Oleh: KH. Arwani Faishal (Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU)
Jemaah haji atau umrah di Tanah Suci Makkah mengumandangkan Kalimah Talbiyah berulang-ulang. Dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah, ia berkata tatkala menjelaskan sifat haji Nabi saw., “Kemudian beliau mengawali dengan Kalimah Tauhid, ‘Labbaika allahumma labbaik, Laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan-ni’mata laka wal mulk, laa syariikalak (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu).” (HR. Muslim) (HalalMUI)
Kalimah Talbiyah itu harus diucapkan berkali-kali, merupakan bagian dari syiar Haji atau Umrah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. 5: 2).
Sejatinya, semua orang beriman telah dipanggil oleh Allah untuk mengerjakan ibadah haji, sebagaimana disebutkan di dalam ayat Al-Qur’an: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah…” (QS. 2:196). Perhatikanlah pula makna ayat: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj, 22: 27).
Ibnu Abbas berkata, dalam menafsirkan firman Allah ini: “Ketika Allah memerintahkan Ibrahim untuk mengabarkan manusia agar berhaji, Ibrahim berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (Ka’bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu menerima panggilan ini apa saja yang mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apa saja yang ada, lalu mereka berkata ???? ????? ???? …… (HR. Ibnu Jarir 17/106). (HalalMUI)
Lalu kita yang beriman berangkat ke Tanah Suci Makkah, menunaikan ibadah haji, memenuhi panggilan Allah itu. Kemudian secara lafzhiyah mengumandangkan Kalimah Talbiyah. Secara lebih konkret lagi itu berarti mengikrarkan diri, memenuhi panggilan Allah untuk menaati semua tuntunan Agama-Nya, dengan mengikuti contoh teladan Nabi saw. Dan secara hakikat, itu berarti berikrar sekaligus sebagai manifestasi amal memenuhi panggilan Allah untuk menjalani hidup yang halal. Setiap jemaah haji di Tanah Suci, yang akan berangkat ibadah haji, maupun baru sekadar berniat untuk melaksanakan kewajiban agama ini, mengumandangkan kalimah-kalimah talbiyah ini. Kita yang beriman tentu harus menghayati makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga menjadi orang yang benar dalam bertalbiyah, kata-katanya cocok dengan kenyataannya, benar-benar berpegang pada ajaran Tauhid dan menjaga hak-hak Tauhid. Menjauhi segala hal yang dapat membatalkan Tauhid.
Ibadah haji itu sendiri merupakan satu kewajiban agama, menjadi salah satu Rukun Islam yang lima, diwajibkan pada tahun ke-6 Hijriyah. Ibadah yang diwajibkan sekali seumur hidup ini merupakan momen pelatihan dan memiliki banyak hikmah serta pelajaran. Saat thawaf, misalnya, para jemaah relatif berdesak-desakan mengelilingi Ka’bah, melaksanakan perintah Allah, mengikuti sunnah yang telah dicontohkan Rasulullah saw. Kondisi saat ini apalagi, jemaah semakin banyak, sehingga medannya menjadi lebih padat dan berat. Untuk menggunakan fasilitas publik, misalnya, kendaaraan umum, kamar mandi dan toilet umum, dll., harus antre cukup lama. Kondisi itu semua membuat para jemaah dilatih dan ditempa secara fisik untuk bersikap sabar, simpati dan toleransi serta kepedulian dengan sesama, sebagai ibadah untuk meraih ridha Allah. Setelah ibadah haji, para jemaah yang pulang ke Tanah Air, semestinya dapat menumbuhkan dan mengembangkan tatanan sosial penuh simpati dan toleransi, sehingga akan dapat terwujud kehidupan masyarakat yang harmonis. Sesuai dengan misi ajaran islam sebagai Rahmatan lil-‘alamin.
Sumber Rezeki dan Pemanfaatannya Harus Halal
Dalam melaksanakan ibadah haji, khusunya, ongkos perjalanannya, makan-minum, pakaian ihram yang dikenakan, dan lain-lainnya, tentu harus bersumber dari rezeki yang halal. Diperoleh dengan usaha dan cara yang halal, serta dipergunakan untuk yang halal pula. Dan semua ibadah pada umumnya, tentu harus memperhatikan kaidah halal ini. (HalalMUI)
Sebab, kalau tidak halal, ibadah yang dikerjakan niscaya tidak akan diterima Allah, bahkan ditolak. Bukan menjadi haji yang Mabrur (diterima Allah dan mendapat kebaikan), tetapi justru Mardud (tertolak). Dalam hadits Nabi saw. disebutkan, diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah saw.: “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rasul, maka Allah telah berfirman: Wahai para Rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal saleh.”
Dan Dia berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.” Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhan, wahai Tuhan,” sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan doanya.” [HR. Muslim].
Dari hadits ini jelas dapat dipahami, orang yang mengerjakan ibadah Haji dengan harta yang tidak halal, atau tegasnya lagi dengan rezeki yang haram, maka akan tertolak, atau bahkan menjadi haji yang Mardud.
Tuntunan selanjutnya bagi para jemaah haji, khususnya, dan kita semua yang beriman, pada umumnya, disebutkan di dalam ayat Al-Qur’an dengan makna: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. 2:197). (HalalMUI)
Itu semua merupakan tuntunan dan panduan dalam berperilaku (code of conducts). Dan tentu tuntunan serta panduan itu bukan hanya berlaku bagi para jemaah haji di Tanah Suci, melainkan juga untuk diamalkan seterusnya, sepulangnya dari ibadah suci, di Tanah Air, dalam menjalankan kegiatan hidup sehari-hari.
Dengan demikian, berarti mencari rezeki, memilih produk, dan menjaga konsumsi serta perilaku yang halal itu bukan hanya ketika melaksanakan ibadah haji. Tetapi juga harus diamalkan setelah mengerjakan ibadah tersebut, kembali ke Tanah Air, dan seterusnya, selama hayat dikandung badan. Secara sederhana, itu semua berarti sebagai manifestasi dari ungkapan yang populer: “Halal is my Life”, menjalankan hidup yang halal.
(HalalMUI)
Sumber foto: news.detik.com