Sertifikasi halal untuk obat dan kosmetik kini menjadi kunci bersaing, bukan hanya di pasar lokal, tetapi juga internasional. Dengan regulasi halal 2026, produk Indonesia berpeluang menembus pasar global yang kian selektif terhadap kehalalan. Bagaimana mengurus sertifikat halal BPJPH sehingga mudah dan cepat? Berikut pemaparan Nurul Fajrina, Business Development Manager dan auditor di LPH LPPOM dalam acara SWAP Teknolab Lustrum.
Mengapa obat dan kosmetik harus bersertifikat halal? Pertanyaan ini semakin relevan menjelang diberlakukannya regulasi halal 2026 yang mewajibkan sertifikasi halal pada produk kosmetik dan obat di Indonesia. Dalam seminar SWAP Teknolab Lustrum yang digelar di SMAK Bogor (SMAKBO) pada 23 September 2025, Nurul Fajrina, Business Development Manager di Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM sekaligus auditor halal, menjelaskan secara rinci pentingnya sertifikasi halal di industri farmasi dan kecantikan.
Nurul menegaskan bahwa sertifikasi halal bukan lagi pilihan, tetapi sudah menjadi keharusan. Hal ini didasari oleh Peraturan Pemerintah (PP) 42 Tahun 2024 yang mengatur penahapan kewajiban halal. Untuk produk kosmetik, aturan ini akan berlaku mulai Oktober 2026. Sementara obat-obatan akan diberlakukan bertahap sejak tahun yang sama untuk kategori obat tradisional, obat kuasi, hingga suplemen kesehatan. “Baik pelaku industri farmasi maupun kosmetik sudah harus bersiap dari sekarang. Jangan menunggu sampai batas akhir, karena proses sertifikasi membutuhkan waktu dan kesiapan dari sisi produk maupun fasilitas,” jelasnya.
Selain soal regulasi, sertifikasi halal juga berkaitan erat dengan kepercayaan konsumen. Di Indonesia, mayoritas masyarakat beragama Islam dan sangat peduli dengan kehalalan produk. Menurut Nurul, produk yang bersertifikat halal lebih mudah diterima pasar karena memberikan rasa aman bagi penggunanya. Kepercayaan ini bukan hanya memperkuat citra merek, tetapi juga mendorong loyalitas konsumen dalam jangka panjang.
Lebih jauh, produk halal juga membuka jalan menuju akses pasar global. Banyak negara, terutama dengan populasi Muslim besar seperti Timur Tengah dan Asia Tenggara, mewajibkan sertifikat halal sebagai syarat perdagangan. Dengan kata lain, sertifikasi halal adalah strategi bisnis internasional yang membantu perusahaan memperluas jangkauan produknya. “Hal ini tentu menjadi nilai tambah bagi perusahaan,” ujar Nurul.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah sifat penggunaan obat dan kosmetik itu sendiri. Beberapa kosmetik, misalnya lipstick atau lipbalm, memiliki potensi untuk masuk ke dalam tubuh. Ada juga produk seperti cat rambut atau kosmetik dekoratif yang waterproof, sweatproof, dan water resistant. Produk semacam ini dapat menempel di tubuh dalam jangka waktu lama dan bahkan memengaruhi keabsahan wudhu. Menurut Nurul, hal-hal seperti inilah yang membuat sertifikasi halal kosmetik dan obat menjadi sangat penting. “Semua aspek ini menyangkut keyakinan, kenyamanan, dan kepatuhan syariat,” tegasnya.
Hal penting lain yang harus diperhatikan industri adalah sumber bahan baku. Nurul memaparkan bahwa bahan baku obat dan kosmetik bisa berasal dari berbagai sumber, yang tingkat kritisnya terhadap halal berbeda-beda. “Pengetahuan ini sangat penting agar pelaku industri tidak terjebak menggunakan bahan yang ternyata tidak sesuai dengan standar halal,” jelasnya.
Berikut ini beberapa bahan yang seringkali menjadi abhan baku produk kosmetika dan obat.
- Tanaman: bisa jadi masalah jika ada bahan tambahan tertentu. (Contoh : ekstrak tanaman, minyak nabati, asam lemak, vitamin, etanol/alkohol, glycerol, dsb.)
- Sintetik: kehalalan tergantung material awal dan cara produksi, termasuk vitamin, pewarna, atau metilparaben. (Contoh : vitamin, allantoin, asam lemak, etanol/alkohol, pewarna, metilparaben, dsb)
- Manusia: jelas haram. (Contoh : keratin, albumin, dan placenta)
- Mikroba: akan menjadi kritis ketika media dan bahan penolongnya bersumber dari zat haram atau najis. (Contoh : alpha hydroxy acid, protein, pewarna, botox, etanol/alkohol, vitamin)
- Hewan: harus diawasi ketat karena bergantung pada jenis hewan dan tata cara penyembelihan. (Contoh : kolagen, elastin, placenta, asam lemak, tallow, lanolin, lard, vitamin, allantoin, enzim, glycerine/glycerol, hormon, asam amino, protein, dll)
Lalu, siapa saja yang bisa mengajukan sertifikasi halal? Nurul menjelaskan bahwa proses ini bisa dilakukan oleh pemilik produk (perusahaan atau perwakilan resmi di Indonesia), pemilik fasilitas seperti maklon atau toll manufacturer, serta importir atau distributor. Dalam kasus distributor, pabrik asal didaftarkan sebagai fasilitas dan otomatis masuk dalam cakupan audit. Dengan mekanisme ini, setiap produk yang beredar di pasaran memiliki kejelasan rantai produksi dan tanggung jawab halal yang transparan.
Sebagai solusi, LPH LPPOM membuka berbagai layanan untuk mempermudah industri dalam memahami proses pengurusan sertifikat halal BPJPH. Salah satunya adalah program Halal On 30, yang dapat diikuti melalui tautan bit.ly/HalalOn30. Program ini membantu pelaku usaha memahami alur sertifikasi halal hanya dalam 30 menit. Selain itu, Laboratorium LPPOM MUI yang telah terakreditasi ISO/IEC 17025:2017 juga menyediakan layanan pengujian obat dan kosmetik. Informasi lengkap mengenai layanan ini bisa diakses melalui situs resmi https://e-halallab.com/.
Seminar di SMAKBO ini menegaskan kembali bahwa sertifikat halal BPJPH untuk kosmetik dan obat bukan sekadar formalitas. Ia adalah bagian dari jaminan mutu, strategi bisnis, sekaligus bentuk kepedulian terhadap konsumen. Bagi industri, persiapan sejak dini menjadi kunci untuk menghadapi era wajib halal 2026. Dengan begitu, produk tidak hanya patuh terhadap regulasi, tetapi juga mampu menjaga kepercayaan konsumen dan bersaing di pasar global. (YN)