Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.

Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Wakil Ketua Umum MUI Pusat

Mengkonsumsi yang halal, bagi kita yang beriman, jelas sangat penting. Maka dakwah halal juga tentu menjadi amat urgen, yakni mengingatkan dan mengajak umat agar mengkonsumsi hanya yang halal saja serta mengikuti tuntunan agama. Apalagi kalau kita perhatikan kondisi kehidupan masyarakat, banyak dari mereka yang tampak tidak peduli terhadap aspek halal yang amat vital ini. Tak kurang pula yang menganggap enteng, atau meremehkannya. Padahal, kalau mengkonsumsi yang tidak halal, berapapun kecil atau sedikit ukuran dan takarannya, niscaya akan berdampak sangat signifikan. Bahkan juga menimbulkan bahaya yang amat besar.

Sebagai contoh perbandingan yang sederhana, lazimnya obat yang dikonsumsi berukuran kecil atau dosisnya tertentu yang amat sedikit. Tidak sampai seukuran suap nasi. Tetapi pengaruhnya amat besar. Tubuh manusia yang berbobot puluhan kilogram, mengalami demam-panas, dengan tablet obat seukuran sekian milligram, bisa berubah menjadi dingin. Yang tensi darahnya tinggi, berakibat seluruh tubuh menggigil, bisa jadi berkurang, menurun, dst.

Ibroh, Pelajaran dari Seekor Nyamuk

Lebih spesifik lagi, mari kita mencermati makna firman Allah yang termaktub di dalam surat Al-Baqoroh, dengan arti sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu  banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (QS. 2:26). 

Kita tahu belaka betapa kecilnya ukuran tubuh seekor nyamuk. Ia berseliweran terbang di sekitar kita, dengan suaranya yang berdenging khas, dan gigitan atau tusukan sungutnya membuat kulit menjadi pedih serta gatal. Menurut penelitian para ahli, di sungut nyamuk yang sangat kecil itu, yang berukuran jauh lebih kecil dari sehelai rambut manusia, ternyata terdapat banyak kuman penyakit yang hidup dan berkembang-biak. Subhanallah, badan seekor nyamuk saja berukuran demikian kecil. Apalagi sungutnya, hampir-hampir tidak terlihat dengan mata telanjang. Dan terlebih lagi ukuran kuman penyakit yang hidup dan berkembang-biak di sungut nyamuk itu! Tentu jauh lebih kecil lagi, berukuran mikron, seperseribuan milimiter, dan hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron!

Ketika seekor nyamuk menusukkan sungutnya ke tubuh seseorang untuk menghisap darah, kuman penyakit yang terdapat di sungutnya itu pun dapat berpindah, masuk ke dalam tubuh dan aliran darah orang yang dihisap darahnya oleh si nyamuk. Banyak kasus menunjukkan betapa kemudian si orang itu lalu menjadi sakit, yang bila dibiarkan tanpa pengobatan-perawatan yang baik, niscaya dapat berakibat fatal. Penyakit bertambah parah, atau bahkan nyawa pun melayang, tanpa dapat dicegah sama sekali. Memang, ternyata banyak penyakit berbahaya yng ditularkan oleh nyamuk, menimbulkan kerugian material yang tiada terkira, bahkan sampai juga korban nyawa yang jatuh bergelimpangan. Seperti: penyakit malaria, demam berdarah deungeu (DBD), kaki gajah atau filariasis, dll.

Perhatikanlah betapa meskipun nyamuk itu berukuran amat kecil serta halus, dan jauh lebih kecil serta halus lagi kuman penyakit yang terdapat di sungutnya. Namun kalau kuman penyakit itu masuk dan menyerang badan, niscaya dapat memberi dampak yang sangat berbahaya. Apalagi kalau ukurannya besar, tentu efeknya akan  jauh lebih berbahaya lagi. Tiada dapat diduga!

Jangan Meremahkan Dosa, Harus “Zero Tolerance”

Dari ibroh kasus tentang nyamuk yang dijelaskan secara gamblang dalam ayat Al-Qur’an itu, sepatutnya kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dengan membuat analogi: betapa berbahayanya makanan yang tidak halal, kalau masuk ke dalam tubuh kita, sekecil apa pun ukurannya! Bakteri atau kuman penyakit dari nyamuk yang berukuran mikron saja dapat menimbulkan bahaya yang demikian rupa. Apalagi makanan yang tidak halal, atau pangan haram yang berukuran suapan tangan, masuk ke dalam tubuh kita.

Dalam khazanah bahasa Indonesia, ada peribahasa populer yang menyatakan, “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Perhatikanlah, betapa setitik/setetes nila atau racun yang volumenya tak sampai 1 cc, bila bercampur dengan susu, niscaya dapat merusak susu sebelanga yang volumenya bisa mencapai puluhan liter. Dalam contoh lain, seseorang yang dipatuk ular berbisa, dapat menderita sakit luar biasa. Bahkan bisa berakibat fatal. Padahal bisa atau racun ular yang masuk ke tubuh orang yang dipatuk ular itu, bobotnya tak sampai seukuran satu gram. Namun dampaknya, dapat membuat sekujur tubuh orang yang bobotnya puluhan kilogram jadi sakit, bahkan juga meninggal dunia. Oleh karenanya, bagi kita yang beriman, harus berlaku prinsip “Zero Tolerance” terhadap pangan haram dengan segala bentuk turunannya. Tak boleh ada toleransi sedikit pun!

Rasulullah saw. telah mengingatkan kita dengan haditsnya yang bermakna, “Takutlah kalian dari tindakan meremehkan dosa.” (HR. Imam Ahmad).

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Anas, ia berkata, “Sesungguhnya kalian melakukan suatu amalan (maksiat/dosa) dan menyangka bahwa itu lebih tipis dari rambut. Namun kami menganggapnya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang membinasakan.” (HR. Bukhari no. 6492).

Jika disebutkan bahwa ia sangka suatu dosa itu lebih tipis dari rambut, itu tanda meremehkan dosa. Padahal sesuatu yang dianggap sepele seperti ini, di sisi Allah justru begitu besar. Tentang hal ini, dijelaskan pula oleh Bilal bin Sa’ad seorang ulama tabi’in terkemuka: “Janganlah kamu lihat kepada kecilnya sebuah maksiat, akan tetapi lihatlah betapa agungnya (Allah) Yang kamu maksiati” (lihatlah: Az-Zuhd, Ahmad hal. 460; Hilyatul-Auliya’, Abu Nu’aim 5/223).

“Dosa kecil bisa menjadi besar,” fatwa Imam Auza’i pula, “jika seorang hamba menganggapnya kecil dan meremehkannya.” Sesuatu yang kecil, jika terus ditumpuk dan dikumpulkan, maka ia akan membesar. Sebuah peribahasa mengatakan, “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”. Demikian pula dengan perbuatan dosa, meskipun dianggap kecil, namun kalau terus diulang-ulang, maka ia pun menjadi dosa besar. “Bukanlah dosa kecil jika dikerjakan terus menerus,” kata Ibnu Abbas, “dan bukanlah dosa besar jika diiringi dengan taubat.”

Umumnya, pengulangan atau pembiasaan dosa itu berawal dari sikap meremehkan dosa. Karena terbiasa mengerjakan dosa yang dianggap kecil, maka timbul kepuasan dan kesenangan dalam jiwanya. Jelas ini sangat berbahaya. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya yang terkenal, Al-Ihya’ menyatakan,  “Termasuk dosa besar adalah, merasa senang, gembira dan bangga dengan dosa.” Seperti orang yang kecanduan dalam berbuat atau menikmati sesuatu, termasuk dalam berbuat yang salah. Seperti kecanduan nikotin, atau bahkan juga narkoba, dst. 

Setiap kali seorang hamba menganggap manis suatu dosa, maka menjadi besar kemaksiatannya serta besar pula pengaruhnya dalam menghitamkan hati. Karena setiap kali seorang berbuat dosa, niscaya akan terjadi titik hitam di hatinya. Hal ini disebutkan dalam ayat Al-Quran, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu (perbuatan maksiat atau dosa) akan menutupi hati mereka (menjadi titik-titik hitam).” (QS. Al-Muthoffifin, 84: 14).

Dalam ayat lain, Allah telah pula mengingatkan kita dengan ayat-Nya yang mulia: “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan (dosa) sebesar dzarrah sekalipun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. 99: 8).

Dari ayat tersebut dapat dipahami, betapa dosa yang sangat kecil, sebesar dzarrah, sekalipun, sehingga mungkin dianggap remeh, niscaya akan dibalas dengan siksa yang tiada tara. Para ulama kontemporer menjelaskan, “dzarrah” adalah ukuran benda/materi yang amat kecil. Sebagiannya menjelaskan lagi, semisal seukuran atom, atau bahkan lebih kecil lagi.

Contoh-contoh kasus yang dikemukakan di atas baru merupakan dampak atau bahaya yang bersifat fisik material. Adapun dampak dari sisi mental-spiritual yang ditimbulkan dari makanan yang tidak halal, atau dari makanan yang diharamkan, jelas jauh lebih berbahaya lagi. Bahaya itu tentu tidak dapat diukur dengan kadar materi. Apalagi bila mengingat ancaman dari Allah bagi orang yang melanggar kaidah syariah, dampaknya mencakup kerugian dunia hingga akhir masa, dan adzab akhirat yang kekal abadi selamanya. 

Dalam riwayat dijelaskan, orang yang mengkonsumsi makanan yang tidak halal, atau tegasnya mengkonsumsi makanan yang haram, maka amal ibadahnya tidak diterima oleh Allah, doanya tidak pula diperkenankan, hidupnya pun tidak akan pernah tenang. Selalu diliputi oleh keresahan dan kecemasan yang tiada tentu. “Siapa pun yang tubuhnya tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih layak membakarnya.”  (HR. Ath-Thabrani).

Tentu jauh lebih berbahaya lagi kalau makanan tidak halal yang masuk ke dalam tubuh bukan hanya satu-dua suap, tapi satu piring, atau bahkan berpiring-piring banyaknya. Dan berhari-hari kita mengkonsumsinya terus-menerus. Waktu ke waktu. Apalagi kalau makanan haram itu juga dikonsumsi bukan hanya oleh diri sendiri, melainkan juga oleh anak-keluarga. Sehingga darah daging kita, anak dan keluarga semua pun tumbuh, berkembang dan berisi dengan zat yang berasal dari sumber yang tidak halal. Na’udzubillahi mindzalik! Padahal Allah telah memerintahkan kita untuk mengkonsumsi makanan yang halal, dan dengan demikian berarti harus menghindari produk atau pangan yang tidak halal.

Orang beriman yang menaati tuntunan Allah & Rasul-Nya, diantaranya dengan mengkonsumsi makanan yang halal, insya Allah akan selamat dunia-akhirat: “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. 47: 12).

Hal ini perlu ditekankan lagi, karena dampak mengkonsumsi pangan yang tidak halal itu bukan hanya menimbulkan penyakit secara fisik-material, melainkan juga mental-spiritual. Dan lebih lanjut lagi, bahayanya bukan hanya dirasakan di dunia yang fana, sementara ini, melainkan juga sampai di akhirat yang abadi, selamanya, nanti! Na’udzubillahi mindzalik. “Dan orang-or ang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (QS. 47:12).

Perhatikanlah makna ayat tersebut, betapa orang-orang kafir yang makan disebut sebagai binatang, antara lain karena mereka tidak mempedulikan aspek kehalalan makanan yang dikonsumsinya. Halal-haram terus dihantam. Sehingga karena mengkonsumsi makanan yang tidak halal, maka dampak lebih lanjut adalah mendapat siksa di neraka! Maka jelas, kita harus mengkonsumsi pangan yang halal saja, dan wajib menghindarkan semua yang tidak halal, atau yang diharamkan agama. Agar dapat terhindar dari ancaman bahaya dunia maupun akhirat. (USM)

Sumber Foto : Detik.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.