam keselamatannya, atau penyakitnya bertambah parah, jugatidak ada obat yang halal, atau ada obat tetapi harganya sangat mahal, yang tidak mungkin mampu untuk membelinya. Maka itu termasuk kondisi darurat.

Lebih lanjut lagi, perlu dipahami perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama mengenai hukum berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan benda najis dan haram. Ada ulama yang mengharamkannya dengan tegas, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Pendapat ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkankan Allah atasmu. (HR. Bukhari dan Baihaqi). Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw bersabda pula, “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram. (HR. Abu Dawud).

Namun ada pula pendapat yang membolehkan sementara, penggunaan obat dari bahan yang haram. Tapi kebolehan ini terbatas hanya dalam keadaan darurat, seperti pendapat Yusuf Al-Qaradhawi. Sebagaimana telah pula dijelaskan di atas..

Mengenai mengkonsumsi bisa ular sebagai obat, penjelasannya sama dengan yang di atas. Namun dengan penekanan harus sangat berhati-hati. Jangan sampai terjadi, ingin berobat dengan menggunakan bisa ular, tetapi malah mengundang bahaya yang berlipat-ganda. Yakni bahaya penyakit yang belum tentu dapat sembuh, ditambah lagi dengan bahaya bisa ular sebagai racun yang sejatinya memang harus dihindarkan.

Tentu aspek bahaya dan/atau manfaat ini harus didasarkan pada bukti hasil penelitian ilmiah kedokteran yang dapat dipertanggung-jawabkan secara medis-klinis. Bukan berdasarkan katanya-katanya, yang tidak jelas sumbernya. Perhatikanlah makna ayat yang mengingatkan kita:“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. 16:43). Dan ayat seperti ini diulang lagi di surat Al-Anbiyaa’ (21) ayat: 7). Ini menunjukkan tentang pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan kita.

Bagaimanapun juga, secara sederhana, kita patut mengingatkan dan menyarankan, agar mengkonsumsi atau menggunakan obat yang telah jelas kehalalannya. Jangan berbuat yang menyerempet-nyerempet resiko bahaya, atau yang tidak jelas (dianggap meragukan) status kehalalannya. Karena mengkonsumsi yang halal itu merupakan perintah agama yang harus/wajib diikuti, dengan tanggung-jawab dunia dan akhirat.

photo : kompasiana.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.