Search
Search

Menggenggam Syukur di Tengah Kebersahajaan 

Ada satu kalimat yang sering terucap, namun tidak selalu terasa dalam: Alhamdulillah. Padahal, di balik kata sederhana itu, tersimpan kekuatan besar untuk menghadirkan ketenangan, kebahagiaan, dan keikhlasan. Dr. H. Amirsyah Tambunan, M.A., Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengajak kita menyelami makna terdalam dari syukur—bukan sekadar ucapan, tapi sebuah cara hidup. 

Pernahkah kita duduk sejenak di tengah hiruk pikuk dunia, lalu bertanya pada diri sendiri: “Apa yang sebenarnya membuatku bahagia?” Banyak dari kita sibuk mengejar lebih—lebih kaya, lebih tinggi jabatan, lebih banyak pengikut, lebih megah rumah. Namun, sering kali di balik semua itu, hati tetap merasa kosong. Padahal, barangkali kita hanya lupa satu hal kecil namun bermakna besar yang bisa mengisi kekosongan itu: bersyukur

Syukur bukan sekadar kata yang diucap setelah menerima kabar baik. Ia adalah sikap hidup, cara pandang, dan ketenangan yang tumbuh dari dalam. Rasa Ssyukur mampu mengubah rasayang kurang menjadi cukup, mengubah kekhawatiran menjadi harapan, dan mengubah kegelisahan menjadi ketenangan. Namun, di zaman yang segalanya serba cepat dan kompetitif ini, syukur terasa seperti kemewahan yang sulit dijangkau. 

Dr. H. Amirsyah Tambunan, M.A., Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengajak kita kembali merenungkan makna syukur yang sejati. Bukan lewat teori yang rumit, tapi lewat pengalaman nyata dan kesederhanaan yang membumi. Ia menawarkan pandangan yang menyejukkan, sekaligus menggugah kesadaran bahwa bahagia itu bukan soal berapa banyak yang kita miliki, melainkan seberapa dalam kita bisa merasakan nikmat dari apa yang sudah ada.  

“Kalau saya, tipsnya bisa dua: bisa sederhana, bisa rumit, tergantung kita maunya cari yang sederhana atau yang rumit,” terang lelaki yang kerap dipanggil dengan sebutan Buya. Menurutnya, hidup sederhana itu dimulai dari keikhlasan. Ia mengajak kita untuk menikmati hal-hal kecil dalam hidup: bahagia karena punya teman, bersyukur karena masih bisa makan dan minum, karena kebutuhan dasar seperti sandang dan pangan terpenuhi.  

Ia mengutip nasihat orang tua zaman dulu: “Jangan lihat ke atas terus, lihatlah ke bawah.” Maksudnya, kalau terus-menerus membandingkan hidup dengan yang lebih tinggi, kita bisa tersandung. Sebaliknya, ketika kita melihat ke bawah—mereka yang hidup dalam keterbatasan—kita akan lebih mudah bersyukur dan bisa melangkah dengan hati-hati. 

Berkaca dari Si Pencari Sampah 

Buya Amirsyah berbagi pengalaman pribadinya. Suatu kali, dalam sebuah perjalanan ke daerah Pamulang, ia melihat sebuah keluarga yang tinggal di antara tumpukan sampah, hidup dalam rumah kardus. Anak-anak diberi makan di atas gerobak sampah. “Ya Allah. Saya enggak kebayang,” ungkapnya haru. 

Namun yang mengejutkan, ketika ditanya, keluarga itu merasa bahagia. “Hidup mereka itu ternyata punya kelas juga,” katanya sambil tertawa kecil. “Ada pencari sampah yang jalan kaki, ada yang naik motor, bahkan ada yang sudah pakai mobil. Tergantung kelasnya.” 

Kebahagiaan, katanya, kembali ke hati. Dan hati itu misterius—sulit dipahami. Apa yang tampak menyedihkan bagi kita, bisa jadi terasa cukup dan membahagiakan bagi orang lain.  

Untuk menyelami rasa Syukur, Buya Amirsyah menyarankan untuk memperbanyak silaturahmi, “Mengenal tidak sekadar nama, tapi juga mengenal pikiran dan hati seseorang.” Dengan mengenal karakter orang lain akan terbuka jalan untuk memahami kehidupan dan memperkuat rasa syukur. Dalam Islam, perintah untuk saling mengenal (ta’aruf) ditegaskan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat ayat 13.  

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” 

“Jadi bagiamana menemukan syukur?” tanyanya retoris. “Tergantung ke diri kita sendiri. Bagaimana menjaga, menata hati dan pikiran kita.” 

Pesan dari Buya Amirsyah begitu jelas. Rasa syukur bukan soal seberapa banyak kita punya, tetapi bagaimana kita memaknai dan menikmati apa yang ada. Rezeki bukan hanya dalam bentuk uang atau materi, tapi juga dalam bentuk-bentuk yang sering luput kita sadari—waktu luang, kesehatan, kehangatan keluarga, dan kedamaian batin. 

Jika kita mampu menjaga hati agar tak mudah dikuasai rasa iri dan kecewa, kita akan lebih mudah merasakan nikmat hidup, sekecil apa pun bentuknya. Maka, mari kita mulai hari ini dengan menyederhanakan hidup, menyelami makna dari rezeki yang ada, dan mengucap satu kalimat penuh makna: Alhamdulillah. (YN)